100 Hari Jokowi-Ma'ruf Menjabat, Beban Masyarakat Kian Berat

100 Hari Jokowi-Ma'ruf Menjabat, Beban Masyarakat Kian Berat

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Hembusan nafas panjang keluar dari hidung Dwija Purnama saat menunggu di salah satu rumah sakit di bilangan Jakarta Selatan. Keluhan terlontar dari mulutnya sambil memegang erat tangan istrinya yang sedang sakit.

Pria berumur 42 tahun itu bekerja sebagai seorang buruh pabrik. Selagi menemani istrinya berobat, ia tak berhenti menyampaikan protes kepada pihak rumah sakit.

Sebab,ia merasa istrinya sudah menunggu terlalu lama. Sudah satu setengah jam ia duduk menunggu di ruang tunggu untuk mendapatkan kepastian perawatan istrinya.

Ia pun menggerutu menyalahkan pemerintah terhadap persoalan BPJS Kesehatan yang kini masih ramai diperbincangkan publik.

Dwija merupakan salah satu dari kelompok masyarakat yang memutuskan untuk menurunkan tingkat kelas layanan karena kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau mandiri.

Ia mengeluh penurunan kelas membuat rumah sakit menjadi penuh dan pelayanan kepada istrinya melambat.

"Tadinya, sekeluarga saya kelas dua, diturunin ke kelas tiga gara-gara iurannya naik. Semakin parah pelayanannya (kepada peserta BPJS)," gerutu pria berkulit sawo matang itu saat diwawancarai, Sabtu (25/1).

Ayah dari empat anak itu menilai kebijakan pemerintah menaikkan BPJS merupakan tindakan yang menyusahkan rakyat kecil seperti dirinya. Pasalnya, ia merasa kenaikan iuran BPJS sangat tinggi dan tidak searah dengan meningkatnya layanan.

"Rakyat jadi susah. Naiknya itu tinggi, sementara pendapatan saya juga kan gak naik. Iuran naik, tapi pelayanannya gak berubah, sepertinya malah makin parah," tuturnya.

Kenaikan iuran BPJS sendiri merupakan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 24 Oktober 2019.

Kenaikan iuran yang sudah berlaku per 1 Januari 2020 menaikkan iuran seluruh peserta mandiri pada ketiga kelas layanan.

Kebijakan kenaikan iuran BPJS hanya satu dari berbagai kebijakan yang menjadi pro-kontra publik dalam 100 hari kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi)  dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin.

Selain iuran BPJS Kesehatan, pemerintah juga mengerek cukai rokok per 1 Januari 2020 yang dianggap 'menyusahkan' bagi sebagian masyarakat.

Keluhan itu salah satunya dilontarkan oleh Arifin Salim yang sehari-hari bekerja sebagai penjaga warung.

Ia protes kenaikan cukai rokok telah mengurangi jumlah pelanggan di warungnya.

"Penjualan (rokok) jadi berkurang. Biasanya ya, saya bisa jual putarannya itu cepat. Dua, tiga hari bisa re-stock rokok yang laku, seperti Gudang garam, A Mild. Sekarang bisa empat, lima hari," tuturnya.

Tak hanya menambah beban bisnisnya, ia merasa kebijakan tersebut tidak juga efektif dalam mengurangi jumlah perokok. Pasalnya, mayoritas pembeli dapat beralih membeli rokok dalam jumlah ketengan dengan kenaikan cukai tersebut.

"Mau naik juga enggak berkurang perokok mah, kan bisa ngeteng juga," tukas pria berumur 28 tahun itu.

Pria penjual rokok di daerah Pamulang, Tangerang Selatan itu pun mengaku pendapatannya menjadi semakin menurun, seiring berkurangnya jumlah pelanggan.

Sebelum kenaikan rokok, Arifin mengaku dapat meraup untung sekitar Rp2,8 juta rupiah dalam satu bulan. Namun, bulan ini ia memperkirakan keuntungannya turun menjadi sekitar sekitar Rp2,3 juta rupiah saja.

"Gara-gara kenaikan rokok, untung juga otomatis berkurang. Kemahalan soalnya, sebungkus rata-rata udah hampir Rp30 ribu dari Rp20 ribu-an kan. Yang beli ngeteng, juga untungnya ke saya enggak banyak," tuturnya.

Diketahui, kenaikan cukai rokok itu termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 152/2019 tentang Perubahan Kedua atas PMK 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Aturan ini ditetapkan pada 18 Oktober 2019 dan diundangkan pada 21 Oktober 2019.

Selain cukai rokok, kenaikan tarif beberapa ruas tol juga telah dicap menjadi salah satu kebijakan yang membebani sebagian publik.

Suritno, seorang sopir truk, mengeluh atas tarif tol yang dinilainya kini mahal. Menurutnya, uang yang diberikan perusahaan sebesar Rp4,5 juta sebagai modalnya melewati rute Semarang-Jakarta tak cukup memberinya untung. Terlebih, apabila ia harus melewati jalan Tol Trans Jawa.

"Sekarang, tarif Semarang ke Jakarta hanya untuk tarif jalan tol untuk angkutan berat itu kira-kira Rp700 ribu," kata pria berumur 41 tahun itu di Pasar Kramat Jati, Jakarta.

Di luar tarif tol, Suritno pun mengaku harus mengeluarkan uang sekitar Rp 1,8 juta hanya untuk membeli bahan bakar minyak. Terlebih, terdapat biaya teknis seperti proses angkut dan lainnya sebesar Rp1 juta rupiah.

"Pengeluaran total itu Rp 4,2 juta per trip, belum termasuk uang makan dan lain-lain. Jadi paling saya cuma dapat Rp200 ribu sampai Rp300 ribu-an dari ongkos yang dikasih," keluh pria kurus dengan kulit kuning langsat itu.

Salah Arah

Ekonom dan Direktur Riset dari Center of Reforms on Economics (CORE)PiterAbdullah menilai wajar banyaknya keluhan masyarakat terhadap kebijakan 100harikinerjaJokowi.

Piter merasa kebijakan Jokowi pada periode sebelumnya lebih baik daripada kebijakan yang diambilnya pada awal periode ini.

"Pak Jokowi mengatakan di kampanye bahwa dia sudah nothing to lose, dia akan all out. Tapi yang kita lihat, kalau saya membandingkan periode pertama dengan kedua, justru periode yang pertama yang lebih nothing to lose," ucap Piter.

Menurut Piter, Jokowi lebih berani untuk mengambil kebijakan yang mengapresiasi anggaran, seperti mengurangi jumlah subsidi sehingga dapat mengubah struktur Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan mengerek investasi.

"Dia lebih membebani masyarakat. Seperti menaikkan cukai rokok, (iuran) BPJS Kesehatan, kemudian ini juga arahnya akan mengubah terkait dengan subsidi gas. Ini selain dia membebani, tapi dampaknya terhadap APBN-nya, ya tidak positif juga," tuturnya.

Menurutnya, kesalahan utama yang dilakukan Jokowi pada periode ini terletak pada strategi kebijakan-kebijakan yang memberikan tekanan terhadap daya konsumsi masyarakat secara keseluruhan di tengah kondisi tekanan perekonomian global.

Hasilnya, disamping turunnya daya beli masyarakat, tak sedikit dari publik yang memprotes dan lebih sensitif terhadap kebijakan-kebijakan tersebut.

"Pertumbuhan konsumsi kita (Indonesia) jadi tertahan, bahkan menurun. Kebijakan yang diambil pun malah yang mengurangi daya beli itu sendiri, mengurangi kemampuan konsumsinya masyarakat. Menaikkan iuran BPJS itu mengurangi daya belinya masyarakat, menaikkan cukai rokok demikian juga," jelasnya.

Tidak menutup kemungkinan, Piter pun berpendapat hal tersebut dapat berimbas kepada pertumbuhan perekonomian Indonesia yang berpotensi melesu.

Alih-alih memberikan kebijakan yang meringankan beban, ia merasa pemerintah justru semakin menjadi-jadi membebani daya beli masyarakat dengan isu kebijakan perubahan pada subsidi gas yang kini menjadi perbincangan.

"Di sisi lain, perbaikan di APBN-nya juga tidak signifikan. Bukan itu yang seharusnya dilakukan," tegasnya.

Menurut Piter, Jokowi sebaiknya tidak terlalu fokus terhadap kebijakan yang dibuat untuk mengerek investasi saja. Pasalnya, ia menilai komposisi subsidi, dan pengeluaran pembiayaan untuk infrastruktur serta belanja modal pemerintah sudah membaik dibandingkan ketimpangan alokasi anggaran subsidi yang terlalu besar pada era kepemimpinan pertama Jokowi.

"Kalau sekarang sudah kebalik, investasi pemerintah sudah jauh lebih besar, anggaran kita untuk memperbaiki infrastruktur itu Rp400 triliun, jauh di atas pengeluaran subsidi kita," tuturnya.

Piter kemudian mengatakan akan lebih tepat apabila pemerintah sekarang lebih fokus terhadap kebijakan dalam mempertahankan daya beli masyarakat. Pasalnya, capaian tingginya investasi yang didamba-dambakan oleh Jokowi pun sangat membutuhkan nilai konsumsi dari masyarakat.

"Kalau konsumsinya jatuh rendah, walaupun pemerintah mengeluarkan omnibus law, bagaimanapun juga, investasi masih akan tertahan. Orang tidak akan mau investasi kalau memang konsumsinya masyarakat juga rendah. Orang tidak akan investasi di Indonesia kalau orang tidak mau beli," paparnya.

Daya beli yang rendah, lanjut Piter dapat dinilai berdasarkan Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan laju inflasi inti sebesar 3,02 persen sepanjang 2019 yang menurun dibandingkan posisi pada 2018 sebesar 3,07 persen. Melambatnya inflasi tersebut dikhawatirkan terjadi karena melemahnya daya beli masyarakat.

Piter kemudian merasa pemerintah harus memikirkan dan merenungkan kembali terkait aturan-aturan yang jelas telah memberatkan daya beli rakyat selama ini.

"Pertama yang jelas adalah, jangan dikurangi daya belinya. Seperti kenaikan iuran BPJS, cukai rokok, dan gas. Setidaknya ini jangan dilakukan dulu," ujarnya.

Selain pengaturan kebijakan yang mengurangi daya beli, Piter juga merekomendasikan agar pemerintah juga seharusnya lebih fokus melakukan perbaikan terhadap kebijakan perpajakan.

Saat ini, pemerintah memang telah memberikan insentif perpajakan untuk mendorong investasi perusahaan seperti tax allowance, tax holiday, dan super deductive tax. Namun, pemerintah belum memberikan insentif perpajakan bagi rumah tangga. Padahal, daya beli masyarakat dapat meningkat jika pemerintah juga memberikan insentif pajak bagi kelompok perorangan.

"PPh-nya perorangan, kan belum ada yang insentifnya. (Insentif) itu sudah dijanjikan oleh pemerintah, tapi belum direalisasikan juga," pungkasnya.(*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita