Normal Lama, Ditunggu Sampai Ketiduran pun Tak Akan Kembali

Normal Lama, Ditunggu Sampai Ketiduran pun Tak Akan Kembali

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


The New Normal akan seperti apa?

Seperti sekarang ini. Dan bukan ’’akan’’, yang seakan-akan makhluknya belum datang dan bentuknya belum pasti.

Bentuknya sudah pasti! Yaitu aneka ketidakpastian: tiba-tiba sulit, tanpa terasa sudah dua bulan kelimpang-kelimpung di rumah. Eh, besok sudah Lebaran… dan ternyata tidak bisa saling salaman. Alamaak… istri hamil lagi, omzet terjun bebas, dan seterusnya.

Daftar guncangan hidup yang bikin bengong ini bisa sangat panjang. Geronjal-geronjal seperti jalan makadam yang ujungnya tak kelihatan.

Keluar rumah harus pakai masker hanya salah satu dari ribuan keharusan dalam tatanan hidup baru. Semua adalah akibat kontraksi serangan Covid-19, sejak kali pertama si virus mematikan itu diumumkan masuk Indonesia, 3 Februari lalu.

Hidup repot begini ini kira-kira akan sampai kapan?

Sampai entah kapan. Yah, kira-kira kapan-kapan, lah…

Kalau kita setuju bahwa ini akan berlangsung lama, hati bisa menerima dengan segenap keikhlasan dan kelapangan dada. Berarti kita sudah sepakat inilah The New Normal. Normal dari kumpulan ketidaknormalan. Normal baru menggantikan normal lama, karena ditunggu sampai ketiduran pun normal yang kemarin tak akan kembali.

Namun, jika kita masih yakin Juni nanti situasi sudah OK lagi, atau paling lama September, pun tak ada salahnya. Toh, kalau ternyata situasinya nanti jauh dari ekspektasi, paling kita hanya akan kecewa. Soal kecewa, kita sudah rajin berlatih sejak lama. Kebal kecewa.

Pertengahan Januari lalu, ketika korona menghebohkan Wuhan, saya memberi gambaran kepada jajaran internal direksi Jawa Pos Koran. Bahwa, kita sedang –bukan akan– memasuki tatanan hidup baru yang sebagian besar berubah secara fundamental.

Ini simpulan imajinatif dari tipikal virus yang sedang menyerang di Tiongkok itu. Sketsa dan oret-oretannya: Bagaimana nanti seandainya korona sampai di sini. Beredar di tengah-tengah masyarakat dengan keindonesiaannya yang khas: grubyak-grubyuk, keruntal-keruntel, gerudak-geruduk, kluyar-kluyur rono-rene, blusak-blusuk. Fenomena kumpul rame-rame, mengangkat beban berat bareng-bareng, gotong royong, dalam pengertian fisikal itu sangat kita banget. Tiba-tiba harus saling menjaga jarak. Harus berjauhan. Kelihatannya sepele, tapi sungguh itu tuntutan perilaku baru yang amat sangat sulitnya.

Februari, dunia usaha mulai waswas, meski masyarakat umum belum terlihat cemas. Rawon, pecel, soto, mi rebus, koran, bisa dibeli dengan mudah di terminal bus, stasiun kereta api, hingga bandara.

Hari ini, Bungurasih sepiii… Pesawat pada nongkrong doang. Bandara melompong.

Semua industri ngos-ngosan terdampak pandemi. Bisnis sulit karena yang banyak diserang adalah sisi fundamentalnya. Sekitar paru-paru.

Ini sudah bulan keempat kita semua mencoba berjuang mempertahankan normal lama dengan segala cara, dengan harapan situasi bisa segera kembali seperti sediakala.

Hasilnya?

Tatanan hidup dalam kenormalan baru justru harus kita sepakati. ’’Mari berdamai dengan Covid-19,’’ ajak presiden. Hidup di era New Normal yang dibentuk oleh kumpulan ketidaknormalan. Apa boleh buat?

Memang sulit menerima kenyataan ini. Tapi, akal sehat kita juga kesulitan menemukan di mana tidak logisnya. Semua memori tentang normal lama yang tenang, lancar, aman jaya, harus segera di-setting ulang. Peranti utamanya adalah kesadaran dan kedisiplinan. Kata Kapolda Jawa Timur yang baru, Irjen Pol M. Fadil Imran: disiplin adalah vaksin.

Saatnya kita menginjeksi diri dengan kesadaran dan kedisiplinan baru agar semua segera bisa hidup normal di era Normal Baru.

Selamat merayakan Lebaran. Mohon maaf lahir dan batin. (*)

*) Leak Kustiyo, Direktur Utama Jawa Pos

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita