Saya "PKI"!

Saya "PKI"!

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


Oleh:Syamsuddin Radjab
SEPERTI biasa, setiap jelang tanggal 30 September ramai-ramai membincangkan PKI karena diduga terlibat dalam aksi pembunuhan para jenderal petinggi AD.

Peristiwa itu sendiri menjadi titik balik petaka bagi kaum kiri di Indonesia dan durja kemanusiaan dalam sejarah bangsa dan dunia. Tercatat sekitar dua juta orang kehilangan nyawa akibat peristiwa tersebut, data lainnya disebut satu juta, lima ratus ribu, dua ratus ribu dan lain-lain.

Peristiwa sesudahnya, lebih mengerikan lagi, tidak dibunuh tapi hak-hak perdatanya dipenggal dan dicap dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politiknya. Jumlahnya tentu lebih banyak karena menyentuh hingga anak turunan eks PKI atau di tuduh PKI.

Penggalan sejarah kelam bangsa tersebut harus dilihat dalam konteks politik global dan intrik politik internal perebutan pengaruh dalam kekuasaan politik. Selain itu, akan menjadi bias dan ahistoris apalagi dengan melibatkan sentimen agama.

Peristiwa itu pulalah yang mengantarkan Soeharto menjadi penguasa tunggal baru mengganti Soekarno yang oleh sebagian pengamat menyebutnya sebagai kudeta merangkak (creeping coup d'Etat).

Cornel Paper (1971), Benedict Anderson dan Ruth McVey mengemukakan secara apik dalam laporannya bahwa peristiwa tersebut merupakan puncak perseteruan internal Angkatan Darat dalam menilai kepemimpinan Soekarno, pengaruh PKI dan sejumlah kekhwatiran masa depan Indonesia.

Dalam kacamata lain, era tahun 1960-an merupakan perang dingin (cold war) antara Amerika Serikat versus Uni Soviet dengan sekutu masing-masing. Posisi Indonesia sendiri dipandang lebih cenderung ke kelompok kiri dengan menilai hubungan Soekarno dengan PKI yang semakin karib serta keterlibatan dokter asal Tiongkok yang merawat Soekarno dan keterlibatan Soviet dalam pembangunan Jakarta seperti pembangunan Stadion GBK, Hotel Indonesia, Patung Selamat Datang yang berdiri kokoh di Bundaran HI, dan Tugu Tani di Menteng.

Kedekatan dan partisipasi itu oleh Amerika Serikat dipandang memberi ruang lebar kepada pesaingnya sehinga perlu dilakukan operasi intelijen melalui CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) untuk mencari sekutu baru dengan beberapa opsi diantaranya menjatuhkan Soekarno dan menghancurkan kekuatan PKI.

Di kemudian hari, operasi ini berhasil dan Amerika Serikat mengadopsi pola operasi ini di negara lain seperti Chile tahun 1973 dengan memberi sandi "Djakarta Operation" bertujuan menggulingkan pemerintahan sah dan demokratis Presiden Salvador Allende yang berhaluan kiri melalui kudeta yang dilakukan militer dibawah komando Jenderal Agusto Pinochet.

Pinochet sendiri setelah ditendang dari kekuasaan bernasib buronan sepanjang hidupnya dan meninggal tanpa kehormatan sebagai pelanggar HAM berat. Sama dengan Soeharto, meninggal dengan status pelanggar HAM berat dan sebagai tersangka.

Ulah sebagai penguasa diktator di suatu negara demokrasi akan selalu dikenang oleh rakyatnya sebagai penjahat dan perompak harta negara, namun tindakan ingin mengubah ideologi negara juga tidak boleh dibiarkan. Kaum kiri (komunisme) dan kanan (Islam) semuanya telah gagal mengganti ideologi negara Pancasila dan dapat diremuk-redamkan oleh pemerintah dan rakyat.

Tapi merawat kebencian terhadap kelompok tertentu apakah kaum kiri atau kanan yang tidak terlibat dalam peristiwa itu juga tidak dapat dibenarkan oleh konstitusi negara.

Nobar di Tengah Pandemi

Film G30S/PKI harus dipandang sebagai bagian dari propaganda politik rezim Orde Baru, bertujuan mempertahankan kekuasaan, memelihara hegemoni militer dan merawat rasa takut masyarakat sehingga dapat dikapitalisasi menjadi sokongan politik kuat terhadap figur sentral yang dianggap berjasa mengatasinya.

Naskah awalnya sendiri dibuat oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh yang kemudian menjadi pejabat negara dikemudian hari dan direkrut Soeharto.

Tajuk naskahnya berjudul "Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia" tahun 1968 dan menjadi acuan utama dalam pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI garapan sutradara kawakan Indonesia, Arifin C. Noer dan dirilis pertama kalinya 1984 dengan durasi waktu 271 menit.

Jajang C. Noer (istri Arifin) dalam suatu wawancara tv nasional mengakui bahwa film tersebut memang pesanan dari penguasa saat itu namun dalam penggarapannya Arifin melakukannya dengan mandiri tanpa ditekan-tekan oleh si pemesan.

KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) yang diinisiasi pembentukannya oleh beberapa tokoh nasional berencana akan menggelar nonton bareng film G30S/PKI di beberapa tempat seperti yang dilakukannya saat masih menjabat sebagai Panglima TNI.

Sebenarnya, menonton film itu kapan dan dimana saja boleh, setiap saat film tersebut dapat diakses di platform sosial kanal YouTube, lima kali sehari nonton juga tidak masalah, hitung-hitung menjadi pengusir rasa jenuh ditengah pandemi dan berdiam tetap di rumah.

Nonton bareng (nobar) juga tidak masalah asal bareng-bareng nonton di rumah masing-masing agar tidak saling menjangkiti virus korona (Covid-19) yang sedang melanda Indonesia saat ini. Sebagai penonton pun harus cerdas memilih tontonan yang berkualitas: kualitas naskahnya, objektivitas kesejarahannya, alur ceritanya dan kualitas acting para pemainnya.

Menonton secara radikal film propaganda politik sama halnya dengan menjadi bagian dari rezim kelam masa lalu, merawat kebencian dan penindasan berpikir objektif tertahap sesama anak bangsa.

Di masa pandemi saat ini akan lebih baik dan bijaksana jika nonton barengnya diarahkan ke virtual zoom atau googlemeet dan lain-lain. Juga masih terbuka lebar menyampaikan sambutan-sambutan dan kritik sekalipun ke pemerintah tapi bukan dengan mengumpulkan massa yang rawan melanggar protokol kesehatan dan akan merugikan masyarakat karena terinfeksi korona.

Jika pelarangan menonton film G30S/PKI dilarang pemerintah, maka saya pun akan menentangnya karena itu wujud kebebasan warga yang dijamin konstitusi, terlepas dari materi film tersebut objektif atau tidak karena kategori film dokumenter sejarah.

Apabila sejarahnya salah, silakan buat film versi masing-masing biar masyarakat semakin kaya dengan pilihan dan menilai sejarah mana yang akan diikutinya.

Bagi saya, KAMI sebagai kekuatan kelompok pengkritik pemerintah dapat tetap tumbuh, berkembang dan berkualitas. Mencerahkan rakyat dengan pikiran-piiran genuine, objektif dan solutif akan diperhitungkan masyarakat sebagai rujukan penting dalam perumusan kebijakan-kebijakan di masa mendatang tak terkecuali bagi pemegang tampuk kekuasaan di pemerintahan.

Tanpa nilai itu, KAMI tak lebih dari kumpulan arisan, bergilir menerima kesempatan berbicara didepan media dan hilang begitu saja.

Merawat Kohesi Sosial

Belakangan ini, terasa ikatan sosial kian renggang antar sesama warga negara dan anak bangsa. Bermula dari pemilihan calon Gubernur Jakarta antara Ahok vs Anies serasa pertandingan politik belum usai hingga saat ini karena kesamaan isu, kelompok dan pola pergerakannya. Walau saya juga tidak menampik kelompok tertentu ada yang sengaja merawat ketegangan itu mungkin karena merasa diuntungkan.

Hal itu diperparah karena diubah menjadi ketegangan struktural kekuasaan. Hubungan Istana dan Gambir selalu dimunculkan dalam kesan bertentangan dan tegang: saling sindir dan saling menihilkan. Sementara aktor utamanya biasa-biasa saja, baik dalam hubungan struktur kedinasan maupun personal. Yang "kebliger" adalah masing-masing pendukung atau merasa mendukung keduanya.

Beberapa hari lalu, Anies ramai-ramai di "bully" karena kembali menerapkan PSBB sampai saat ini karena dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi yang mulai berputar.

Oknum menteri seolah tampil sebagai pahlawan membela Presiden Jokowi dan menentang kebijakan Anies atas pembatasan pergerakan fisik di Jakarta. Anies dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi tetapi menjadi redam-senyap ketika Presiden menyatakan pemerintah mendahulukan keselamatan masyarakat dan mendukung kebijakan PSBB guna meredam laju korona.

Di tengah masyarakat, susana ketegangan antar pendukung nyaris tanpa henti dan bahkan dibiarkan dan dirawat. Saling serang antar kelompok dan aktor di media sosial masih menjadi bacaan hangat apalagi saat riuh soal RUU HIP, RUU Cipta lapangan Kerja, TKA asal Tiongkok, isu khilafah dan pelaksanaan pilkada.

Penentang dan pendukungya sangat mudah dipetakan: Kelompok siapa dan pendukung apa. Hal itu menyebabkan kohesi sosial kian longgar sehingga cara pandangnya sampai ke hitam putih.

Dalam soal Pancasila juga demikian, seolah hanya kelompok tertentu yang paling pancasilais dan kelompok lain tidak. Tapi dalam merumuskan kebijakan kadang mengabaikan nilai-nilai Pancasila sehingga kebijakan yang diambil sangat liberalis-kapitalis, hak-hak rakyat terabaikan dalam akses sumber-sumber ekonomi dan kesejahteraan.

Demikian halnya yang di luar pemerintahan, merasa paling benar dan jalan lurus dengan simbol-simbol relijius sebagai penarik magnet dukungan menghajar pemerintah.

Bagi masyarakat awam seperti saya, pertengkaran demikian menjadi tontonan dan bacaan asyik di rumah karena takut dengan pandemi korona. Ajakan dan himbauan nobar G30S/PKI tak membuatku tertarik, mending nonton drama Korea daripada menjemput korona di pertemuan nobar tersebut.

"Menghindari lebih baik daripada mengobati", kira-kira itu pepatah usang yang saya pegangi saat ini.

Saya mendukung pemerintah mengambil langkah dan tindakan tegas dalam penanganan korona termasuk pemberian sanksi terutama dalam penyelenggaraan pilkada, dan saya pun menghormati para pegiat KAMI yang tanpa lelah memikirkan rakyat Indonesia dengan kritiknya yang mencerdaskan, tidak membahayakan kesehatan masyarakat dan konsisten dalam cita dan perjuangannya.

Itulah kenapa saya membuka diri dan mengaku, "Saya PKI"! Pemerhari Korona Indonesia.

(Direktur Eksekutif Jenggala Center; pengajar politik hukum Pascasarjana Universitas Pancasila Jakarta dan UIN Alauddin Makassar.)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA