Ekonom: Ketika Negara Lain Urus Pandemi Covid-19, Indonesia Urus Investasi

Ekonom: Ketika Negara Lain Urus Pandemi Covid-19, Indonesia Urus Investasi

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengkritik pembentukan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja di tengah pandemi Covid-19. Menurut dia, tidak ada satupun negara di dunia saat ini yang fokus mengurus masalah regulasi investasi.

"Karena sekarang yang dihadapi secara fundamental itu adalah Covid-19," kata Bhima dalam acara Kovid Psikologi secara virtual pada Sabtu, 17 Oktober 2020.

Pandemi Covid-19 inilah yang membuat pemulihan ekonomi dan investasi melorot di tahun 2020. Sehingga, banyak negara meyakini bahwa pemulihan ekonomi bergantung pada seberapa cepat penanganan Covid-19 di negara mereka.

Bhima kemudian mencontohkan Cina dan Vietnam. "Mereka gak bahas Omnibus Law setahu saya," kata dia.

Akan tetapi, kedua negara sudah tumbuh positif di triwulan kedua, bahkan sebelum adanya vaksin Covid-19. Sementara, Indonesia masih tumbuh negatif dan diprediksi akan kembali negatif di triwulan ketiga 2020.

Sebelumnya, DPR telah mengesahkan Omnibus Law pada 5 Oktober dan menyerahkanya ke presiden pada 14 Oktober 2020. Kini, pemerintah sedang mengebut pembentukan aturan turunan dari Omnibus Law ini.

Dalam acara yang sama, Direktur Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan Dinar Titus Jogaswitani menyampaikan bahwa ada beberapa konsekuensi bila Omnibus Law tidak segera dijalankan. Salah satunya lapangan kerja akan pindah ke negara lain yang lebih kompetitif.

Daya saing pencari kerja relatif rendah dibandingkan negara lain, penduduk yang tidak atau belum bekerja akan semakin tinggi. "Lalu Indonesia terjebak dalam middle income trap," kata dia.

Tapi kritikan atas pembentukan Omnibus Law di masa pandemi ini tidak hanya disampaikan Bhima. Sebelumnya, Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), juga menyesalkan pengesahan Omnibus Law di masa pandemi Covid-19.

"Berpotensi menciptakan backlog (tumpukan antrean) dalam penanganan pandemi," kata Direktur Kebijakan CISDI Olivia Herlinda dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat, 9 Oktober 2020.

Olivia menyebut Omnibus Law mewajibkan fasilitas kesehatan memperoleh izin usaha dari pemerintah pusat dan daerah sesuai kewenangan. Namun, CISDI menangkap bahwa dominasi pemerintah pusat dalam setiap pengambilan keputusan menjadi narasi utama Omnibus Law.

Contohnya saja perizinan satu pintu yang harus melalui sistem perizinan online (Online Single Submission atau OSS) yang berada di bawah kendali Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, kata Olivia, proses birokrasi yang terpusat berpotensi menciptakan backlog pada setiap pengambilan keputusan di sektor kesehatan. "Yang harusnya dapat dilakukan dengan cepat dan tanggap," ujarnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan penanganan Covid-19 menjadi salah satu kunci utama agar perekonomian mulai pulih dan bisa kembali tumbuh pada kisaran lima persen pada 2021. 

"Faktor yang bisa memulihkan antara lain penanganan Covid-19 yang sudah dilakukan tahun ini dan berlanjut di tahun depan dengan protokol kesehatan," kata Sri Mulyani dalam jumpa pers virtual seusai persetujuan UU APBN 2021 di Jakarta, Selasa 29 September 2020.

Ia memastikan disiplin dalam melaksanakan protokol kesehatan bisa memulihkan kembali kegiatan ekonomi maupun sosial yang selama ini terhambat seiring dengan adanya pembatasan sosial berskala besar di beberapa daerah terdampak.

Selain itu, faktor pemulihan lainnya adalah ketersediaan vaksin yang saat ini sedang diupayakan Indonesia bersama dengan institusi internasional lainnya, yang bisa memberikan optimisme terhadap membaiknya kinerja ekonomi di 2021. []
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita