Persoalan Besar Sedang Terjadi di Indonesia

Persoalan Besar Sedang Terjadi di Indonesia

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh : Ubedilah Badrun, Analis sosial politik UNJ

Setelah ratusan ribu mahasiswa, buruh dan rakyat jelata demonstrasi besar pada September tahun 2019 lalu yang menolak pelemahan KPK hingga ada dua mahasiswa yang ditembak mati, saya mengira langkah-langkah serupa oleh rezim tidak lagi terjadi di republik ini. Sebagai akademisi saya berharap republik ini makin membaik menjalankan roda negara ke jalur demokrasi yang benar untuk membawa rakyat sejahtera, menjunjung tinggi keadilan, menjunjung tinggi kemanusiaan, dan merawat harmoni.

Tetapi hari demi hari harapan itu pupus seiring langkah rezim eksekutif berkolaborasi dengan rezim legislatif melakukan dugaan kesalahan sistemik yang dibingkai regulasi. Ini berbahaya bagi masa depan demokrasi, masa depan kesejahteraan rakyat, masa depan keadilan, dan masa depan harmoni sosial kita sebagai bangsa.

Saya mencatat dalam waktu singkat pesoalan besar ini semakin sempurna membawa Republik ini ke arah jurang negara yang akan menyengsarakan rakyat di masa depan. Merusak demokrasi dan membuat rakyat menderita.

Secara akademik persoalan besar tersebut mesti dibuka, dibongkar dengan argumen faktual, teoritik maupun dasar konstitusional yang kokoh. Setidaknya ada empat sektor persoalan besar tersebut yang sudah dan sedang dilakukan oleh rezim saat ini, dalam bidang Sosial Ekonomi, Sumber daya alam, hukum, dan politik. Namun demi efektifitas narasi empat persoalan tersebut hanya diurai pokok-pokoknya.

Persoalan Besar Sosial Ekonomi

Pemaksaan Rancangan Undang-Undang Omnibuslaw yang dilakukan pemerintah bersama DPR adalah persoalan besar yang sangat menyolok di bidang sosial ekonomi. Selain prosedurnya yang minim pelibatan publik, korbannya akan terjadi pada jutaan buruh dan jutaan generasi milenial.

Pemerintah dan DPR terlihat tutup mata dan tutup telinga terhadap masa depan dan penderitaan buruh, terhadap masa depan generasi milenial, dan terhadap kelestarian lingkungan dan lain-lain yang berdampak pada jutaan rakyat jelata.

Selain RUU Omnibus Law, pemerintah dan DPR juga sebelumnya menyetujui Perpu No 1 tahun 2020 menjadi Undang-Undang No 2 tahun 2020 yang menguntungkan oligarki dan memberikan kekebalan pada semua kebijakan ekonomi pemerintah meskipun bertentangan dengan Undang-undang Keuangan Negara dan pada akhirnya merugikan rakyat banyak.

Rencana pembentukan Dewan Moneter yang diketuai Menteri Keuangan. Saat ini sedang dibahas di DPR untuk merevisi Undang-Undang BI. Pemerintah terlihat ngotot agar Dewan Moneter dibentuk dengan kekuasaan dan wewenangnya di atas Bank Indonesia (BI). Ini tentu bertentangam dengan UUD 1945 pasal 23 yang didalamnya memuat tentang bank sentral dan Independensi BI yang tidak boleh dikendalikan oleh siapapun.

Persoalan Sumber Daya Alam

DPR dan Pemerintah ditengah situasi Covid-19 mengesahkan UU Minerba (Mineral dan Batu Bara) Nomor 3 tahun 2020. Undang-Undang ini merugikan rakyat banyak, mempreteli kewenangan daerah, menguntungkan oligarki ekonomi dan merusak lingkungan. Mengapa? Ini terkait sentralisasi izin pertambangan dan lain-lain yang ada dalam undang-undang tersebut.

Urusan tata kelola sumberdaya alam yang buruk akan semakin buruk. Rakyat banyak yang akan dirugikan. Contoh BUMN Pertamina yang diandalkan saat ini ternyata telah melakukan kesalahan besar yang berdampak pada kerugian triliunan rupiah. Kesalahan besar tersebut terjadi karena kepentingan oligarki, dari terjebak dalam beban keuangan Signature Bonus Rokan Rp 11,3 triliun, membeli crude domestic mahal Rp 9,25 triliun, sampai biaya bunga akibat kebijakan populis Pilpres 2019 Rp 3 tiriliun. Akibat semua itu Pertamina harus menanggung beban keuangan sekitar Rp 23,55 triliun.

Persoalan Hukum Tata Negara

Lagi, pola rezim eksekutif dan legislatif menetapkan Undang-undang secara sembunyi-sembunyi disaat Covid-19. Kali ini tidak kalah bahayanya karena menyangkut tata kelola negara di bidang kekuasaan yudikatif, khususnya soal Mahkamah Konstitusi (MK).

Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah diam-diam telah mengesahkan RUU Mahkamah Konstitusi menjadi undang-undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dalam rapat paripurna DPR pada Selasa, 1 September 2020. Prosesnya berlangsung tertutup tanpa melibatkan partisipasi publik secara luas.

UU MK tersebut bermasalah bukan hanya dari segi prosedurnya. Tetapi materinya juga tidak substantif, tak mendesak dan terlihat sarat kepentingan politik. Buru-buru disahkan saat kebanyakan rakyat sibuk atasi dampak sosial ekonomi akibat Covid-19.

Diantara isinya yang bermasalah adalah soal penghapusan periodesasi jabatan, perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi hingga usia pensiun 70 tahun, serta masa jabatan ketua dan wakil ketua MK. Ini mirip barter jabatan untuk para hakim MK yang saat ini menjabat.

Ini bisa berdampak pada independensi hakim MK dalam memutus perkara di kemudian hari. Sejumlah UU dan RUU bermasalah dari DPR dan pemerintah seperti UU KPK, UU Keuangan Negara untuk Covid-19, UU Minerba serta RUU Omnibuslaw Cipta Kerja yang berpotensi diujikan ke MK akan dengan mudah diputuskan demi kepentingan oligarki politik dan oligarki ekonomi.

Persoalan Politik

Persoalan  besar politik juga masih akan terus terjadi, diantaranya soal ngototnya rezim berkuasa untuk mempertahankan presidential threshold dalam Undang-Undang Pemilihan Umum, padahal sudah ada parliamentary threshold. Oligarki politik dan dinasti politik yang dicontohkan dan dilindungi rezim juga adalah praktik jahat politik Indonesia saat ini.

Dinamika turunan persoalan politik juga masih ada dan terus dilakukan rezim, dari menjerat lawan politik dengan UU ITE, menggunakan uang rakyat puluhan milyar untuk membiayai influencer dan buzzer yang merusak kualitas demokrasi merusak harmoni sosial, hingga praktek korupsi yang masih terus saja dilakukan elit berkuasa saat ini atau bahkan dilindungi.

Jika semua praktek dugaan kesalahan pemerintah dan DPR itu diurai, tak akan cukup ditulis dalam narasi artikel yang terbatas ini. Apa yang terjadi yang saya nilai sebagai persoalan besar karena korbannya besar, yaitu rakyat banyak tersebut, secara teoritik semua itu bertentangan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi modern, bertentangan dengan prinsip open government, bertentangan dengan prinsip negara kesejahteraan. Lebih dari itu, bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.

Bukankah Indonesia sejak berdirinya memilih sebagai negara republik (res publica, kembali ke kepentingan publik), bukan monarki atau kerajaan. Sejak awal bukankah kita sudah memilih menjadi negara demokrasi modern yang mengutamakan kepentingan publik, kepentingan rakyat banyak (demos cratos), kepentingan kebaikan bersama (common good)? Itu semua tertuang dalam pembukaan UUD 1945 secara jelas sebagai tujuan negara.

Semua praktik itu, sesungguhnya juga bersumber dari miskinnya moralitas pada para penyelenggara negara dan anggota parlemen. Moralitas dalam bernegara diabaikan. Etika politik disingkirkan. Kepentingan publik disingkirkan. Padahal ketika para pendiri bangsa ini memilih jalan negara republik maknanya negara ini ingin menghadirkan kesejahteraan, demokrasi, keadilan, kemanusiaan, dan harmoni sosial.

Saya jadi teringat salah satu filsuf besar Cicero dalam bukunya On the Republic (51SM) yang ditulis di sebuah gulungan daun lontar bahwa kemerosotan jiwa dan rendahnya moralitas elit politik suatu negara adalah penyumbang utama rusaknya sebuah negara republik.

Saatnya episode gelap Republik? Persoalan besar sedang terjadi! ***
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita