Ilmuwan Ini Curiga, 80 Persen Manusia Sebenarnya Tak Mudah Terjangkit Covid-19

Ilmuwan Ini Curiga, 80 Persen Manusia Sebenarnya Tak Mudah Terjangkit Covid-19

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO – Sampai saat ini, para ilmuwan mengasumsikan bahwa mayoritas penduduk dunia rentan terjangkit virus corona (Covid-19). Namun, masih minimnya penelitian dan adanya fakta bahwa orang yang mengidap virus itu sering kali tidak menunjukkan gejala, membuat asumsi itu sulit untuk dikonfirmasi.

Berdasarkan asumsi terkait risiko kontaminasi Covid-19 yang meluas itu pula, pemerintah di berbagai negara bahkan telah menerapkan karantina atau penguncian wilayah (lockdown) yang merusak tatanan ekonomi. Tujuan utama kebijakan itu adalah membatasi penyebaran virus corona untuk melindungi sistem layanan kesehatan agar tidak kewalahan.

Akan tetapi, menurut ilmuwan saraf terkemuka dunia asal Inggris, Profesor Karl John Friston, mayoritas penduduk dunia kemungkinan memiliki prior immunity atau semacam “kekebalan yang sudah didapat sebelumnya” terhadap Covid-19. Karena itu, mereka yang punya kekebalan tersebut tidak akan terjangkit virus asal China itu sejak awal.

Klaim Friston membangun pergeseran menuju konsensus bahwa sebagian orang sebenarnya tidak rentan terhadap virus corona. Hipotesis ini mengikuti argumen ilmuwan lainnya, Michael Levitt, pada awal Mei bahwa model data matematika sejauh ini tidak menunjukkan pertumbuhan eksponensial pada virus corona.

BACA JUGA:
Perlonggar Lockdown, Inggris Buka Toko dan Mal Awal Juni
Sebagai gantinya, Friston mengatakan, dia mengharapkan penelitian yang sedang berlangsung untuk mengungkapkan bahwa mayoritas populasi di Inggris, negara asalnya, tidak rentan terhadap penyakit tersebut.

“Saya curiga, begitu (penelitian) ini dilakukan, sepertinya bagian populasi yang tidak rentan efektif (terjangkit Covid-19) adalah sekitar 80 persen. Saya pikir itulah yang akan terjadi,” katanya kepada Freddie Sayers dari laman berita UnHerd, dalam sebuah wawancara yang ditayangkan pada Jumat (5/6/2020) dan dilansir Alarabiyah.

Sebagai seorang pakar ilmu saraf yang terkenal karena menemukan teknik pencitraan otak “pemetaan parametrik statistik”, Friston bukanlah ahli epidemiologi ataupun spesialis penyakit. Sebaliknya, dia mendasarkan klaimnya pada penerapan analisis pemodelan untuk data Covid-19.

Friston sama sekali tidak mengklaim telah menemukan antibodi sebenarnya yang dapat membuat orang kebal terhadap virus corona. Dia hanya ingin mengatakan, data yang ada sejauh ini menunjukkan bahwa sejumlah besar orang memiliki semacam “materi gelap imunologis”, yakni suatu bentuk resistensi terhadap infeksi yang belum diidentifikasi.

Sebagaimana dicatat oleh UnHerd, ini tidak berarti bahwa bagian penduduk dunia yang tidak rentan Covid-19 secara teknis kebal terhadap virus itu. Tetapi sebaliknya, mereka tidak mungkin tertular dalam keadaan normal. Mereka akan mungkin tertular pada kondisi yang tak biasa, misalnya ketika terkena atau terpapar viral load yang tinggi di rumah sakit.

Dampak terhadap kebijakan pemerintah

Klaim Friston tersebut sudah barang tentu memiliki implikasi luas bagi pemerintah ketika mereka berusaha untuk menangani pandemi virus corona. Menurut model Friston, kebijakan pemerintah bukanlah penjelasan utama atas berbagai tingkat kematian dari satu ke lain negara. Sebaliknya, dia berpendapat bahwa persentase populasi yang rentan terhadap Covid-19 memiliki pengaruh paling kuat terhadap tingkat kematian suatu negara.

Sebagai contoh, Friston mengatakan, Jerman memiliki angka kematian yang jauh lebih rendah daripada Inggris. Menurutnya, fakta itu terbentuk bukan karena banyaknya pengujian corona atau kebijakan penguncian yang diterapkan pemerintah setempat, melainkan karena “populasi yang rentan” di Jerman jauh lebih kecil.

Sementara, di sisi lain, Friston juga mengakui bahwa dunia masih memerlukan penelitian lebih lanjut, mengingat implikasi pemodelannya masih sangat luas. Jika hipotesisnya benar, pemerintah akan dapat sepenuhnya mempertimbangkan kembali pendekatan-pendekatan untuk mencabut kebijakan lockdown.

Jika benar 80 persen dari populasi dunia tidak dapat terjangkit Covid-19, maka langkah-langkah pembatasan jarak sosial mungkin tidak perlu dilakukan dalam skenario pasca-lockdown. Transportasi umum dapat mulai beroperasi kembali; tempat hiburan dan perhotelan dapat dibuka kembali, dan; kegiatan olahraga dapat dilanjutkan semua orang tanpa risiko besar terjadinya gelombang kedua lonjakan infeksi. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita