Teguh Santosa: Isu Radikalisme karena Kegamangan Pemerintah Hadapi Tantangan Ekonomi

Teguh Santosa: Isu Radikalisme karena Kegamangan Pemerintah Hadapi Tantangan Ekonomi

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Pemerintah belakangan ini gencar mengeluarkan kebijakan keras untuk menangani radikalisme. Selain menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 menteri tentang penanganan radikaslime pada Aparatur Sipil Negara, Menteri Agama juga mengeluarkan Peraturan nomor 29 tahun 2019 tentang Majelis Taklim.

Menag Fachrul Razi mewajibkan seluruh majelis taklim terdaftar ke Kementerian Agama (Kemenag). Meski Fachrul Razi mengatakan aturan ini hanya untuk kepentingan pembinaan dan pendanaan, bukan untuk memerangi radikalisme.

Merespons kebijakan itu, Pemimpin Umum RMOL Network, Teguh Santosa mengatakan, apa yang dilakukan pemerintah adalah bentuk kegamangan dalam menentukan skala prioritas pembangunan.

Menurut Teguh, di era pemerintahan baru, seharusnya yang dipikirkan adalah isu ekonomi. Pembahasan soal kesesuaian Islam dengan demokrasi merupakan pembahasan lama yang sudah usai.

"Dugaan saya pemerintah khawatir tidak bisa mengatasi masalah ekonomi. Persolaan ekonomi jauh lebih serius daripada isu radikalisem yang diciptakan itu tadi. Mestinya golden periode (pemerintahan baru) pekerjaan riil saja yang difokuskan," demikian kata Teguh saat dalam acara dialog Layar Demokrasi CNN Indonesia TV dengan tema "Narasi Anti Radikalisme dan Panggung Politik 212", Senin malam (2/12). 

Anggota Dewan Kehormatan PWI ini menjelaskan, beberapa hal yang menjadi indikasi kegagalan pemerintah dalam menghadapi tantangan ekonomi, seperti amburadulnya Badan Pusat Statistik (BPS), busuknya puluhan ribu ton beras impor. Beberapa masalah ekonomi riil dapat mengakibatkan munculnya kekecewaan rakyat.

Kata Teguh, pemerintah harusnya fokus memenuhi kebutuhan rakyat, bukan malah mengurusi tentang jenggot dan celana cingkrang.

"Bisa jadi kegagalan pemerintah tangani ekonomi riil diekpresikan dengan pakek jenggot, cingkrang. Karena dia muncul sebagai protes sosial, contohnya beras busuk (20 ribu ton beras impor) dibuang. Pemerintah fokus saja dengan apa yang dibutuhkan rakyat, misalnya BPS amburadul, ini kan ekspresi kekecewaan rakyat," demikian analisa Teguh. []
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita