Perusahaan AS dan Jepang Pindahkan Pabriknya dari Cina ke Vietnam, Malaysia, Thailand dan Kamboja

Perusahaan AS dan Jepang Pindahkan Pabriknya dari Cina ke Vietnam, Malaysia, Thailand dan Kamboja

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Pandemi COVID-19 menyadarkan banyak negara bahwa risiko ketergantungan pasokan industri dari Cina sangat besar. Kegiatan produksi yang "macet” di tengah pandemi membuat sejumlah perusahaan besar AS dan Jepang mulai merelokasi pabriknya dari Cina ke tempat lain.

Meski Cina memegang peranan kuat dalam sektor industri global, namun negara itu juga tak luput dari masalah ekonomi akibat gempuran wabah COVID-19, seperti kebanyakan negara lainnya di dunia.

Kesulitan ekonomi global juga diperparah dengan perseteruan berkepanjangan antara dua negara dengan kinerja ekonomi terbesar di dunia, yakni Cina dan AS.

Meningkatnya ketegangan akibat perang dagang dan tudingan-tudingan AS terhadap Cina sebagai "biang kerok” wabah COVID-19, membuat perusahaan-perusahaan besar AS berencana merelokasi pabrik mereka dari Cina ke negara-negara Asia Tenggara.

Dilansir Deutsche Welle, menurut laporan Bank Dunia, setidaknya ada 33 perusahaan yang memindahkan produksinya ke luar Cina hingga Oktober 2019, akibat perang dagang berkepanjangan. Perusahaan-perusahaan itu direlokasi ke Vietnam, Malaysia, Thailand dan Kamboja, namun tidak ada yang masuk ke Indonesia.

Bank Dunia mengatakan: Vietnam, Malaysia, Thailand dan Kamboja adalah saingan kuat bagi Indonesia di sektor investasi. "Bisnis pindah dari Cina tetapi tidak datang ke Indonesia,” sebut Bank Dunia.

Dalam situasi pandemi, Vietnam juga dilaporkan lebih mampu menahan penyebaran virus corona dibandingkan Indonesia. Menurut situs worldometers.com, hingga Kamis (11/06), Vietnam tercatat melaporkan 332 kasus COVID-19 dengan angka kematian nol.

Catatan kasus yang relatif kecil itu menempatkannya sebagai negara Asia Tenggara yang akan mampu lebih cepat menghidupkan kembali perekonomian dibanding negara ASEAN lainnya, demikian menurut pakar kesehatan publik yang diwawancarai oleh Reuters. []
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita