Pemerintah Dan BI Perlu Waspada Cetak Uang Tambahan Untuk Atasi Covid-19

Pemerintah Dan BI Perlu Waspada Cetak Uang Tambahan Untuk Atasi Covid-19

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


Oleh:Achmad Nur Hidayat
 JALAN tengah dilema Quantitative Easing (QE) melalui cetak uang melalui QE adalah BI membeli SBN (cetak uang) dalam jumlah yang prudent dan pemerintah melakukan stimulus yang bertanggungjawab dimana DPR mengawasi kedua otoritas tersebut dengan baik.

Publik dikejutkan dengan persetujuan banggar DPR untuk menyetujui BI cetak uang Rp 600 triliun demi menyelamatkan ekonomi nasional.

Opsi untuk kebijakan mencetak uang atau money printing sebagai penopang dan opsi pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah.

DPR mengingatkan dalam situasi global yang tengah berjuang melawan Covid-19 mengakibatkan ekonomi tumbuh melambat oleh karena itu diperlukan tindakan cepat.

DPR melihat situasi sekarang tidak mudah mencari sumber sumber pembiayaan, meskipun dengan menerbitkan global bond dengan bunga besar.

Mantan Menteri Perdagangan RI, Gita Wirjawan juga mengusulkan hal senada dengan jumlah yang lebih besar yaitu Rp 4,000 triliun. BI diharapkan dapat menjadi penyelamat ekonomi di tengah stimulus yang masih sangat minim.

Gita yang juga Wakil ketua pertimbangan Kadin menilai program quantitative easing diperlukan untuk mencukup kebutuhan ekonomi dalam negeri, tidak hanya digunakan untuk memberi stimulus pada mereka yang kehilangan pendapatan, tapi  juga untuk restrukturisasi penyelamatan sektor riil dan UMKM.

Namun BI punya pendapat lain. BI khawatir dengan QE dan depresiasi rupiah yang berpotensi melemah lebih dalam.

BI juga mengingatkan bahwa QE dapat menimbulkan inflasi karena uang yang beredar melonjak lebih dalam. Jika tidak mampu menyerap kembali makan akibat perekonomian paska covid akan kelebihan likuiditas sebagaimana BLBI.

Inilah dilemanya selamat dijangka pendek dan menderita di jangka panjang atau ktia dapat menjaga keseimbangan antara keselamatan kesehatan di jangka pendek dengan kekuatan robustness ekonomi di jangka menangah dan panjang.

Kita harus ingat saat BI mencetak uang tahun 1998, angka inflasi mencapai 67 persen karena uang tersebut diedarkan untuk menyelamatkan sektor perbankan yang sedang collapse. Berbeda bila dengan tujuan operasi moneter dan penambahan likuiditqas di perbankan sebagai yang dilakukan BI selama ini.

BI sudah melakukan QE dari Januari-April 2020 dengan jumlah Rp386 triliun dengan BI membeli SBN di pasar sekunder yang dijual asing dan Rp 117.8 triliun sebagai tambahan likuiditas dari penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 200 bps pada 13/14 April lalu. Total QE yang telah disalurkan BI kini Rp503.8 triliun.

Likuiditas perbankan didesain BI harus selalu tersedia. BI melakukannya dengan cara relaksasi Rasio Intermedisi Makroprudensial (RIM) yang berlaku 1 tahun sejak 1 Mei, Penurunan GWM rupiah dan Swap Valas yang masing-masing telah menambah likuiditas ke perbankan sebesar Rp 15.8 triliun, Rp 53 triliun dan Rp 29.7 triliun.

Penurunan GWM 2 persen pada awal Mei 2020 ini akan menambah likuiditas perbankan sebesar Rp 102 triliun. Penambahan likuiditas perbankan dimaksudkan BI agar seiring dengan lemahnya sektor riil tidak membuat perbankan kesulitan likuiditas. Meski kenyataan dilapangan seluruh perbankan tidak menyalurkan kredit baru di masa Covid-19. Perbankan menyalurkan kredit yang sebelumnya sudah diperjanjikan jauh sebelum Covid-19.

Meski BI sudah melakukan QE tapi jumlah QE yang telah dilakukan masih tidak mencukupi untuk menggerakan ekonomi yang lesu akibat Covid-19.

BI juga tidak boleh melakukan egois sektoral dengan memikirkan hanya perbankan dan moneter saja, BI perlu memikirkan kebijakan multisektoral seperti sektor rill, UMKM, fiskal dan keberlanjutan ekonomi Indonesia akibat Covid-19.

Pemerintah sudah bingung karena selain global bond yang diterbitkan peminatnya sudah sepi, bunganya juga terbilang cukup tinggi dengan menghitung Net Present Value bond di masa depan.

Kekhawatiran BI terhadap depresiasi rupiah melemah dihadapan mata uang lain tidak perlu menjadi konsen karena QE melalui pembelian surat utang negara di pasar primer saat covid merupakan hal yang umum karena banyak negara kini mencetak uang untuk mencukup kebutuhan ekonomi dalam negerinya.

Kekhawatiran lain soal inflasi juga tidak beralasan. Pertama inflasi Indonesia dalam 2 tahun terakhir terkendali dan kedua uang stimulus pemerintah tersebut disalurkan ke masyarakat, hanya untuk menjamin kebutuhan dasar, bukan untuk meningkatkan gaya hidup yang menjadi penyebab inflasi.

Jalan tengahnya adalah BI bersedia membeli SBN di pasar primer dengan mempertimbangkan kehati-hatian terhadap fundamental ekonomi dan Yield SBN. Mungkin pembelian SBN tidak dilakukan dalam jumlah besar sekaligus tapi bertahap dan dimulai dengan jumlah yang masuk akal.

Tujuan pembelian bertahap dan mulai dari jumlah kecil tersebut untuk memastikan bahwa Yield SBN tidak boleh lebih rendah dari biaya operasi moneter dengan demikian pencetakan uang melalui Quantitative Easing tidak merugikan ekonomi Indonesia di masa depan.

Pemerintah juga diharapkan dapat melakukan kebijakan stimulus yang bertanggungjawab dan tepat sasaran. Stimulus yang tidak tepat di masa covid meski sudah merupakan janji kampanye harus dievaluasi dan didesain ulang sehingga mampu menyelamatkan ekonomi lebih besar daripada menguntungkan sekelompok kecil kelompok kecil.

(Pengamat kebijakan publik.)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA