Kapal Tiongkok Berseliweran Lagi di Natuna

Kapal Tiongkok Berseliweran Lagi di Natuna

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Pihak Istana mengambil sikap sabar menyikapi kabar yang menyebutkan kapal-kapal nelayan Tiongkok kembali berseliweran di Natuna.

Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani menganggap wajar datangnya kapal Tiongkok. Sebab, memang sejak awal ada perbedaan pandangan antara Indonesia dan Negeri Panda mengenai status Natuna.

Jaleswari menerangkan, Indonesia berpegang pada United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 yang menyatakan wilayah itu adalah bagian dari ZEE Indonesia. Sementara Tiongkok, berpegang pada Nine Dash Line alias sembilan garis putus-putus yang diklaim sebagai batas teritorialnya.

“Jadi, soal klaim-klaim dan lain-lain, sepanjang Indonesia dan China (Tiongkok) tidak pernah satu ukuran untuk melihat klaim itu, tidak akan bertemu. Dan itu wajar saja,” ujar Jaleswari, di Istana Negara, kemarin, seperti dikutip dari Rakyat Merdeka RMCO.id.

Dengan perbedaan mendasar itu, Jaleswari meyakini kejadian kapal Tiongkok yang masuk ZEE di Natuna akan terus berulang. Yang terpenting, katanya, kehadiran presiden beberapa waktu lalu telah memberi pesan yang jelas; kedaulatan Indonesia di Natuna tak bisa ditawar.

Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Fadjroel Rahman menyatakan, kapal-kapal TNI AL akan tetap berada di perairan Natuna. Fadjroel menyebut, keberadaan kapal TNI AL itu untuk mengawasi kapal Coast Guard dan kapal ikan Tiongkok yang kembali berseliweran di wilayah itu.

“Ya tetap di sana, tetap ada di sana. Dimungkinkan sementara ini, jadi ada upaya bersama untuk mengawal hal tersebut,” ujar Fadjroel.

Selain mengawasi, keberadaan kapal perang TNI AL itu juga untuk melakukan penegakan hukum di wilayah ZEE Indonesia. Menurutnya, pemerintah akan terus meningkatkan patroli dengan melibatkan Badan Keamanan Laut (Bakamla) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KKP.

“Dalam hak berdaulat dalam kasus ini, adalah Zona Ekonomi Ekslusif, itu yang diperlukan adalah penegakan hukum,” tutur dia.

Terpisah, pakar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana memprediksi, permasalahan ini tak akan selesai cepat karena Tiongkok dan Indonesia memiliki klaim sendiri-sendiri. Indonesia tak mau mengakui klaim Tiongkok. Demikian sebaliknya.

Karena itu, Hikmahanto menyebut, tak mungkin ada pembicaraan antara Indonesia dan Tiongkok terkait masalah ini. “Mereka enggak mau mundur sejengkal pun dari klaimnya kan,” ujar Hikmahanto.

Atas hal itu, dia menyarankan, pemerintah sebaiknya melakukan backdoor diplomacy atau diplomasi pintu belakang. Harus ada seorang tokoh dari Indonesia berbicara dengan tokoh Tiongkok untuk membahas masalah ini.

“Menyampaikan jangan sampai masalah kaya begini itu memunculkan sentimen anti-Tiongkok di Indonesia, padahal mereka punya kepentingan yang besar di Indonesia,” ujarnya.

Ia menyatakan, Tiongkok yang akan rugi jika terjadi sentimen anti-Tiongkok dan pemerintah Indonesia tak bisa mengendalikan. Menurutnya, investasi negara pimpinan Xi Jinping tersebut bakal terganggu.

“Sehingga mereka tidak seperti layangan diulur, ditarik lagi. Nanti sudah mundur kapal-kapalnya, nanti sudah mulai tenang di Indonesia didatengin lagi. Jangan. Jadi, itu yang harus mereka pahami,” tuturnya.

Hikmahanto menyebut, kerja sama dengan Tiongkok di perairan Natuna juga tak mungkin dilakukan karena ada perbedaan pendapat terkait wilayah tersebut. "Salah satu solusi buat kita ialah perbanyak nelayan-nelayan Indonesia di sana untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Ini kan masalah sumber daya alam,” tandasnya. [jpnn]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita