Papua dan Bali Dinilai Alami Penjajahan Gaya Baru Berkedok Proyek dan Industri Wisata

Papua dan Bali Dinilai Alami Penjajahan Gaya Baru Berkedok Proyek dan Industri Wisata

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Desa-desa adat di Bali dan Papua mengalami penjajahan bahkan genosida gaya baru melalui program-program pemerintah dan donor luar negeri yang berkedok pemberdayaan. Di Bali dibungkus dengan industri wisata, di Papua lewat banyaknya gelontoran dana.

Demikian disampaikan antropolog I Ngurah Suryawan lewat orasi budaya ‘Desa/Kampung Bergerak Refleksi dari Bali ke Papua’ dalam pembukaan Festival Kebudayaan Desa, di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (13/7).

“Jika dilihat konteks besarnya, pemberdayaan itu sebagai cengkeraman besar negara dan kapital ke desa. Dengan dalih pemberdayaan, padahal yang terjadi kematian sosial. Desa- desa di Bali dan Papua menghadapi penjajahan gaya baru,” tuturnya.

Menurutnya, penjajahan Bali dibungkus secara canggih dan beradab. Selama ini manusia dan budaya Bali terus memantaskan diri di depan pariwisata. Upaya memantaskan diri depan industri wisata ini dibingkai dengan harmoni sosial dan stabilitas. Orang luar Bali melihat hal itu sebagai suatu yang apa adanya.

“Padahal ada problem serius di situ. Bali dibuat kehilangan kemandirian dan dibuat tergantung pada pariwisata. Saat pandemi ini terlihat kerapuhan kemandirian Bali tanpa bergantung wisata,” kata doktor dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, ini.

Adapun Papua, menurut Ngurah, menerima ribuan proyek dari berbagai pihak, seperti pemerintah dan donor luar negeri untuk mengubah wilayah itu. “Tapi sampai sekarang, Provinsi Papua dan Papua Barat masih tertinggal dan indeks pembangunan manusianya rendah. Ada kondisi ironi di tengah usaha perbaikan itu,” ujarnya.

Ngurah bercerita, selama melakukan perjalanan di Papua, warga setempat tahu kekayaan alam mereka besar tapi mereka hidup dalam rantai kemiskinan dan kekerasan. “Banyak program di desa yang ingin mereka maju, memberi mimpi kesejahteraan, tapi tak berakar pada budaya mereka. Ini jadi candu untuk ke dunia luar yang mereka banyangkan. Mereka mengejar modernitas tapi akhirnya dihadapkan pada masalah multidimensi, seperti ekonomi, politik, dan lingkungan,” ujarnya.

Selain itu, warga desa Papua juga meniru perilaku elit dan negara mengeksploitasi mereka. “Ada pewarisan praktik penipuan dan olok-olok penindasan Papua oleh negara. Ini diinternalisasi dan diapatasi oleh orang Papua lalu diwujudkan ke sesama dan lingkaran mereka. Hasilnya lingkaran canggih untuk menipu,” tuturnya.

Ia melihat Papua hanya diberdayaakan dengan uang. “Uang dianggap pecahkan kemiskinan. Seolah bergerak jika ada uang lewat dana otonomi khusus, dana desa, bantuan tunai. Jika tak ada uang, kemandirian sosal tidak ada. Ini sangat berbahaya,” ujar pengajar di Universitas Papua ini.

Ngurah menjelaskan, pembangunan desa adat melalui nilai-nilai luar yang tak berakar membentuk kesadaran palsu untuk berubah. Kondisi Bali dan Papua menjadi contoh sistem baru untuk menghancurkan kemandirian masyarakat desa dalam menentukan nasib. Pemberdayaan pun semu.

“Ini genosida gaya baru dalam melumpuhkan pemberdayaan masyarakat adat. Bentuknya tidak hanya mengekspolitasi, tapi pembiaraan atas penghancuran budaya masyarakat adaat. Birokrat dan akademisi dibantu aparat membungkam desa dengan teknologi kolonialisasi baru,” kata dia. []

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA