Idul Adha Jedakan Jiwa

Idul Adha Jedakan Jiwa

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

Oleh:Prof. Haedar Nashir
IDUL Adha merujuk pada udhiyah, peristiwa kurban. Kurban yang diteladankan Nabi Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar. Ketiganya ikhlas mengorbankan nyawa Ismail, yang akhirnya diganti dengan sembelihan hewan kurban.

Kurban syariatnya menyembelih hewan, tetapi hakikatnya menyembelih segala ego diri dan duniawi guna meraih takwa sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Hajj: 37.

Dengan kata lain ibadah kurban dan Idul Adha semestinya dapat menghidupkan jiwa ikhlas, sabar, dan berkorban untuk meraih takwa. Sembelihlah segala nafsu bahimiah atau kehewanan agar hati, pikiran, dan tindakan berjiwa takwa.

Takwa itu jiwa hanif atau otentik yang tertanam dalam qalbu setiap insan beriman. Takwa itu puncak segala kebaikan yang melintasi ranah syariat menuju tangga hakikat dan makrifat dalam beragama.

Menjadi orang yang bersyukur, sabar, dan ikhlas itu tidaklah mudah dalam praktik meski gampang dalam kata. Begitu juga menjadi takwa lebih tidak mudah lagi, hingga Allah menyuruh orang bertakwa agar "sebenar-benarnya takwa" (QS Ali Imran: 102).

Sudahkah kita terbiasa memberikan sebagian rizki yang dimiliki kepada orang yg memerlukan, menahan marah, dan memberi maaf kepada orang? Boleh jadi masih tidak mudah. Pekerjaan ruhani seperti itu tergolong "rif'ah" atau tindakan mulia bertingkat tinggi.

Bisa jadi bahkan atasnama menegakkan kebenaran atau nahyu munkar terpancar aura amarah, kebencian, permusuhan, dan sikap "tiada maaf bagimu". Malah mungkin dengan sikap jemawa dan angkuh diri, merasa paling pemegang palu kebenaran dengan sikap semuci atau merasa paling benar.

Padahal Allah dzat pemilik kebenaran sejati mengingatkan dengan tegas, "Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa" (QS. An Najm:32).

Coba praktikkan tiga sifat takwa tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Berbagi rizki, menahan marah, dan memberi maaf. Cek pesan-pesan WA, SMS, Twitter, Instagram, serta media sosial kita lainnya setiap hari.

Apakah yang paling banyak pesan berbagi, damai, merangkul, dan segala nilai keutamaan yang memancarkan kesyukuran, kesabaran, dan keikhlasan berjiwa takwa? Atau suara marah dan menghardik sesama dengan sikap jemawa merasa paling bersih, benar, dan suci.

Sesekali pesan-pesan sosial itu kita  suarakan dengan rendah hati dalam balutan jiwa takwa nan hanif.

Di Hari Adha ini mari kita meneladani keikhlasan, kesabaran, dan pengorbanan untuk meraih tangga tertinggi takwa. Di antaranya mengistirahatkan atau membuat jeda jiwa kita dari amarah, kedengkian, kebencian, permusuhan, dan menempatkan orang lain sebagai serba salah, serbasesat.

Seraya menghidupkan jiwa ikhlas, sabar, tawadhu, serta hati yg bersih sebagai kekuatan ruhani positif dalam menjalani dan menghadapi kehidupan nan fana ini. Amar makruf nahyu munkar pun dapat disuarakan dgn hikmah, mauidhah hasanah, dan mujadalah yang ihsan tanpa keangkuhan diri.

Pancarkan pesan-pesan kebenaran, kebaikan, kedamaian, dan segala keutamaan dengan jiwa ikhlas, sabar, dan tawadhu. Jadikan hati, pikiran, sikap, dan tindakan kita selaku insan bertakwa dalam menghadapi kehidupan seberat apapun dengan ketulusan, kesabaran, dan berkorban penuh.

Kita ini hamba yang dhaif serta masih banyak salah dan khilaf, jauh dari sempurna. Kewajiban kita hanya ikhtiar, tanpa harus melampaui takaran. Selebihnya urusan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sesekali berhenti sejenak dari kebiasaan menghardik orang lain hatta atasnama suara kebenaran yang siapa tahu nisbi. Mari di Hari Raya yang diberkahi ini, kita jedakan jiwa agar tetap hanif tanpa jemawa.

(Ketua Umum PP Muhammadiyah.)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita