Hadiri Baku Summit of World Religious Leaders, Din Ingatkan Bahaya Radikalisme Sekuler Liberal

Hadiri Baku Summit of World Religious Leaders, Din Ingatkan Bahaya Radikalisme Sekuler Liberal

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin menghadiri The 2nd Baku Summit of World Religious Leaders.


Acara Pertemuan Puncak Para Tokoh Agama Dunia Kedua itu digelar di Baku, Azerbaijan, pada 14-16 November 2019. Ini merupakan pertemuan kedua, pertemuan pertama berlangsung pada 2016.

Pertemuan kedua yang dihadiri sekitar 200 tokoh berbagai agama dunia ini dibuka langsung oleh Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyef, di Baku Convention Centre.

Pada pertemuan itu dibahas sejumlah isu yang menjadi tantangan penciptaan perdamaian dunia, seperti multikulturalisme, ekstrimisme, Islamofobia, Kristenofobia, Anti Semitisme,  dan ujaran kebencian.

"Isu-isu tersebut masih merupakan fenomena dunia dan menjadi kendala besar perdamaian," ujar Din lewat keterangan tertulisnya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (17/11).

Dalam amanat pembukaan, Presiden Ilham Aliyef mengatakan, multikulturalisme penuh toleransi hidup berkembang di Azerbaijan sejak lama, baik antar agama maupun intra umat Islam yang merupakan kelompok mayoritas di Azerbaijan, khususnya antara Sunni dan Syiah. Kedua kelompok umat Islam ini hidup berdampingan secara damai dalam semangat ukhuwah Islamiyah.

Azerbaijan adalah satu dari sejumlah negara yang pernah bergabung dalam Uni Soviet. Negara yang terletak di pinggir Laut Kaspia dengan penduduk sekitar 10 juta ini merupakan negara kaya energi, khususnya minyak dan gas.

Ibu Kota Baku merupakan kota indah yang memadukan antara tradisi dan modernitas. Banyak peristiwa dunia berlangsung di Baku, termasuk terakhir konfrensi OKI dan Gerakan Non Blok.

Azerbaijan juga merupakan kampung halaman dari banyak ulama, ilmuwan, dan sastrawan Muslim pada abad-abad pertengahan, seperti At-Tusi, atau At-Tabrizi. Karya sastra populer Laila Majnun ditulis oleh sastrawan Azerbaijan, Nizami Ganjavi. Roman ini akan segera dinaikkan ke layar lebar oleh StarVision.
Para tokoh agama-agama dunia memandang radikalisme dan ekstrimisme yang berkembang dalam semua agama adalah bertentangan dengan agama itu sendiri.

Maka harus dihadapi secara bersama-sama. Kebencian dan ujaran kebencian yang disasarkan kepada pemeluk agama tertentu oleh pemeluk agama lain seperti muncul dalam gejala Islamofobia, Kristenofobia, atau Anti Semitisme potensial mendorong benturan antar agama dan peradaban.

Dalam presentasinya Din Syamsuddin menegaskan, radikalisme dan ekstrimisme merupakan hal yang berbahaya dan bersifat anti kemanusiaan. Terlebih jika dalam bentuk kekerasan  violent extreemism.

"Radikalisme dan ekstrimisme tidak hanya bersifat keagamaan atau religious radicalism tapi juga bersifat non keagamaan seperti radikalisme sekuler," imbuhnya.

Bahkan radikalisme sekuler jika bercampur dengan kebebasan akan menjadi radikalisme sekuler-liberal. Ini menjadi lebih berbahaya karena sering merasuk ke dalam sistem kehidupan nasional seperti politik dan ekonomi.

"Radikalisme sekuler-liberal yang merasuki sistem politik dan ekonomi sesuatu negara akan membuat negara itu rusak bahkan runtuh, serta akan meninggalkan ideologi negara yang ada," sesalnya.

Lebih lanjut Din mengatakan, saat ini radikalisme sekuler-liberal menjadi fenomena di beberapa negara. Radikalisme sekuler-liberal masuk perlahan-lahan ke dalam sistem nasional sesuatu negara dan bahkan diadopsi sebagai sistem aktual dan operasional.

Celakanya, banyak elit politik tidak menyadari, bahkan terbawa arus mengembangkan isu ancaman radikalisme agama, sementara mereka tengah mengancam eksistensi negara mereka sendiri.

"Para elit politik demikian biasanya memberi penafsiran subyektif-manipulatif terhadap ideologi nasional dan menjadikannya sebagai amunisi untuk menyerang pihak lain atas dasar klaim monopolistik terhadap ideologi nasional tersebut," tegasnya.

Pria yang merupakan Guru Besar Politik Islam Global FISIP UIN Jakarta, ini mengimbau kepada para tokoh agama-agama dunia untuk mengawal negara-bangsa di mana mereka berada.

Agama harus menjadi pemecah masalah kebangsaan, bukan menjadi bagian dari masalah, apalagi menjadi pencipta masalah.  Oleh karena itu agama-agama harus mampu menampilkan paradigma etik bagi pembangunan nasional agar pembangunan tidak salah arah dan hilang mutiara moral. Jika itu terjadi, maka peradaban akan berubah menjadi kebiadaban,"

Kepada elit politik agar tidak alergi dan sinis terhadap agama, karena sebuah negara-bangsa, dengan ideologinya masing-masing, akan semakin kuat dengan etika dan moralitas keagamaan," tutupnya.

Untuk diketahui, selain Din Syamsuddin, dari Indonesia hadir juga Ketua Umum PP Fatayat NU Anggia Ermarini.(rmol)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita