Infiltrasi Ideologi Komunis ala PKI: Warga Dipaksa Menonton Teater “Matine Gusti Allah”

Infiltrasi Ideologi Komunis ala PKI: Warga Dipaksa Menonton Teater “Matine Gusti Allah”

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO –  “Tok..tok..tok..Ayo kita semua ke lapangan, menonton Ludruk ‘Matine Gusti Allah’ (Matinya Allah SWT).” Demikian kisah Sunaryo (67), seorang warga Nganjuk mengenai pengalamannya berurusan dengan orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kala itu, Sunaryo masih duduk di bangku SMP pada era 1965. Dia mengatakan, pada masa itu, para simpatisan PKI aktif memaksa masyarakat untuk menonton gelaran seni ludruk yang diinisiasi oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), underbouw PKI di bidang kesenian dan kebudayaan.

Saat kentongan berbunyi, itu artinya masyarakat harus bersiap-siap menuju lapangan untuk menyaksikan pentas seni yang menampilkan lakon-lakon provokatif. Lakon yang menyinggung hubungan agama dan sosial masyarakat kala itu.

Hal serupa dialami Sudrajat (70) di Kampungnya di Tegal Sari Ponorogo. Panggung hiburan yang menyebutkan Tuhan telah mati sering ditampilkan. Masdukin (70), warga Blitar pun pernah ikut menyaksikan pertunjukkan tersebut pada tahun 1965 – 1966.

“Ya isinya begitu, dibilang Allah ngunduh mantu, Allah mati,” kenangnya kepada tim Liputan Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) dan Jurnalis Islam Bersatu (JITU) untuk penulisan buku Dari Kata Menjadi Senjata: Konfrontasi PKI dengan Umat Islam.

Lekra sendiri sebagaimana diakui oleh budayawannya memang merupakan bagian dari PKI. “Ya memang Lekra merupakan bagian dari PKI,” kata Djoko Pekik (79), seorang pelukis yang bergabung Lekra pada tahun 1960 saat ditemui di kediamannya di Yogyakarta medio Agustus 2016.

Pernyataan Djoko menguatkan pendapat  sastrawan Ajip Rosidi (78). Ajip menjelaskan bahwa Lekra memang menjalankan agenda PKI lewat aksi-aksi massa. Bahkan Lekra di daerah-daerah diresmikan oleh PKI.

“Saat itu memang ada pelarangan buku. Bahkan buku yang saya sunting yang ada tulisan sastrawan yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan, tak luput dari pelarangan. Akhirnya buku tersebut tidak bisa terbit,” katanya.

Pada tahun 1965 grup-grup ludruk dan ketoprak di Jawa Timur semakin berani dalam menyuguhkan lakon-lakon yang memancing amarah. Grup-grup kesenian binaan Lekra sudah biasa membawakan lakon berjudul Matine Gusti Allah, Gusti Allah Dadi Manten, hingga Malaikat Kimpoi (bersetubuh).

Di Yogyakarta, kawasan “Merah”, PKI lewat Lekra-nya juga kerap mengampanyekan ideologi-ideologi komunisnya lewat jalur kebudayaan. Mereka menggelar Pagelaran Ketoprak bertema Matine Gusti Allah.

“Dulu, latar belakang di sini basisnya PKI, masyarakat banyak yang tergabung dalam Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) PKI,” ucap biro Rumah Tangga Masjid Jogokariyan Sudi Wahyono.

Siapa sangka, wilayah berdirinya Masjid Jogokariyan yang sekarang ramai dikunjungi umat Islam itu merupakan kampungnya para simpatisan dan orang-orang PKI. Masjid itu kemudian dibangun untuk mengembangkan dakwan Islam dan melawan penyusupan ideologi komunisme.

Kisah ini dibenarkan tokoh masyarakat yang juga saksi sejarah perjuangan Islam di era 1966, H. Muhammad Chamid.  Masjid ini resmi dibangun tahun 1967 di atas tanah wakaf Bapak Jazuri.

“Kita masih minoritas. Islamnya juga banyak yang Islam abangan, tidak shalat, orang-orang mabuk sambil berjudi pemandangan biasa saat itu,” lanjutnya, melengkapi.

Namun karena basis ‘orang-orang Merah’, perkembangan dakwah di kawasan Jogokariyan ini tak semudah membalikan telapak tangan. Mereka sering mengganggu aktivitas ibadah umat Islam.

“Misalnya, ketika shalat dibunyikan mercon.Kita memang banyak dimusuhi. Akan tetapi, tak menyurutkan semangat teman-teman (angkatanya) untuk berdakwah,” ungkap H. Chamid mengenang. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita