Pancasila Tidak Dilahirkan!

Pancasila Tidak Dilahirkan!

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

Oleh : Adhie M Massardi


PANCASILA oleh para pendiri bangsa pada mulanya digagas untuk dijadikan dasar sekaligus visi, atau dalam bahasa aslinya yang diucapkan Sukarno pada 1 Juni 1945 “philosofische grondslag”, filsafat, atau pedoman dalam berbangsa dan bernegara.

Tapi sejak pemerintahan Joko Widodo, Pancasila, bahkan semboyan “bhinneka tunggal ika” yang tertera dalam lambang negara Garuda Pancasila, menjadi jargon pemecah-belah bangsa yang cenderung disalahgunakan untuk memukul lawan-lawan politik atau yang mereka yang berbeda sikap dengan penguasa.

Contoh paling aktual dan melahirkan gempa politik hebat sepanjang pekan-pekan terakhir ini dilakukan Ketua Bidang Politik dan Keamanan DPP PDIP Puan Maharani, putri Ketua Umum PDI Perjuangan yang juga Ketua DPR-RI.

Sebagaimana sudah banyak diberitakan media massa, Puan menyinggung soal Pancasila dan Sumatera Barat saat mengumumkan calon kepala daerah dari PDIP untuk Pilkada 2020, Rabu, 2 September 2020.

Di acara yang sebetulnya rapat virtual itu, setelah mengumumkan pasangan calon yang direkomendasikan PDIP di Sumatera Barat, Puan berkata: "Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila."

Pernyataan Ketua DPR ini ditangkap publik, terutama masyarakat Minang, sebagai black message (pesan hitam) yang menyiratkan dua hal. Pertama, jika kandidat yang diusung PDI Perjuangan memenangi kontestasi pilgub Sumatera Barat berarti provinsi ini mendukung negara Pancasila. Kedua, selama ini PDI Perjuangan di Sumatera Barat tidak pernah memperoleh suara signifikan, yang diartikan provinsi ini “tidak mendukung negara Pancasila”.

Secara filsafat kebahasaan (hermeneutika), dengan pernyataannya itu  publik melihat Puan Maharani sedang mempersonifikasikan Pancasila dengan dirinya, atau tepatnya: PDI Perjuangan = Pancasila. Maka tak suka (calon) PDI Perjuangan sama dengan tidak mendukung Pancasila.

Ahli Waris Pancasila

Mungkin bukan hanya Puan, atau slogarde PDI Perjuangan, bahkan jajaran pemerintahan Joko Widodo yang backbone politiknya parpol pimpinan Megawati Sukrnoputri, mungkin juga mempersonifikasikan dirinya sebagai Pancasila.

Bedanya dengan rezim orde baru yang backbone politiknya (partai) Golkar, meskipun sama-sama mempersonifikasikan diri sebagai Pancasila, tapi Pancasila ketika itu dipakai sebagai “kerangkeng kekuasaan” untuk menyeragamkan pandangan yang berbeda, dijadikan “asas tunggal”. Sedangkan sekarang Pancasila dipakai sebagai “instrumen pemisah” antara “kita dan mereka”.

Memang ada perbedaan proses personifikasi sebagai Pancasila antara orde baru dan rezim Joko Widodo ini. Rezim orde baru merasa identik dengan Pancasila karena berhasil menggagalkan usaha PKI (Partai Komunis Indonesia) lewat Gerakan 30 September 1965 yang ingin mengganti dasar negara Pancasila dengan komunisme.

Sedangkan PDI Perjuangan yang merupakan pemenang pemilu dan parpol terbesar pendukung pemerintah, merasa sebagai ahli waris dan pemilik sah Pancasila setelah Presiden Joko Widodo pada 1 Juni 2016 menandatangani “Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila” sekaligus menetapkan sebagai hari libur nasional mulai 2017.

Secara politik, Keppres No 24/2016 itu merupakan “akte kelahiran Pancasila 1 Juni 1945” yang secara politik “bapaknya” adalah Sukarno, yang notabene ayah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputeri.

Sejak itulah dari penguasa dan pendukungnya berhamburan slogan “Saya Indonesia, Saya Pancasila…!”

Selanjutnya, sebagai “ahli waris Pancasila” PDI Perjuangan merasa berwenang membuat (rancangan) undang-undang tentang bagaimana seharusnya bangsa Indonesia menjalankan dan mengamalkan Pancasila, yang bisa diperas menjadi Trisila, lalu Ekasila.

Pancasila Tidak Dilahirkan

Melihat sejarah Pancasila dalam perspektif historiografi, sebenarnya Pancasila tidak (pernah) dilahirkan karena ia produk budaya (intelektual), peradaban yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat (kepulauan Nusantara) jauh, sangat jauh sebelum Sukarno dilahirkan, dan akan terus berproses seirama zaman.

Dengan demikian, Keppres No 24 Tahun 2016 yang menjadi “akte kelahiran Pancasila 1 Juni 1945” secara ketatanegaraan maupun secara intelektual bisa dianggap cacat. Menyimpang dari kaidah historiografi.

Ingat, di depan BPUPKI itu, baik Mr Mohammad Yamin yang konon berpidato soal “lima dasar” pada 29 Mei 1945 maupun Sukarno yang berpidato pada 1 Juni 1945 juga tentang “lima dasar” yang kemudian atas “petunjuk teman kita ahli bahasa” disebut Pancasila, mengaku hanya sebagai penggali. Sekali lagi: penggali!

Karena nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sesungguhnya berakar pada sejarah, peradaban, agama, yang telah lama berkembang di Nusantara.

Benar, Sukarno (dan juga Yamin) memang bisa disebut sebagai “arkeolog politik” yang menggali tata budaya dan nilai-nilai kehidupan di situs peradaban nenek-moyang kita untuk dijadikan pedoman kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.

Makanya, meskipun “pidato (Sukarno tentang Pancasila pada 1 Juni 1945) itu menarik perhatian anggota Panitia dan disambut dengan tepuk tangan yang riuh, sebagaimana diungkapkan Bung Hatta dalam suratnya kepada Guntur putra Sukarno, tapi masih berupa kumpulan artefak yang harus dibersihkan, disusun ulang, direstorasi, dipugar.

Apalagi Sukarno sendiri belum meyakini “lima dasar” yang ditawarkan kepada sidang BPUPKI bisa diterima. Makanya bagi yang tidak mau menerima “paket 5” ia juga menawarkan “paket 3” (trisila), jika tidak mau juga disediakan “paket 1” (ekasila).

Itu sebabnya, menurut Bung Hatta, untuk menyempurnakan bentuk dan susunan artefak politik yang digali Sukarno, dibentuklah Panitia 9 yang dipimpin sendiri Sukarno, dengan Drs Mohammad Hatta sebagai wakil, dan anggota: Mr AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, H Agus Salim, Mr Achmad Soebardjo, KH Wahid Hasjim, serta Mr Mohammad Yamin.

Oleh Panitia 9, Pancasila yang masih berupa “kumpulan artefak” itu disusun bersamaan dengan Piagam Jakarta yang kemudian dijadikan Pembukaan UUD 1945.

Akan tetapi ketika Pancasila hendak diletakkan di tempat yang tinggi sebagai pedoman bangsa, para pendiri bangsa melihat ada yang “kurang elok” bagi umat Nasrani (dan non-Muslim) lantaran ada “tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya) di belakang sila Ketuhanan.

Singkat cerita, artefak Pancasila yang digali Sukarno dari situs peradaban Nusantara itu akhirnya berhasil direstorasi Panitia 9 menjadi Pancasila yang kita kenal sekarang (1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, 5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia).

Kemudian pada 18 Agustus 1945, Pancasila yang berada dalam Pembukaan UUD 1945 dan Undang-undang Dasar Negara Indonesia 1945 diterima oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, menjadi satu Dokumen Negara.

Jadi Pancasila tidak dilahirkan (1 Juni 1945), melainkan digali dari situs peradaban bangsa, dan ditetapkan sebagai dasar negara bersamaan dengan penetapan Konstitusi UUD 1945 pada 18 Agustus 1945.

Sebagai referensi dalam perspektif historiografi, bisa kita bandingkan dengan Borobudur. Apakah candi Buddha terbesar di dunia itu lahir pada 1814, tahun digagasnya pencarian artefak Borobudur oleh Thomas Stamford Raffles (utusan Inggris untuk jadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda - 1811-1816), atau HC Cornelius, insinyur Belanda yang diperintah Raffles untuk mengangkat batu-batu candi yang tertimbun tanah dan pepohonan?

Tentu saja kita percaya Pancasila, sebagaimana Borobudur, sudah lahir jauh sebelum peradaban manusia modern menguni bumi Nusantara.

Tugas para penyelenggara negara untuk menjalankan roda pemerintahan, membuat kebijakan, sesuai dengan amanat Konstitusi UUD 1945 yang Pancasila ada di dalamnya, sebagai jiwanya. Bukan menjadikan Pancasila sebagai instrumen pemisah, apalagi alat gebuk, mereka yang berbeda dengan penguasa. 

Penulis adalah anggota Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita