Trump vs Xi Jinping: Dulu Ancam Putus Hubungan Kini Minta Bantuan

Trump vs Xi Jinping: Dulu Ancam Putus Hubungan Kini Minta Bantuan

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO -Saat hubungan Amerika Serikat (AS) dan China memanas, Presiden AS Donald Trump sempat mengancam putus hubungan. Namun, Trump kini justru disebut meminta bantun ke China.
Mulanya, pada bulan Mei, Trump sempat mengancam akan menarik diri dari kesepakatan dagang dengan China. Ada kesepakatan dagang parsial yang ditandatangani Januari lalu, yang menandai gencatan senjata dalam perang dagang kedua negara.

Para pejabat AS tengah mencari cara untuk menghukum China dan meminta kompensasi atas segala kerugian yang disebabkan pandemi Corona. Pada Selasa (12/5/2020) lalu, para Senator Republikan mengajukan legislasi yang akan memberikan wewenang kepada Trump untuk menjatuhkan sanksi terhadap China, jika negara itu tidak memberikan pertanggungjawaban penuh terkait pandemi Corona.

Jelang akhir pekan ini, muncul kabar terbaru soal ketegangan AS-China. Trump menyatakan dirinya tidak ingin bicara dengan Presiden China, Xi Jinping. Trump memperingatkan bahwa dirinya bisa saja memutus hubungan AS dengan China terkait cara penanganan pandemi virus Corona (COVID-19).

"Saya memiliki hubungan sangat baik (dengan Xi), tapi saya -- saat ini saya tidak ingin bicara dengannya," ucap Trump merujuk pada Presiden Xi dalam wawancara dengan media AS, Fox Business, dilansir AFP, Jumat (15/4).

"Saya sangat kecewa pada China. Saya beritahu Anda hal itu sekarang," tegasnya.

Saat ditanya bagaimana AS akan bertindak, Trump tidak memberikan jawaban spesifik, namun menyampaikan komentar bernada ancaman. "Ada banyak hal yang bisa kita lakukan. Kita bisa melakukan sesuatu. Kita bisa memutuskan seluruh hubungan," tegasnya.

"Jika Anda melakukannya, apa yang akan terjadi?" imbuh Trump. "Anda akan menyelamatkan US$ 500 miliar jika Anda memutus seluruh hubungan," sebutnya.

Beberapa pekan terakhir, Trump menuduh China menutupi skala sebenarnya dari wabah virus Corona, yang akhirnya menyebar luas ke berbagai negara dan kini menewaskan lebih dari 300 ribu orang secara global. China membatas keras tuduhan itu dan bersikeras menyatakan pihaknya telah memberikan semua data yang ada sesegera mungkin kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Mereka bisa menghentikannya di China yang menjadi asalnya. Tapi itu tidak terjadi. Sungguh menyedihkan apa yang terjadi pada dunia dan pada negara kita, dengan semua kematian yang ada," imbuh Trump.

Duta Besar China untuk Inggris, Liu Xiaoming, menyampaikan bantahan keras dalam wawancara dengan Sky News. "Tidak ada yang ditutup-tutupi sama sekali. China adalah korban. China bukanlah pelaku," tegasnya.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, mendorong AS untuk berkompromi dengan China dan memperkuat kerja sama dalam memerangi pandemi virus Corona. China memilih mencari titik temu dengan AS ketimbang melanjutkan keributan.

"Menjaga perkembangan stabil untuk hubungan China-AS menjadi kepentingan fundamental bagi rakyat kedua negara, dan itu kondusif bagi perdamaian dan stabilitas dunia," sebut Zhao dalam press briefing terbaru menanggapi komentar Trump.

Namun, situasinya kini justru tampak berbalik. Trump disebut berupaya meminta bantuan kepada Presiden China, Xi Jinping, agar dia bisa kembali menang dalam pilpres AS mendatang. Hal ini dijelaskan oleh mantan Penasihat Keamanan Nasional, John Bolton, dalam buku barunya.

Dalam cuplikan buku karyanya yang diberikan kepada media AS, Bolton mengatakan bahwa Trump ingin China membeli produk-produk pertanian dari para petani AS.
Para koresponden media mengatakan hal ini mengingatkan khalayak ketika Trump dituding meminta presiden Ukraina menyelidiki bakal calon presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden.

Pemerintahan Trump diketahui berusaha mencegah buku ini tidak terbit. Menurut Departemen Kehakiman, buku tersebut memuat "informasi rahasia", namun Bolton menepisnya.

Buku berjudul The Room Where It Happened bakal dirilis pada 23 Juni mendatang. Dalam buku tersebut, Bolton juga membahas klaim-klaim yang berujung pada sidang pemakzulan Trump.

Klaim itu, antara lain, Trump menahan bantuan militer ke Ukraina guna menekan Presiden Volodymyr Zelensky agar memulai penyelidikan terhadap Joe Biden dan putranya, Hunter.

Trump membantah laporan tersebut dan, setelah sidang berjalan selama dua pekan di Senat yang dikendalikan Partai Republik, dia tidak dimakzulkan.

Bolton mengatakan penyelidikan itu mungkin berbeda hasilnya jika tidak hanya fokus ke Ukraina, tapi contoh-contoh campur tangan politik lainnya.

Bolton bergabung dengan Gedung Putih pada April 2018 dan hengkang pada September 2019. Saat itu dia mengatakan dirinya memutuskan berhenti sebagai penasihat keamanan nasional. Akan tetapi, Trump berujar bahwa Bolton dipecat karena perbedaan pendapat yang "kuat".

Tuduhan Bolton merujuk pada pertemuan antara Trump dan Xi pada pertemuan G20 di Osaka, Jepang, pada Juni 2019.

Presiden China itu mengeluh bahwa sejumlah kalangan di AS menyerukan perang dingin yang baru, menurut Bolton dalam cuplikan buku yang diterbitkan harian New York Times,

Trump, seperti disebutkan Bolton, kemudian berasumsi bahwa Xi merujuk pada orang-orang Partai Demokrat.

"Trump, secara menakjubkan, mengubah percakapan itu menjadi soal pemilihan presiden AS [pada 2020], dengan menyebut kemampuan ekonomi China dan memohon Xi agar memastikan dirinya menang," tulis Bolton.

"Dia menekankan pentingnya para petani dan pentingnya peningkatan pembelian kacang kedelai serta gandum dari China terhadap hasil pemilihan," tambah Bolton.

Ketika Xi sepakat agar diskusi mengenai produk-produk pertanian menjadi prioritas dalam perundingan dagang, Trump menyebut Xi sebagai "pemimpin terhebat dalam sejarah China".

Penuturan Bolton ini dibantah Perwakilan Dagang AS, Robert Lighthizer, pada Rabu (17/06). Lighthizer mengatakan permintaan agar China membantu Trump agar terpilih lagi "tidak pernah terjadi".

Trump, kata Bolton, berujar bahwa pembangunan kamp-kamp tersebut seharusnya terus berlangsung karena "itu adalah hal yang benar untuk dilakukan".

Berbagai kelompok hak asasi manusia telah dengan keras mengritik China mengenai pembangunan kamp-kamp tersebut yang menahan sekitar satu juta orang etnik Uighur dan etnik minoritas lainnya untuk dihukum dan diindoktrinasi.

Beberapa penasihat terdekat Trump, termasuk Menteri Luar Negeri Mike Pompeo dan Bolton sendiri, mempertimbangkan untuk mundur dari jabatan karena muak atau frustrasi, sebut sang mantan penasihat keamanan nasional.

"Dia menebak-nebak motif orang, melihat konspirasi di balik segala sesuatu, dan secara menakjubkan tetap tidak tahu bagaimana memimpin Gedung Putih jangankan pemerintah federal yang besar," tambah Bolton.

Dia menyertakan rincian sejumlah percakapan pribadi, antara lain Trump dituduh tidak tahu Inggris punya kekuatan nuklir dan Finlandia adalah sebuah negara.

Dalam satu kesempatan, sebagaimana dituliskan Bolton, sang presiden mengatakan akan mengancam mundur dari NATO jika para sekutu di blok tersebut tidak meningkatkan anggaran belanja di sektor pertahanan.

Bolton juga menyebut bahwa Pompeo yang secara umum dianggap setia kepada Trump pernah mengeluh dia mengalami "serangan jantung" dalam percakapan dengan pemimpin Korea Selatan.(dtk)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita