Laporan: Ada 56 Orang Korban Pelecehan di Gereja Katolik Seluruh Indonesia

Laporan: Ada 56 Orang Korban Pelecehan di Gereja Katolik Seluruh Indonesia

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Majalah Warta Minggu yang diterbitkan oleh Paroki Tomang – Gereja Maria Bunda Karmel (MBK), Keuskupan Agung Jakarta menyajikan laporan yang memicu pembicaraan luas, terkait pelecehan seksual di dalam Gereja Katolik di Indonesia.

Majalah milik paroki yang dilayani para imam Karmel itu melaporkan setidaknya 56 orang mengalami pelecehan seksual di dalam Gereja Katolik di seluruh Indonesia.

Laporan yang berjudul “Pelecehan Seksual di Gereja Indonesia: Fenomena Gunung Es?” itu, diterbitkan pada edisi Minggu, 7 Desember 2019.

Dijelaskan dalam majalah itu yang file dalam formatnya PDF-nya bahwa laporan itu berdasarkan sebuah diskusi yang diadakan di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta pada akhir November untuk menandai kampanye 16 hari penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Diskusi itu membahas buku “Pelayanan Profesional Gereja Katolik dan Penyalahgunaan Wewenang Jabatan” yang disusun oleh Badan Kerjasama Bina Lanjut Imam Diosesan (BKBLI) dan diterbitkan bersama oleh Penerbit Kanisisius dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) pada tahun lalu.

Buku itu disebut berisi acuan penyusunan pedoman perlindungan hak-hak anak dan orang dewas arentan, protokol serta kurikulum formasi pelayanan profesional dalam lingkungan pelayanan Gereja Katolik.

Selama diskusi itu, Sekretaris Eksekutif Komisi Seminari KWI, RD Joseph Kristanto mengatakan, walaupun dia tidak memiliki data pasti tentang jumlah korban pelecehan seksual di Gereja Katolik di Indonesia, timnya telah menerima laporan dari informan yang merinci setidaknya 56 korban.

“Dari jumlah itu, ada 21 korban dari kalangan seminaris dan frater, 20 orang suster dan 15 korban nonreligius,” kata RD Kristanto seperti dikutip Warta Minggu.

“Pelakunya siapa? Ada 33 imam dan 23 pelaku bukan imam. Ternyata banyak juga kejadian di tempat-tempat pendidikan calon imam.”

Kristanto mengatakan ia meyakini bahwa ini adalah fenomena gunung es.

“Hitung saja, di Indonesia ada 37 keuskupan, kalau masing-masing keuskupan lima atau sepuluh kasus, silahkan hitung sendiri. Itu baru di keuskupan. Belum di sekolah-sekolah atau panti-panti asuhan,” katanya.

Kristanto mengatakan salah satu cara KWI untuk mencegah pelecehan seperti seperti itu adalah melalui seleksi dan proses pendidikan untuk para seminaris yang ketat.

Lidia Laksana Hidayat, seorang psikolog dan pendamping untuk para seminaris, yang menghadiri diskusi itu menyatakan sepakat dengan RD Kristanto dan mengatakan bahwa akar pelecehan seksual sering kali terletak pada masa lalu para pelaku kekerasan seksual, seperti pernah mengalami pelecehan, dibuli, keluarga broken home, bingung dengan orientasi seksual dan sebagainya.”

“Pengolahan diri dan kepribadian itu penting dalam proses pendidikan calon imam,” katanya.

RD Kristanto mengatakan bahwa Paus Fransiskus telah memperjelas posisi gereja dalam surat apostoliknya Vos Estis Lux Mundi yang dikeluarkan pada bulan Mei tahun ini.

“Paus menegaskan, kejahatan seksual menyakiti Tuhan kita, menyebabkan kerugian fisik, psikologis dan spiritual bagi korban dan merusak komunitas orang beriman,” katanya.

Sementara itu Fransisca Erry Seda yang menjadi moderator diskusi mengatakan mengingatkan dalam kaca mata relasi kuasa, antara imam/klerus dengan awam ada elasi kekuasaaan, baik secara sosial maupun psikologis.

“Jadi kalau pelecehan atau bahkan pemerkosaan, dalam konteks relasi kekuasaan, yang bertanggung jawab adalah mereka yang berposisi lebih berkuasa,” katanya.

Dalam tajuk atau editorial Warta Minggu, redaksi mengatakan, laporan itu diterbitkan untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional, yang jatuh pada hari ini, 10 Desember.

“Kita boleh bersyukur bahwa Gereja cukup berjiwa besar untuk tidak mengingkari  kelemahannya. Tentu tidak cukup diam saja. Tindakan harus diambil, demi mencegah terjadinya hal yang lebih buruk dan menegakkan keadilan,” demikian isi editorial itu.

“Pelaku harus disadarkan, kita kutuk perbuatannya, bukan kemanusiaannya, perlu diselamatkan dengan tindakan-tindakan korektif konkret yang perlu. Sementara korban harus diselamatkan, dibangkitan dari deritanya.”

The Jakarta Post melaporkan, Sekretaris Eksekutif Komisi Kerasulan Awam KWI, RD Paulus Christian Siswantoko mengatakan belum mengetahu laporan itu ketika dimintai komentar, sementara RD Kristanto belum bisa dihubungi.

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Mariana Amiruddin mengatakan mereka belum menerima laporan tentang pelecehan seksual dalam Gereja Katolik.

Komisioner Komnas Perempuan lainnya, Adriana Venny, mendesak setiap korban pelecehan seksual untuk melaporkan kepada polisi dan komisi mengenai masalah tersebut.

“Setiap pelaku pelecehan seksual harus diproses secara hukum dan tidak boleh dibiarkan bebas. Korban harus diberikan akses ke [bantuan hukum],” kata Adriana kepada The Jakarta Post.

Ia menambahkan, “para korban dapat melapor ke polisi dan juga ke Komnas Perempuan. Unit pengaduan kami akan menganalisis kebutuhan para korban dan jika mereka mengalami trauma, mereka akan dirujuk untuk konseling,” tambahnya.

Gereja Katolik Roma telah banyak dikritik karena kegagalan untuk mengambil tindakan terhadap tuduhan pelecehan seksual terhadap para imam, dengan ribuan laporan muncul di Amerika Serikat, Eropa, Australia, Chili, Kanada, dan India selama beberapa tahun terakhir.

Melalui surat apostoliknya, Paus Fransiskus telah mengesahkan ketentuan yang mewajibkan setiap keuskupan membuat sistem pelaporan pelecehan seksual oleh para imam mulai Juni 2020.

Sumber: katoliknews

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA