MUI: Radikalisme dan Intoleransi tidak Bisa Dikaitkan dengan Buku Agama

MUI: Radikalisme dan Intoleransi tidak Bisa Dikaitkan dengan Buku Agama

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Wakil Sekretaris Jendral Majelis Ulama Indonesia (Wasekjen MUI) Pusat, KH. Muhammad Zaitun Rasmin, mengatakan, anggapan adanya konten radikalisme dalam buku pelajaran agama harus dikaji. MUI, kata dia, belum menemukan adanya indikasi tersebut.

Pernyataan Zaitun Rasmin itu menanggapi anggapan Direktur Jenderal Direktorat Pendidikan Islam, Prof. Kamaruddin Amin, yang merencakan penulisan ulang 155 buku agama. Kamaruddin mengklaim tujuan penulisan tersebut untuk mencegah penyebaran pemahaman radikalisme dan intoleransi di tengah masyarakat.

Zaitun Rasmin mengaku telah menanyakan hal tersebut kepada Kamaruddin. Namun, Kamaruddin tidak menyebutkan satupun buku-buku yang dianggap memuat konten radikalisme dan intoleransi.

Dia mengatakan, niat Kamaruddin bagus karena ingin meningkatkan kesalehan pribadi dam sosial. Tapi, niat bagus itu tidak harus dibumbui dengan isu radikalisme.

“Saya mau menyampaikan bahwa niatnya baik diharapkan kalau bisa kajiannya bisa lebih terbuka nanti ahli, tokoh agama termasuk MUI bisa dilibatkan, tapi kalau memang belum ada yang ditemukan ya kita jujur saja kalau tidak ada konten radikal”, kata Zaitun Rasmin di Jakarta, Ahad (17/11).

Ketua Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara itu menegaskan, aktor terorisme dan radikalisme sama sekali bukan produk buku-buku agama. Baik buku dari Diknas maupun Kementerian Agama.

“Itu saya kira dari berbagai sumber-sumber yang lain yang mungkin telah masuk dan mungkin bukan secara formal di sekolah,” ucap dia.

Ia meminta agar tak perlu menimbulkan kehebohan baru di tengah masyarakat. Apalagi, penulisan ulang buku-buku memerlukan anggaran yang tidak sedikit.

Ketua Umum Wahdah Islamiyah itu mengusulkan agar pencegahan radikalisme dan intoleransi melalui pembinaan guru. Ini karena orang baik dan toleran masih mendominasi masyarakat di Indonesia.

Ia juga menolak stigma bahwa Indinesia darurat radikalisme dan intoleransi. Pemerintahan tidak boleh menimbulkan ketakutan pada masyarakat, sehingga semua orang menjadi paranoid.

“Saya tidak setuju darurat, kalau dari sisi pemahaman umum ya, tapi kalau kejadian-kejadian yang itu karena memang dia extra ordinary crime yang teroris itu boleh kita katakan demikian,” ujarnya.

Inisiator Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) itu setuju bahwa intoleransi, radikalisme, dan terorisme tidak boleh dibiarkan, tapi belum sampai pada level darurat. Ia mengajak agar semua pihak melihat realitas bahwa kehidupan di Indonesia sebenarnya aman dan damai.

“Semua kita ini setuju jangan dibiarkan, tapi jangan dibilang darurat masif ini, andaikan massif di Indonesia mungkin setiap hari akan terjadi seprti di Pakistan misalnya, obyektif lah kita, karena ekstrim kanan muncul karena ekstrim kiri, Ini berbahaya,” ucap dia. [ns]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita