Marwan Batubara Beberkan Enam Kasus Dugaan Korupsi yang Melibatkan Ahok

Marwan Batubara Beberkan Enam Kasus Dugaan Korupsi yang Melibatkan Ahok

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Pengamat energi Marwan Batubara tidak terima soal rencana Mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bakal menjabat di salah satu perusahaan BUMN.

Marwan yang juga Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Irres) itu menilai Ahok memiliki beberapa rekam jejak dugaan korupsi. Ia bahkan mengklaim memiliki bukti kuat soal keterlibatan Ahok dalam kasus korupsi dan sudah melaporkannya ke KPK.

"Berikut adalah berbagai dugaan Kasus Korupsi Ahok yang telah dilaporkan kepada KPK pada tanggal 17 Juli 2017," ujar Marwan dalam keterangan tertulis, Jumat (15/11/2019).

Meski sudah melaporkan kasus dugaan korupsi tersebut ke KPK, Marwan mengatakan kasus Ahok itu tidak pernah ditindaklanjuti. Alasannya berdasarkan keterangan KPK, kata Marwan, Ahok tidak memiliki niat jahat.

"Bagaimana KPK mengukur niat seseorang yang telah terbukti terlibat dan merekayasa kejahatan korupsi?" kata Marwan.

RS Sumber Waras

Kasus pertama yang mengindikasikan Ahok telah melakukan korupsi adalah soal pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras. Menurutnya pada kasus ini, Ahok telah jelas merugikan negara dan malah dilepaskan oleh KPK.

Berikut bukti yang diungkap Marwan soal kasus RS Sumber Waras:

1. Merubah nomenklatur R-APBD 2014 tanpa persetujuan DPRD DKI, dan memanipulasi dokumen pendukung pembelian lahan dengan modus backdated;
2. Mengabaikan rekomendasi BPK untuk membatalkan pembelian lahan RSSW. Hal ini melanggar Pasal 20 Ayat 1 UU No.15/2004;
3. Berpotensi merugikan negara Rp 191 miliar. Hal ini melanggar Pasal 13 Undang-Undang No.2/2012 dan Pasal 2 Perpres No.71/2012;
4. Bepotensi tambahan kerugian negara Rp 400 miliar karena Kartini Muljadi hanya menerima Rp 355 miliar dari nilai kontrak sebesar Rp 755 miliar, sisanya digelapkan;
5. Berpotensi tambahan kerugian negara miliaran Rp dari sewa lahan, dan bertentangan dengan Pasal 6 Permendagri No.17/2007, PP No. 27/2014 dan UU No 17/2003.

"Tampaknya KPK bertindak absurd dan berhasil ditaklukkan Ahok," kata Marwan.

Kasus Taman BMW

Kasus kedua adalah lahan Taman BMW yang kini bakal dibangun menjadi Jakarta International Stadium. Berikut buktinya menurut Marwan:

Tanah BMW yang diklaim Agung Podomoro (AP) akan diserahkan pada Pemda DKI sebagai kewajiban, bukanlah miliknya; lahan berstatus bodong, tidak ada satu dokumen yang secara hukum sah kalau lahan BMW menjadi milik Pemda DKI;

1. Telah terjadi pemalsuan tandatangan dalam proses pemilikan lahan oleh AP;
2. Pemda DKI telah membuat sertifikat sebagian lahan BMW dengan melanggar hukum, dan telah berperan menjalankan tugas yang harusnya dilakukan oleh AP. Terjadi manipulasi pembuatan sertifikat atas sebagian lahan, bukan seluruh lahan;
3. Hal di atas melanggar PP No 24/1997 dan PMNA No 3/1997, tanah yang sedang sengketa tidak bisa disertifikatkan. Dokumen alas hak sertifikasi tidak sah;
4. Pada APBD 2014 rencana pembangunan stadiun BMW ini ditolak DPRD DKI. Ahok tetap menganggarkan dana pembangunan stadion dalam APBD 2015.

Marwan menyebut kasus tersebut membuat negara rugi puluhan miliar rupiah. Selain itu beberapa nama lain, jelas Marwan, juga ikut terlibat.

"Pejabat yang dinilai terlibat adalah Jokowi - Ahok dan gubernur-wagub periode sebelumnya, dan Ahok salah satu yang sangat berperan," ucap Marwan.

Kasus Lahan Cengkareng Barat

Untuk kasus ketiga adalah Lahan Cengkareng Barat yang ia klaim berpotensi merugikan negara sebesar Rp 668 miliar. Ia menyebut Ahok membeli lahan milik Pemda sendiri dari Toeto Noezlar Soekarno. Buktinya sebagai berikut:

Terjadi penyalahgunaan dana APBD yang melanggar UU No.20/2001, tentang Perubahan atas UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor;

1. Dalam proses pembelian lahan terdapat pelanggaran gratifikasi oknum PNS Pemprov DKI Rp10 miliar, yang melanggar Pasal 12 UU No.20/2001;
2. Sebagai kepala daerah, Ahok bertanggung jawab atas kerugian negara dan pelanggaran hukum karena berperan mengeluarkan disposisi untuk mengeksekusi pembelian lahan;
3. KPK telah berperan menetralisir kasus dengan memeroses dan menerima pengembalian gratifikasi Rp 10 miliar, namun menghentikan kasus korupsinya sendiri, Rp 668 miliar.

Kasus Dana CSR

Marwan menyebut Ahok diduga terlibat pada pemberian dana CSR melalui Ahok Centre. Ia menyebut Ahok Center dipimpin dan dikelola oleh Ahok bersama tim sukses. Beberapa pelanggaran yang dilakukan terkait dengan kasus ini adalah:

1. Dana CSR diperoleh dari puluhan perusahaan bernilai puluhan-ratusan miliar Rp, ternyata oleh Ahok tidak dimasukkan kedalam APBD, tetapi dikelola Ahok Centre;
2. Pengelolaan dana CSR oleh Ahok Center diluar APBD antara lain melanggar 1) UU No.40/2007 tentang PT; 2) PP No.47/2012 tentang TJSL; 3) Pemern BUMN N0.5/2007 tentang Kemitraan BUMN; 4) PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; dan UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara.
3. DPRD DKI Jakarta telah mendesak audit dana CSR yang dikelola Ahok Centre, namun tidak jelas kelanjutannya. Pada Februari 2016 diberitakan KPK telah mengusut kasus ini. Tapi, hingga Juni 2017 KPK tak mengungkapnya kepada publik.

Kasus di Belitung Timur

Kasus kelima adalah korupsi Ahok saat sebelum dan sesudah menjadi Bupati Belitung Timur. Menurut Marwan, Ahok terlibat dalam beberapa kasus korupsi, di antaranya adalah:

1. Kasus pengadaan/anggaran ganda pada revitalisasi muara di Beltim. Proyek Pemda ini fiktif karena proyek revitalisasi dilakukan oleh PT Timah;
2. Kasus penambangan Kaolin dan Pasir Kuarsa secara ilegal di Hutan Lindung Gunung Noya melalui 4 perusahan Ahok. Kasus ini telah diusut oleh Mabes Polri pada 2010;
3. Berkat pendekatan oleh Ahok sebagai Anggota DPR saat itu, pada awal 2011 Mabes Polri melimpahkan pengusutan kasusnya Polda Bangka Belitung.Polda Babel sudah menyatakan kasus penambangan ilegal berstatus “P-21”, untuk diteruskan ke Kejati Babel.

Kasus Reklamasi

Keenam adalah kasus Reklamasi. Ia mengumpulkan informasi dari persidangan M. Sanusi dan Ariesman Wijaya, serta analisis sejumlah pakar. KKN Ahok dalam kasus reklamasi menurut Marwan adalah sebagai berikut:

1. Menyalahgunakan wewenang guna memperkaya diri sendiri dan orang lain, yang melanggar Pasal 12 UU No.20/2001 tentang Tipikor;
2. Mendirikan bangunan tanpa Amdal, yang melanggar Pasal 22 UU No.32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
3. Menerbitkan izin reklamasi tanpa adanya Perda Zonasi, yang melanggar UU No.1/2014 berupa perubahan atas UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil;
Menerbitan izin reklamasi diluar kewenangan Pemprov DKI, dan bertentangan dengan PP No.26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
4. Menerbitkan izin reklamasi tanpa landasan hukum, karena Kepres No. 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta telah dicabut melalui PP No. 54/2008;
5. Mengabaikan peraturan kepentingan publik, yang melanggar UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. [sc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita