Tragis, Sopir Taksi Daring Dibiarkan Meninggal Akibat COVID-19

Tragis, Sopir Taksi Daring Dibiarkan Meninggal Akibat COVID-19

Gelora Media
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO - Terakhir kali Mary Jayaseelan bicara dengan suaminya Rajesh saat sang suami akan dipasangi ventilator di bangsal perawatan Covid.
Mereka terpisah jarak 8.000 kilometer. Rajesh di Rumah Sakit Northwick Park di London, sementara Mary di Bangalore, India, di rumah bersama dua anak mereka. Sampai saat itu, Rajesh, 44 tahun, berkata ia akan baik-baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Namun Rajesh sempat mengaku, "Mary, saya agak takut".

Besoknya, Rajesh Jayaseelan meninggal dunia.

Rendah hati dan lembut

Rajesh dan Mary menikah tanggal 24 Februari 2014, dan menyewa rumah di Hulimavu, Bangalore.

Ibu Rajesh yang berumur 66 tahun juga tinggal di situ.

Sepanjang tahun Rajesh lebih banyak berada di Harrow, London Utara menjadi pengemudi taksi daring, Uber. Ia bekerja dari malam sampai dini hari, agar bisa menabung cukup uang untuk dikirim kepada keluarga di India.

Ia menikmati pekerjaannya, walaupun ia tidak menyadari jenis pekerjaan ini menjadikannya rentan dalam kriris kesehatan global yang terjadi saat ini.

“Selama 22 tahun ia bekerja di London dan bolak-balik dari India. Biasanya ia ada di India selama beberapa bulan,” kata Mary. “Ia cinta London dan bercerita kepada saya betapa indah dan bersihnya kota itu. Saya belum pernah ke London”. Mereka hidup bahagia.

Jika sedang tidak di India, Rajesh akan menelepon anak-anaknya dengan panggilan video setiap hari.

Temannya, Sunil Kumar, mengatakan bahwa Rajesh adalah seorang yang “rendah hati dan lembut”.

Rajesh dan Sunil sama-sama berasal dari Bangalore dan mereka pertamakali bertemu tahun 2011 di London.

Bersama, keduanya saling bantu, termasuk saling meminjamkan uang saat butuh. Sunil sering mengajak Rajesh makan malam dengan keluarganya dan membekali makanan India untuk dibawa pulang.

Rajesh senang tinggal di London, tapi ia tak berencana di sana selamanya. Ia berencana berkumpul dengan keluarganya di India.

Menyewa rumah di Hulimavu tidak murah, maka ketika terakhir Rajesh kembali ke India tahun 2019, ia dan istrinya memutuskan meminjam uang untuk membeli tanah di Bangalore tahun 2019.

Rajesh berangkat kembali ke London 15 Januari 2020. Kurang dari dua minggu kemudian, kasus pertama virus corona dilaporkan di Inggris.

Mengantar penumpang terakhir pada 23 Maret ke Bandara Heathrow

Sekalipun virus sudah berjangkit di Inggris, Rajesh tak terlalu khawatir. Toko-toko dan restoran masih buka. Bagi banyak orang, termasuk pengemudi Uber, tak banyak berubah dari bulan-bulan sebelumnya.

Bulan Maret virus sudah menular antar manusia di Inggris.

Jumlah kasus dan kematian terus naik setiap hari. Isolasi sudah diperintahkan, dan jika ada gejala – sekalipun ringan – diminta untuk mengurung diri tujuh hari.

Tanggal 23 Maret, Perdana Menteri Boris Johnson mengumumkan karantina nasional, selama tiga minggu. Artinya bisnis berhenti dan orang hanya boleh keluar rumah untuk urusan sangat penting.

Awalnya, seperti halnya banyak pengemudi Uber, Rajesh terus bekerja. Lalu muncul gejala mirip flu dan ia harus berhenti. Kerja terakhirnya adalah tanggal 23 Maret, mengantar orang ke Bandara Heathrow.

Gejalanya memburuk dan ia masuk rumah sakit karena dehidrasi. Selagi di rumah sakit, ia dites virus corona. Hasilnya positif.

Diusir dari kamar kos

Staf rumah sakit menyuruh Rajesh mengurung diri dan kembali jika gejalanya memburuk. Ia melakukan seperti yang diperintahkan, pulang ke kamar kosnya. Namun keadaan memburuk.

“Pemilik pondokan meminta Rajesh keluar untuk satu urusan. Lalu secara sepihak mengganti kunci, sehingga Rajesh tak bisa masuk,” kata Mary. “Dia mencoba mengetuk pintu dan bicara kepada pemilik pondokan, tapi tak dibukakan pintu”.

Si pemilik pondokan tak tahu bahwa Rajesh positif Covid-19. Namun katanya, sebagai pengemudi Uber, Rajesh berpeluang membawa virus ke dalam rumah. Si pemilik pondokan tak mau ambil risiko.

Karena tak ada tempat lain, Rajesh terpaksa tidur di mobilnya selama beberapa hari.

“Tak ada makanan sehingga ia sama sekali tak makan,” kata Mary.

Lalu Rajesh menelepon Sunil.

“Itu telepon terakhir kami,” kata Sunil. “Ia tidak bercerita rinci apa yang terjadi padanya. Namun karena saya bekerja di NHS (Dinas Kesehatan Inggris), ia pun menanyai saya, apakah aman keadaan sekarang, apakah lebih baik kalau kembali ke India, dan sebagainya. Ia tanya apa saya punya jalan buat kembali ke India agar ia bisa kumpul bersama keluarganya. Namun saat itu, India juga sudah dikarantina.”

Rajesh juga bilang ia butuh tempat baru karena pemilik pondokan mengatakan ia berisiko membawa virus. Namun kata Sunil, Rajesh tidak bilang bahwa ia sudah diusir dari pondokannya. “Kemungkinan besar karena ia malu”.

Tersengal-sengal saat menelpon

Sesudah mencari beberapa hari, akhirnya ia menemukan satu kamar di sebuah rumah di Harrow, London utara. Ia diminta membayar di muka £4.000 (sekitar Rp71juta), dan ia tak punya uang sebanyak itu. Menurut Mary, Rajesh cari pinjaman.

Sesudah mendapat tempat tinggal, Rajesh takut sekali diusir lagi. Ia menyembunyikan diri dan menghindar kontak dengan pemilik pondokan dan penghuni lain. Bahkan ia tak masak untuk dirinya sendiri.

Kondisi kesehatannya memburuk. Satu-satunya interaksi sosial adalah lewat telepon dengan istrinya.

Di situ Rajesh sesekali meyakinkan istrinya ia akan baik-baik saja, tapi sering juga menangis.

Dalam percakapan-percakapan telepon itulah Mary menyadari Rajesh sulit bernapas.

“Ia tersengal-sengal di kamarnya dan tiap hari makin buruk,” kata Mary. “Satu malam saya suruh ia ke rumah sakit. Ia tak mau memanggil ambulans karena tak mau orang lain tahu lalu akhirnya diusir lagi”.

Rajesh lalu menyetir sendiri ke rumah sakit, sekalipun sangat kepayahan bernapas. Sesampai di sana, ia didiagnosa pneumonia.

“Paginya ia telepon saya dari rumah sakit lewat panggilan video. Namun anak-anak melihatnya, mereka menangis,” kata Mary. “Ia lalu mematikan video dan bilang ke saya, ia tak mau anak-anaknya melilhatnya saat sakit seperti itu”.

Tanggal 11 April, dokter yang merawat Rajesh menelepon Mary dan menjelaskan kondisi Rajesh kritis dan tak akan membaik. Mereka mengatur panggilan video untuk Mary dan anak-anak untuk melihat Rajesh terakhir kali. Rajesh sudah tidak sadar. Ia meninggal dua jam kemudian.

Penggalangan dana

Setelah tahu anaknya meninggal dunia, ibunda Rajesh jatuh sakit. Ia menderita darah tinggi dan terjadi lonjakan level gula darahnya. “Tak ada yang bisa menghiburnya,” kata Mary.

Karena tekanan utang untuk membeli tanah, tagihan rumah sakit dan biaya sekolah, Mary mencoba mencari kerja jadi pembersih. Namun karena karantina, ia sulit mendapat pekerjaan.

Sunil membantu mereka selagi bisa, dan Sunil juga sedang mencari jalan untuk menuntut pemilik pondokan Rajesh secara hukum. Keluarga Mary juga membentuk penggalangan dana.

Pihak Uber menghubungi BBC menyatakan bela sungkawa atas Rajesh.

Namun Mary masih berjuang karena hidupnya begitu cepat berubah.

“Rajesh sudah tiada, hidup kami jadi sangat sulit,” katanya. “Saya tak tahu bagaimana hidup kami tanpa dia”.

Kelompok rentan

Virus corona mungkin tidak pandang bulu, tetapi ada laporan bahwa sebagian kelompok masyarakat mengalami dampak lebih buruk ketimbang lainnya, terutama para pekerja di sektor ekonomi seperti pengemudi Uber dan sejenisnya (dikenal dengan sebutan gig economy).

Dalam ekonomi seperti ini pekerja yang terdampak adalah pekerja paruh waktu tanpa kontrak.

Di Inggris, berdasarkan kajian tahun lalu, ada 4,7 juta orang bekerja di sektor ini, dan sebanyak 60% pekerja dunia berada dalam kondisi kerja sejenis.

Penelitian dari World Economic Form dan beberapa lembaga lain memperlihatkan faktor yang membuat mereka rentan.

Pekerja seperti ini dianggap pekerjaan ‘esensial’ sehingga masih berinteraksi dengan banyak orang. Namun mereka tak ada hak cuti sakit sehingga terpaksa harus tetap bekerja, dan tak bisa mengisolasi diri.

Bayaran mereka kecil dan tak pasti, sehingga akomodasi mereka juga ikut tak pasti. Mereka juga tak punya akses untuk penilaian risiko dan alat pelindung.

Ayako Ebata, dari Institute of Development Studies, mengatakan orang yang bekerja di sektor semacam ini tak aman kerjanya karena “sangat mengandalkan upah harian".

Tekanan terhadap mereka besar sekali sehingga mereka tak libur, sekalipun saat kesehatan mereka jadi taruhan.

“Bukan karena mereka abai atau tak tahu, tapi karena sistem memaksa mereka untuk mengambil keputusan yang membahayakan kehidupan dan kesehatan mereka,” katanya.

Dr Alex Wood, sosiolog dari Universitas Oxford, pakar gig economy sepakat bahwa tiadanya perlindungan kerja membuat masalah semakin buruk.

"Perusahaan-perusahaan seperti itu mengatakan tak perlu khawatir (soal hak dan kewajiban) karena kalau ekonomi berjalan, tak ada risiko," kata Dr Wood. "Kenyataannya, ketika ada krisis seperti ini, para pekerja lah yang harus menanggung, sekalipun pekerjaan mereka dianggap ‘esensial’."

Kini, pengemudi di Inggris menuntut perlindungan lebih besar dari pemerintah. Serikat pekerja pengemudi United Private Hire Drivers (UPHD) dibentuk, dan sedang mengajukan judicial review (pengujian undang-undang) untuk persoalan ini.[viva]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA