Pemimpin Iran Sebut Donald Trump Lebih Berbahaya dari Virus Corona

Pemimpin Iran Sebut Donald Trump Lebih Berbahaya dari Virus Corona

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Permusuhan antara Iran dan Amerika Serikat tak kunjung membaik. Setelah pada awal tahun 2020 Iran dan AS terlibat konflik militer, kini di tengah pandemi COVID-19 kedua negara tersebut belum kunjung menurunkan tensi ketegangan.

Saat dunia berjuang bersama memerangi COVID-19, Amerika Serikat malah menerapkan saksi pelarangan pengiriman peralatan medis ke Iran. 

Dikutip dari AlJazeera, Selasa 7 April 2020, Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, Ali Shamkhani, menyebut Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, lebih berbahaya dari virus corona. Ia menyoroti langkah AS dalam memblokir pasokan medis untuk memerangi virus corona terhadap Iran sama dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Ali Shamkhani mengatakan pemerintah Amerika menentang upaya IMF untuk membantu Iran mengatasi pandemi COVID-19.

Shamkhani menulis di akun Twitter miliknya bahwa sanksi atas barang-barang medis adalah tindakan ilegal dan tidak manusiawi serta merupakan simbol permusuhan terbuka Trump kepada rakyat Iran.

"Penolakan AS untuk memberikan fasilitas kepada Iran oleh IMF untuk memenuhi barang-barang medis yang diperlukan untuk melawan virus corona adalah contoh nyata dari kejahatan terhadap kemanusiaan," lanjut Shamkhani.

"Trump lebih berbahaya dari virus corona," tukas Shamkhani.

Saat ini, lebih dari 3.600 orang meninggal akibat COVID-19 di Iran. Sedangkan, angka kasus positif COVID-19 di negara tersebut hampir mencapai 60 ribu, menurut data dari John Hopkins University.

Sejak 2018, pemerintahan Trump memberlakukan kebijakan sanksi "tekanan maksimum" terhadap Teheran, setelah Washington DC keluar dari perjanjian nuklir 2015.

Bulan lalu, ketika Iran dilanda COVID-19 dengan hebat, AS berulang kali memperketat sanksi yang dirancang untuk mencekik ekspor minyak Iran.

Pada 26 Maret, pemerintahan Trump memberlakukan sanksi baru terhadap 20 orang Iran dan perusahaan yang dituding mendukung milisi syiah di Irak, yang juga diyakini bertanggung jawab atas serangan pangkalan udara Amerika Serikat.[viva]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita