Kasus COVID-19 di Bali Meledak Setelah Wisata Dibuka Lagi

Kasus COVID-19 di Bali Meledak Setelah Wisata Dibuka Lagi

Gelora News
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO - Bali berusaha mengembalikan diri sebagai destinasi utama wisata di Indonesia dengan membuka diri di tengah pandemi COVID-19, namun sekarang tempat kremasi menjadi kewalahan menerima jenazah untuk dibakar.

Peningkatan kasus di Bali: 
- Bali kembali membuka pariwisata untuk turis lokal sejak 31 Juli
- Sekitar empat ribu turis tiba di Bali setiap hari
- Kematian karena COVID-19 di Bali sudah meningkat lima kali lipat sejak turis datang

Desa Bebalang adalah salah satu tempat yang menjadi lokasi pengambilan film "Eat, Pray, Love" yang dibintangi oleh artis terkenal Hollywood Julia Roberts.

Namun sekarang desa kecil di Bangli tersebut menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi mereka yang meninggal karena COVID-19.

Dengan meningkatnya penularan virus di pulau tersebut, mereka yang bekerja di Krematorium Bebalang mengatakan mereka kewalahan untuk melakukan upacara pembakaran mayat.

Krematorium tersebut merupakan satu dari sedikit tempat yang khusus diperuntukkan bagi mereka yang meninggal karena atau dicurigai mengidap COVID-19.

Angka resmi kematian karena corona di Bali sejauh ini adalah 241 orang.

Sebelum pandemi, krematorium yang diberi nama Sagraha Mandra Kantha Santhi hanya melakukan kremasi satu jenazah dalam sehari.

"Belakangan ini kami menerima 8 sampai 10 jenazah dalam sehari, bahkan pernah menerima 18 jenazah," kata kepala krematorium I Nyoman Karsana.

Inilah kenyataan sekarang di pulau Dewata tersebut yang beberapa bulan sebelumnya yang tampaknya berhasil menangani penyebaran corona di saat di bagian lain di Indonesia penyebaran tinggi.

Risiko membuka diri untuk turis

Tingkat kematian karena corona di Bali termasuk yang paling cepat di Indonesia, sejak pulau tersebut membuka diri untuk kedatangan turis lokal 31 Juli lalu.

Sejak pariwisata dibuka kembali, jumlah kematian karena COVID-19 di Bali naik lima kali lipat dan tingkat penularan juga naik dua kali lipat.

Delapan dari sembilan kabupaten di Bali sekarang masuk dalam zona merah.

Menurut epidemiolog Dr I Gusti Ngurah Kade Mahardika, sedikitnya jumlah tes COVID-19 yang dilakukan membuat susah untuk mengetahui tingkat penularan sebenarnya.

"Jumlah tes harian rendah sekali," katanya.

"Data yang saya miliki menunjukkan hanya sekitar 600-700 orang dites setiap hari, jadi kita tidak bisa mengetahui situasi sebenarnya."

Sekitar empat ribu orang turis lokal tiba di Bali setiap hari sejak 31 Juli, yang menjadi penyebab menyebarnya virus di pulau tersebut, menurut Dr Mahardika.

"Pembukaan kembali Bali menimbulkan eforia bagi warga lokal. Mereka berpikiran Bali sekarang sudah dibuka, sehingga mereka bebas melakukan apa saja, dan mereka kemudian memenuhi tempat-tempat wisata," katanya.

Bali sekarang jadi padat lagi

Kawasan pantai, restoran dan tempat wisata lain sudah dipenuhi lagi dengan warga baik penduduk setempat maupun turis.

Mereka yang datang ke pulau tersebut harus menunjukkan surat bahwa mereka tidak mengidap COVID-19.

Namun tes antibodi yang digunakan seringkali tidak akurat, sehingga virus sekarang masuk ke pulau tersebut.

"Saya sudah mengatakan berulang kali. Seharusnya Bali di-lockdown," kata Dr Mahardika.

"Semua indikator saat itu menunjukkan pembukaan kembali untuk kedatangan turis ke Bali seharusnya tidak dilakukan. Namun mereka tetap melakukannya."

Pemerintah daerah sekarang sedang mempertimbangkan untuk melakukan beberapa hal untuk menurunkan tingkat kematian.

Pemda sudah menjanjikan meningkatkan kapasitas rumah sakit untuk menangani virus dan melakukan pembatasan jumlah mereka yang bisa berada di kawasan wisata, upacara keagamaan dan fasilitas umum seperti pasar.

Jumlah orang yang bekerja di perkantoran juga akan dikurangi menjadi 25 persen.

Namun sejauh ini belum ada rencana untuk menutup diri dari turis lokal.

Banyak pemilik usaha kecil yang takut dengan penyebaran virus, namun mereka juga mengandalkan diri pada industri wisata untuk menghidupi mereka.

"Saya takut dengan COVID-19, namun kalau saya tidak bekerja, bagaimana kami bisa makan, bila kami di rumah saja tanpa bantuan apapun," kata Dewi Suryanti yang menjual jagung bakar di kawasan Sanur.

Restoran dan hotel di Bali, khususnya di kawasan wisata, harus memenuhi aturan ketat dalam usaha mengurangi penularan.

Staf harus mengenakan masker dan suhu tubuh setiap tamu ketika tiba di hotel atau restoran.

Banyak restoran juga membatasi tamu hanya menerima 50 persen dari kapasitas.

Tetapi banyak tempat ditutup sejak pandemi dimulai awal Maret lalu dan banyak yang belum bisa buka lagi.

"Bila pemerintah memutuskan menutup sumber pendapatan kami dari turis lokal, bagaimana kami bisa bertahan hidup?" kata manajer restoran Ni Ketut Sasya Jolya Monic. (*)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA