Soekarno Juga Bertanggung Jawab untuk Tragedi Romusha

Soekarno Juga Bertanggung Jawab untuk Tragedi Romusha

Gelora News
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO - Romusha adalah pekerja paksa yang dikerahkan oleh tentara Jepang untuk membantu memenangkan Perang Asia Timur Raya. Dalam konteks tersebut, Romusha dikerahkan untuk bekerja membangun berbagai infrastruktur dan instalasi bagi militer Jepang, seperti perkubuan, benteng, parit-parit perlindungan, bangunan, rel kereta api, jalan, dan sebagainya. Karena pekerja paksa, jelaslah Romusha banyak yang diambil secara paksa dari kalangan petani atau pekerja miskin di seluruh Indonesia.

Romusha adalah lembaran sejarah hitam bangsa ini, dimana janji-janji Jepang kepada pekerja tersebut nyatanya dibalas dengan kematian. Romusha banyak yang diiming-imingi mendapat bayaran, namun praktiknya jauh sekali berbeda bahkan untuk jatah makanan saja sangat kurang. Belum lagi tindakan kasar serdadu Jepang, lingkungan kesehatan, dan wabah penyakit membuat sebagian besar Romusha mati saat bekerja. 

Pengerahan Romusha sebenarnya melalui mandor-mandor lokal, alias pribumi yang bertugas mencari calon Romusha di desa-desa miskin dibumbui dengan "sebongkah" rayuan agar rakyat mau jadi Romusha. Salah satu tokoh Indonesia yang menjadi mandor lokal tersebut ialah Soekarno. Ya, Ir. Soekarno yang dikemudian hari menjadi Presiden pertama Republik Indonesia. Handai taulan mungkin tidak percaya dengan hal ini, mengada-ngada, fitnah, ataupun bualan. Akan tetapi keterlibatan Soekarno dalam pengerahan Romusha merupakan fakta sejarah yang valid, terlebih hal itu juga diakui sendiri oleh sang proklamator dalam Biografinya karangan Cindy Adams.

Berikut memoar Soekarno tentang keterlibatannya dalam pengerahan Romusha:

"Ribuan orang tidak kembali. Mereka gugur di negeri asing. Sering kali para Romusha itu diperlakukan dengan kejam, seperti dibelenggu berdampingan dengan tahanan perang untuk membuat jalan raya di Birma (Myanmar) yang terkenal itu. Ya, aku mengetahui keadaan mereka. Ya, ya, ya aku tahu bahwa mereka diangkut dalam gerbong-gerbong yang tertutup rapat tanpa udara, dan ribuan dijejalkan sekaligus. Aku tahu, mereka tinggal kulit pembalut tulang, Dan aku tidak bisa menolong mereka.

Dalam kenyataannya, aku -Sukarno- yang mengirim mereka pergi bekerja. Ya, akulah orangnya. Aku mengirim mereka berlayar menuju kematian. Ya, ya, ya ya, akulah orangnya. Aku membuat pernyataan-pernyataan untuk mendukung pengerahan Romusha. Aku diambil gambarku di dekat Bogor dengan caping di kepala dan cangkul di tangan untuk menunjukkan betapa mudah dan mulianya menjadi seorang Romusha. Dengan para wartawan, juru potret, Gunseikan, dan para pembesar pemerintahan aku melakukan perjalanan ke Banten untuk meninjau kerangka hidup yang menyedihkan menjadi budak di garis belakang, di dalam tambang batu bara dan tambang emas. Benar-benar mengerikan. sia-sia. 

Dan akulah yang memberikan mereka kepada orang Jepang. Rasanya mengerikan sekali, bukankah begitu? Ada orang yang mengatakan, rakyat tidak mau membaca ini. Benar begitu? Yah, aku tidak marah kepada mereka. Tidak seorang pun yang suka pada kebenaran yang menyedihkan.


Menuai Protes

Tindakan Soekarno yang secara nyata ikut serta dalam pengerahan Romusha bukan datang dari diri sendiri. Tentu saja hal ini karena permintaan Jepang, namun tetap mendapat protes dari berbagai pihak. Bagaimana mungkin Soekarno sampai tega menyerahkan rakyat yang mencintainya ke tangan Jepang untuk dijadikan budak? Suatu hari Soekarno didatangi oleh lima mahasiswa Kedokteran yang kebetulan juga orang pergerakan. Kelima mahasiswa ini kaget, poster Soekarno tertempel di sudut-sudut kota mengenakan kostum ala mandor (lihat foto diatas) seakan-akan mendukung praktik Romusha. Sebenarnya apabila ditelisik lebih jauh poster-poster tersebut adalah propaganda buatan Jepang. "Nampaknya Bung Karno tidak dipercayai lagi oleh rakyat. Cara bagaimana Bung Karno bisa menjawab persoalan Romusha?", tanya seorang mahasiswa membukan pembicaraan yang cukup tegang tersebut.

Soekarno menjawab bahwa kemerdekan yang akan direbut oleh Indonesia dapat dilalui dengan dua jalan. Pertama, adalah dengan jalan Revolusioner yang menurutnya Indonesia masih belum siap untuk melakukan suatu Revolusi. Kedua, adalah melalui suatu kerja sama, dalam hal ini Soekarno yang dulu anti kooperatif dengan Belanda saat Jepang masuk menjadi kooperatif meskipun bisa dibilang hanya dalam permukaan. Menurutnya bangsa Indonesia mesti terlihat bekerja sama dengan Jepang sambil mengkonsolidasikan kekuatan dan menantikan sampai tiba saatnya Jepang jatuh.

Masih belum puas, mahasiswa-mahasiswa tersebut masih menimpali Soekarno dengan pertanyaan: "Tapi kenapa Bung Karno sampai hati memberikan rakyat kepada mereka (Jepang)". Pertanyaan itu kemudian dijawab Soekarno, "Dalam setiap perang ada korban. Tugas dari Panglima adalah untuk memenangkan Perang, sekalipun akan mengalami kekalahan dalam beberapa pertempuran di jalan. Andaikata saya terpaksa mengorbankan ribuan jiwa demi menyelamatkan jutaan orang, saya akan lakukan. Kita berada dalam suatu perjuangan untuk hidup". Langkah kooperatif dengan Jepang yang dilakukan Soekarno sebenarnya bukan tanpa alasan. Menurutnya menjaga kepercayaan Jepang kepada pemimpin Indonesia merupakan hal yang penting, Soekarno tahu betul dan merasakan kemerdekaan Indonesia sudah dekat.

Kemerdekaan Indonesia sudah sangat dekat persis apa yang dirasakan Soekarno, pada November 1943 ia bersama Moh. Hatta dan Ki Bagus Hadikusumo diundang ke Jepang untuk menghadap Tenno Heika, nama lain dari Kaisar Jepang, Hirohito. Mereka bertiga bahkan dilayani dengan baik dan dijamu dengan megah, plus masing-masing dianugerahi medali bintang Kekaisaran ratna suci. Prediksi tersebut semakin nyata saat Jepang semakin terpuruk dalam perang Pasifik dan membolehkan mengibarkan bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kemudian pada 1944 dibentuk Chou Sangi-In, atau badan sipil Indonesia yang bertindak sebagai penasihat pemerintahan militer Jepang. Puncaknya pada tahun 1945 dibentuk suatu panitia persiapan kemerdekaan seperti apa yang dikenal dengan BPUPKI dan PPKI.

Kembali ke soal Romusha, tidak dipungkiri lagi dan Soekarno juga telah mengakui keterlibatannya dalam pengerahan tenaga kerja paksa tersebut. Toh, persoalan Romusha memang sangat dilematis. Di suatu sisi apabila tidak menyerahkan rakyat untuk kerja paksa, maka Jepang bisa saja tidak mau berkompromi kepada pemimpin Indonesia soal kemerdekaan. Akan tetapi, menyerahkan rakyat untuk Romusha sama saja menyerahkan ribuan nyawa rakyat untuk mati. Sejarah tetaplah sejarah, Soekarno bukanlah dewa yang tiada kesalahan. Ia hanya manusia biasa. Dalam memoarnya ia mengatakan "Aku tidak akan melepaskan tanggung jawabku. Aku berpikir secara positif. Bagiku, memberikan kepada Jepang sesuatu yang mereka perlukan, sebagai imbalannya aku dapat menuntut lebih banyak konsesi (izin) yang kuperlukan, yaitu cara yang positif menuju kemerdekaan".

Sumber:
Cindy Adams, 2014. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (edisi revisi), Yayasan Bung Karno dan Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta
Roso Daras, 2013. Total Bung Karno: Serpihan Sejarah yang Tercecer, Penerbit Imania, Depok.

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA