Politik Kebangsaan NU, Kecewa Boleh Patah Hati Jangan!

Politik Kebangsaan NU, Kecewa Boleh Patah Hati Jangan!

Gelora Media
facebook twitter whatsapp



Oleh: Farid S Zuhri


TIDAK ada satu kelompok pun mampu membantah bahwa kunci kemenangan utama Jokowi dalam rivalitas Pilpres 2019 ditentukan oleh peran warga NU.

Data exit poll yang dilakukan Indikator Politik Indonesia menunjukkan, 56 persen warga NU mengaku memilih Jokowi.Angka tersebut naik 12 persen dibanding Pilpres 2014 di mana warga NU yang memilih Jokowi hanya 44 persen. Data Alvara Research Center juga menunjukkan, 54,3 persen warga nahdliyin adalah pemilih Jokowi.

Soliditas NU dalam memilih Jokowi, tentu tak bisa lepas dari sosok KH Maruf Amin yang menjadi wakil Jokowi. NU menjadi penentu kemenangan pasangan calon presiden 01, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur di mana pasangan 01 menang signifikan.

Menguatnya dukungan NU ini juga dipandegani oleh kiai-kiai yang cukup berpengaruh di kalangan nahdliyin kepada pasangan 01. Banyak kiai pengasuh pesantren yang bahkan terang-terangan membuat maklumat tertulis kepada para santri, alumni dan warga NU untuk mendukung pasangan 01.

Rivalitas kedua kubu kontestan, baik pendukung Prabowo dan Jokowi semakin menguat dengan digunakannya isu populisme agama dan aliran oleh masing-masing kelompok. Jokowi di lumbung-lumbung suara Prabowo diopinikan didukung kelompok yang “memusuhi” Islam bahkan diisukan didomplengi kebangkitan PKI.

Sebaliknya oleh pendukung Jokowi, Prabowo diopinikan didukung kelompok wahabi yang pasti akan berusaha menghancurkan Islam nusantara yang menjadi identitas NU, jika Prabowo dan pendukungnya memegang tampuk kekuasaan politik.

Dalam kondisi perang identitas politik seperti itu, tidak heran jika ormas besar seperti NU yang secara kultural jumlah anggotanya konon mencapai 60 persen lebih dari penduduk muslim Indonesia, menjadi penentu kemenangan.

Apa lacur politik tetaplah politik yang pada saatnya selalu menampakkan wajah aslinya. Dengan tidak dilibatkannya secara langsung Maruf Amin dalam menyusun kabinet, harapan sebagian kiai dan warga NU bahwa besarnya dukungan NU lazimnya mendapatkan hasil yang setimpal harus menuai kekecewaan.

Porsi NU dalam kabinet bukannya malah bertambah. Sebaliknya posisi Menag, yang biasanya menjadi langganan kader NU harus lepas dan dijabat oleh Fachrul Razi, Ketua Bravo 5 yang merupakan organ relawan Jokowi dari kalangan purnawirawan militer.

Buntut kekecewaan ini, Fachrul Razi tidak diundang dalam puncak peringatan Hari Santri Nasional di Surabaya dan bahkan ada wacana untuk tidak mengundang Jokowi dalam muktamar NU tahun 2020 di Lampung, menjadi rentetan dari riak yang wajar sebagai bentuk kekecewaan tersebut.

Kekecewaan sebagian warga NU ini dibalas nyiyir oleh kelompok lainnya. Keterwakilan NU dianggap sudah terwakili oleh Maruf Amin yang menjadi wapres Jokowi. Tiga menteri dari PKB juga dianggap representasi dari NU, pun demikian posisi menag yang kemudian diberikan kepada Zainut Tauhid dari PPP.

Menjawab hal tersebut Ketua Tanfidziyah PBNU,KH. Said Aqil Siradj menegaskan bahwa NU tidak pernah meminta-minta jabatan menteri. Politik NU adalah politik kebangsaan bukan politik kekuasaan, artinya kekecewaan sebagian warga NU tidak akan membuat NU patah hati dan memusuhi pemerintah.

Oposisi Transformatif yang Cerdik

Kecilnya porsi NU di kabinet ini tidak bisa dilepaskan dari diakomodirnya banyak pihak termasuk Prabowo dan wakil Gerindra dalam kabinet. Jokowi juga harus mengakomodir tim sukses dan organ pendukung pasangan 01 lainnya.

Sebaliknya kecilnya porsi NU di kabinet oleh kalangan NU disinyalir sebagai cara kelompok yang berkuasa untuk membendung kekuatan NU agar tidak membahayakan kepentingan mereka selama 5 tahun ke depan dan terutama pasca tahun 2024.

NU memang boleh kecewa. Namun sejarah mencatat bahwa sejak pra kemerdekaan, masa awal masa kemerdekaan, bahkan selama era rezim orde baru dan pasca reformasi, seiring zaman NU telah mampu membuktikan hidup dan berkembang tanpa berselingkuh dengan kekuasaan.

Sebaliknya sumbangsih NU dan peran kaum santri dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan justru selalu coba direduksi dalam sejarah, euforia pengakuan ini sempat muncul saat pemerintah Jokowi menetapkan Hari Santri Nasional. Meski banyak pihak menganggap ini hanyalah hadiah kecil dari Jokowi untuk mengambil simpati NU dan kalangan santri.

Dukungan mayoritas partai dalam kabinet dianggap berpotensi menumpulkan peran kritis parlemen sebagai mitra pemerintah.  Ketika ini terjadi maka dalam pengambilan kebijakan, menyusun dan melaksanakan program-program kerja pemerintah, minimnya peran oposisi di parlemen dikhawatirkan hanya akan berbuah kompromi dan deal-deal politik yang tidak sehat yang hanya menguntungkan kelompok kepentingan tertentu serta mengorbankan kepentingan rakyat secara luas.

Peran oposisi yang terancam kosong ini sebenarnya bisa “diambil alih” oleh NU, NU dapat meneguhkan sikap politik kebangsaan secara transformatif, NU melalui pengurus dan kader-kadernya di tingkat pusat maupun daerah dapat menjadi jembatan bagi rakyat untuk mengkritisi kebijakan yang dianggap merugikan.

NU juga dapat turut mengawasi program-program kerja pemerintah agar benar-benar terdelivery dengan baik di masyarakat, peran ini tentu tidak mudah karena NU harus menjadi lembaga yang mandiri baik secara politik dan ekonomi.

Namun bukankah NU selama ini sudah mampu membuktikan hal tersebut? Apalagi dengan ditopang keberadaan Maruf Amin sebagai wakil presiden, juga kader-kader NU yang tersebar di berbagai partai politik dan lembaga non-pemerintah lainnya NU adalah kekuatan besar untuk menjadi oposisi transformatif yang cerdik dan solutif, semoga.

*) Aktivis Nahdliyin yang juga Direktur Riset Kedaulatan Santri (Kesan)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA