Larangan Cadar Dan Celana Cingkrang Sah-sah Saja, Tapi Buat Aturan Dulu

Larangan Cadar Dan Celana Cingkrang Sah-sah Saja, Tapi Buat Aturan Dulu

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Wacana pelarangan cadar dan celana cingkrang bagi ASN di lingkungan instansi pemerintahan menuai polemik. Wacana tersebut kali pertama dilontarkan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi.

Direktur Al Mentra Nusantara Karman BM mengatakan, apa yang dilontarkan Menag sebenarnya tidak salah. Namun, harusnya ada terlebih dahulu peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara berpakaian bagi ASN, sebelum ada pelarangan menggunakan cadar dan celana cingkrang.

"Cadar dan celana cingkrang itu merupakan sesuatu yang furuk dalam agama. Ada yang mensunnahkan dan ada yang mewajibkan. Dan kalau ada peraturan (tata cara berpakaian cadar dan celana cingkrang) itu sah-sah saja," ujar Karman saat menjadi narasumber diskusi "Radikalisme Di Periode Ke-2 Kepemimpinan Jokowi" di kantor Rumah Demokrasi, Rawamangun, Jakarta Timur, Jumat (8/11).


Menurut Karman, jika nanti pemerintah mengeluarkan aturan tata cara berpakaian maka hal tersebut harus dipatuhi oleh ASN, khususnya bagi ASN selama bekerja di instansi pemerintahan. Aturan tersebut sama saja denga aturan persyaratan rekrutmen CPNS.

"Kalau ada peraturan, itu sah-sah saja. Apa bedanya dengan aturan persyaratan rekrutmen CPNS. Bercadar dan bercelana cingkrang atau tidak, itu kan tidak membatalkan keimanan seseorang. Kalau mau pakai di rumah saja, kalau di kantor ikuti aturan," tukas dia.

Pembicara lain, akademisi Ali Sodikin menegaskan bahwa seseorang yang menggunakan cadar dan celana cingkrang tidak boleh dijustifikasi sebagai orang yang terpapar radikalisme. Disebutkan, tidak ada hubungan radikalisme dangan cadar maupun celana cingkrang.

"Tapi potensi radikalisme itu ada di situ karena ciri-ciri radikalisme itu bersifat ekslusif. Dan orang bercadar itu cenderung ekslusif dan tertutup," kata Ali.

Radikalisme, Ali menyebutkan tidak hanya berada dalam konteks agama. Tapi, istilah tersebut juga ada pada semua hal, seperti budaya, politik dan ekonomi. Menurutnya, radikalisme dipengaruhi banyak faktor. Dia mendefinisikan radikalisme sebagai sebuah upaya perjuangan yang menggunakan kekerasan.

"Tapi radikal itu bukan produk agama. Tapi agama sering dipakai. Dan BNPT mengatakan radikalisme itu menggunakan idiom-idiom agama," katanya.

Ali kemudian meminta masyarakat tidak putus asa mengkritik pemerintah dalam sektor perekonomian. Dia mengatakan, perlu gerakan radikal untuk menumbuhkan sektor ekonomi nasional.

"Kalau mengkritik Jokowo jangan sisi agamanya, tapi lebih kepada pertumbuhan ekonimi. Kenapa pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen. Tim ekonominya juga itu-itu saja. Dan cukai rokok akan naik, BPJS, tol dan listrik juga akan naik," pungkasnya. (Rmol)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita