Tokoh Berpengaruh Buruk?

Tokoh Berpengaruh Buruk?

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh M Rizal Fadillah 

Ketika seseorang diberi penghargaan oleh suatu lembaga, maka masyarakat bertanya bahwa bacaan lembaga itu sama atau tidak dengan bacaan masyarakat. Bila skala prestasi melewati batas negara, maka pertanyaan makin luas pula ruang lingkupnya yakni masyarakat dunia. Prestasi apa yang dirasakan bagi masyarakat dunia. 

Pak Jokowi oleh Royal Aal al Bayt Institute for Islamic Thought Yordan dinyatakan masuk dalam 500 tokoh muslim dunia yang berpengaruh. Tidak tanggung tanggung peringkat 13. Lembaga non pemerintah yang didirikan oleh Husen bin Talal ini berulang memberi penilaian yang pada umumnya mengarah pada pemimpin negara. Lembaga ini pula yang mensponsori keluarnya "Deklarasi Amman" yang mengarahkan penyatuan Sunni dan Syi"ah. 

Jika ada tokoh dari Negara Indonesia yang dihargai oleh dunia tentu membanggakan. Akan tetapi jika tidak jelas akan kriteria dan pembuktian penghargaannya itu maka wajar jika kita sendiri menjadi ragu. Apalagi dalam konteks dunia. Bahagia itu harus jujur dan tidak bahagia pun mesti jujur. Lalu pengaruh apa yang telah dipaparkan oleh Jokowi. Bukankah "bolos" di sidang PBB sudah berulang kali. Padahal ini adalah tempat dan momen untuk tampil sebagai tokoh dunia berpengaruh. Gagasan hebat dapat dikemukakan di forum dunia resmi dan prestisius ini. 

Salah satu yang terurai dari sebab mendapat pemeringkatan adalah karena Jokowi dinilai sebagai politisi "bersih" menghindari korupsi dan nepotisme yang biasa menjangkiti kalangan politisi. Ayahnya adalah pengusaha furnitur kecil yang kadang sulit memenuhi kebutuhan keluarga. Selama kampanye mempertahankan "tradisi blusukan" yakni terjun langsung mendengarkan keluhan rakyat. "Pendekatan ini membuatnya mengerti apa yang menjadi saran serta kritikan dari masyarakatnya, dan menikmati relasi kuat dengan publik" demikian Kompas.com.

Publikasi "The World"s 500 Most Influential Muslims" berangka tahun 2020. Jadi berbicara tahun depan. Ironinya kini pada item di atas saja sudah menjadi pertanyaan publik. Apakah benar Jokowi bersih, apakah benar menghindari korupsi ? Bagaimana dengan riwayat dugaan saat menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI yang juga disorot ? Berapa besar harta yang dimiliki kini di negeri dan luar negeri ? Bukankah Jokowi juga yang setuju pada pelemahan atau "pembunuhan" KPK melalui revisi UU KPK yang menghebohkan. Nah Tempo membuat bayangan Pinokio. ICW pun sudah minta agar awward Anti Korupsi Jokowi dicabut. 

Lalu dukungan usaha anaknya dan muncul pencalonan anak menjadi Walikota Solo tidak masuk bagian dari nepotisme ? Tradisi blusukan itu apakah riel bagian dari mendengarkan keluhan rakyat yang membuat "mengerti apa yang menjadi saran  serta kritikan" dari masyarakatnya atau bagian dari pelestarian "tradisi pencitraan" ? 

Faktanya di tengah keprihatinan rakyat soal kenaikan harga bahan pokok, tarif BPJS, listrik dan air minum, asap kebakaran hutan, krisis Wamena, dan aksi mahasiswa justru bahagia mensupport rencana "Konser Pemersatu Bangsa" para musisi menjelang pelantikan. Bersiap "jingkrak jingkrak" di tengah penderitaan rakyat. Kepedulian dan perasaan kerakyatan yang lemah.

Rupanya penghargaan peringkat 13 Muslim dunia yang paling berpengaruh di tahun 2020 dengan reputasi sebelumnya sulit untuk terbukti. Terlalu banyak pertanyaan dan kesiapan mengubah perilaku politik untuk itu. Kecuali jika pertanyaan berlanjut yakni "most influential muslim" nya itu pada pengaruh baik atau pengaruh buruk ? 

"That is the question" kata William Shakespeare.

Bandung, 7 Oktober 2019 (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita