Gugatan Rachmawati Dikabulkan MA, Prof Suteki: Hukum Tidak Boleh Hanya Andalkan Logika!

Gugatan Rachmawati Dikabulkan MA, Prof Suteki: Hukum Tidak Boleh Hanya Andalkan Logika!

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Putusan Mahkamah Agung (MA) atas gugatan uji materil Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) 5/2019 yang dilayangkan pendiri Yayasan Pendidikan Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri dan kawan-kawan, menuai tanggapan.

Salah satu yang menyampaikan padangannya terkait putusan MA ini ialah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Pierre Suteki, dalam sebuah tulisan panjang yang diterima Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (7/7).

Tulisan Suteki ini berjudul "Polemik Tak Berkesudahan: Siapa Yang Dilantik Jika Hanya Ada Dua Paslon Dalam Pilpres?" Ini coba menilik atau mengamati dari perspektif hukum progresif terhadap putusan MA.

Diawal tulisannya ia menuturkan, putusan MA ini tidak perlu diributkan sebagaimana yang ditunjukkan Jurnalis Hersubeno dalam unggahan videonya di media sosial.

"Terkait dengan unggahan suatu putusan pengadilan, hal itu tidak perlu diributkan, karena yang terpenting adalah putusan pengadilan telah diberikan kepada para pihak yang bersengketa secara patut dan telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, sehingga sudah dapat eksekusi," ungkapnya.

Menurut Suteki, putusan MA atas gugatan Rachmawati Cs yang baru diunggah tanggal 3 Juli 2020 tidak bisa mengubah keabsahan hasil Pilpres 2019 silam. Karena menurutnya sudah jelas bahwa hasil pemilu memenangkan paslon 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin, dari paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Suteki merujuk ke Pasal 416 ayat (1) UU 7/2017 tentang Pemilu jo Pasal 6A ayat (3) UUD 1945, yang menerangkan bahwa pemenang pasangan capres terpilih memperoleh suara lebih dari 50 persen jumlah suara, dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

"Artinya, selain syarat 50 persen jumlah suara, ada syarat 20 persen suara dan melebihi 50 persen jumlah provinsi di Indonesia," tekannya.

Namun bukan itu yang menjadi titik substansial dari perdebatan putusan MA ini menurut Suteki. Akan tetapi ialah terkait tafsir yang dikemukakan sejumlah pihak, termasuk Hersubeno, atas PKPU 5/2019 yang dianggap bertentangan dengan UU 7/2017 dan Pasal 6A UUD 1945

Suteki coba mengurai pandangan hukum dalam memahami gugatan PKPU 5/2019 tentang Penetapan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih dalam Pemilu 2019 tersebut. Yang mana menurutnya, persoalan ini menjadi pengulangan dari sengketa Pemilu yang ada di Pilpres 2014 silam.

Di mana saat itu, Pilpres yang diatur lewat UU 42/2008 juga menimbulkan polemik. Karena satu pasal di dalam aturan tersebut dianggap tidak sesuai dengan kondisi riil oleh beberapa pihak. Sehingga mengharuskan adanya judicial review terhadap Pasal 159 UU 42/2008.

Perundang-undangan tersebut dianggap tidak sesuai dengan kondisi riil karena tidak mengatur secara eksplisit jumlah paslon yang mengikuti kontestasi, yang ujungnya berhubungan dengan syarat-syarat penetapan paslon pemenang pemilu yang diatur di dalam Pasal 6A UUD 1945.

Alhasil, JR yang digugat di Mahkamah Konstitusi ini dikabulkan lewat Putusan MK No.50/PUU-XII/2014. Dalam putusan tersebut ditegaskan bahwa Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres bersifat inkonstitusional bersyarat, sepanjang pilpres hanya diikuti dua paslon Presiden dan Wakil Presiden.

"Penetapan putusan ini berarti: apabila Pilpres hanya diikuti dua paslon, maka yang akan resmi dilantik oleh KPU adalah yang memperoleh suara terbanyak. Dengan begitu, pilpres dipastikan berlangsung hanya satu putaran dan mengambil mekanisme suara terbanyak, sehingga syarat persentase persebaran suara (20 persen dari setengah jumlah total provinsi) juga jadi tidak berlaku," jelasnya.

Oleh karena itu kemudian Suteki memaknai putusan MK disengketa Pemilu 2014 lalu lah yang kemudian dimasukan ke dalam PKPU 5/2019 untuk menetapkan paslon Pilpres 2019.  

"Sebab di dalam Pasal 3 ayat (7) aturan ini (PKPU 5/2019 menyebutkan, “Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih," ucap Suteki.

Dengan demikian Suteki menegaskan bahwa MA terlalu kaku dalam memahami hukum yang ada. Bahkan Suteki menyatakan bahwa hukum tidak hanya bisa dipahami dengan logika, tapi juga perasaan.

"Merujuk apa yang dikemukakan oleh Ronald Dworkin, maka 'cara mengeja' konstitusi itu seharusnya dilakukan secara moral. Pengejaan pasal dan ayat konstitusi harus dikaitkan dasar hukum yang melatarbelakangi perumusannya sehingga diperoleh 'gambar tampilan' hukum yang utuh, tidak hanya berupa fragmen pasal yang pada hakikatnya hanya skeleton atau 'bangkainya hukum'," paparnya.

"Indonesia bukan Amerika atau pun Eropah, tapi Indonesia, setidaknya bumi yang berada di titik sudut Asia yang kaya dengan nilai oriental-transenden. Mistisisme menjadi ruh perilaku kita untuk tidak mengandalkan cipta, logika tapi juga rasa. Berhukum pun tidak boleh hanya mengandalkan logika, melainkan juga rasa (compassion)," demikian Pierre Suteki. (*)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA