Politik Pencitraan Jokowi dan Janji Pinokio, Rakyat Sudah Muak!

Politik Pencitraan Jokowi dan Janji Pinokio, Rakyat Sudah Muak!

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh: Dr. Safri Muiz, Pengamat Politik

Dalam politik segala hal dan berbagai kemungkinan-kemungkinan bisa terjadi, walaupun itu kadang tidak bisa diterima secara akal sehat. Manuver dalam politik itu merupakan hal yang dianggap bagian dari seni, karena politik itu adalah seni. Politik kalau dipandang sempit, akan menimbulkan gejolak dengan rasa ketidakpuasan yang tidak berujung. Politik Indonesia adalah politik yang diikuti dengan rasa dan manuver yang sering muncul dalam perjalanan partai-partai di Indonesia.

Presiden Jokowi mulai memainkan rasa politik sesuai dengan selera beliau tanpa peduli reaksi publik. Dia mulai melakukan manuver-manuver yang membuat baper para petinggi partai, terutama para petinggi partai yang mendukungnya pada pilpres yang lalu. Jokowi selalu berlindung dibalik kata-kata, terutama mengenai hak prerogatifnya sebagai Presiden. Hak prerogatif ini memang diatur dalam konstitusi Indonesia, sehingga postur kabinet dan siapa saja yang akan menduduki kursi menteri, itu adalah bagian dari hak prerogatif Presiden. Hal ini yang membuat para politisi meradang dan melangkah lunglai menunggu keputusan dari Presiden Jokowi tentang kabinet periode kedua ini.

Jokowi begitu jago memainkan peran politik pencitraan, yang membuat prediksi-prediksi pangamat politik sering berlawanan arah. Karena langkah Jokowi sulit dijabarkan dengan kebiasaan yang terjadi dalam perpolitikan nasional. Entah dari mana dia mendapatkan masukan, sehingga keputusannya terkadang blunder, tidak menjadikan pola dan landasan politik negara, tapi menjadi bagian dari keputusan sepihak seorang Presiden, ujar pengamat politik, Dr. Safri Muiz kepada Law-Justice.co di Jakarta, Senin (16/9).

Majalah Tempo dalam edisi minggu ini, memuat sampul depan yang dengan tegas menggambarkan Jokowi dengan hidung panjangnya seperti hidung pinokio, yang artinya banyak mengumbar janji alias tukang bohong. Padahal pada saat Pilpres periode 1 dan 2, Tempo adalah pendukung berat Jokowi. Kalau media sekelas Tempo sudah memvonis Jokowi terlalu banyak tak menepati janji dan komitmennya, ini sudah merupakan alarm kuat bagi Jokowi untuk segera berubah. Kalau tidak mau berubah, dia akan berhadapan dengan pengadilan dari rakyat pemilihnya sendiri dan juga yang bukan pemilihnya, tegas Safri.

Begitu banyaknya keputusan politik yang dilakukan oleh Presiden Jokowi yang sering berlawanan dengan kaedah-kaedah dasar dalam menjalankan roda pemerintahan. Akhirnya menimbulkan multitafsir, tapi itulah gaya yang dimainkan Jokowi dalam berpolitik. Seringkali pernyataan dia tidak seiring dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Begitu mudahnya dia berubah dan melanggar janji, yang membuat para menterinya pun sulit mengikuti gaya politik yang diperankan oleh Jokowi ini.

Jadi penampilan Jokowi memang menunjukan bahwa dia mempunyai perspektif tersendiri dalam melakukan kebijakan-kebijakan. Memang sering muncul kebijakannya yang terlihat hanya politik pencitraan. Narasi yang dimainkan Jokowi cenderung miskin kata-kata. Narasi ini kadang tidak bisa langsung ditangkap oleh para pembantu Presiden, yang mendampingi dia dalam setiap kegiatan sebagai seorang presiden, lanjut Safri.

Para menterinya seringkali membuat pernyataan yang blunder di masyarakat. Seakan-akan mereka juga mengikuti alur narasi yang dilakukan oleh Jokowi. Semua kebijakan pemerintah kecenderungannya tidak menjembatani keinginan publik. Mereka berkutat dengan alur logika mereka sendiri. Perdebatan yang munculnya akhirnya perdebatan mempertahankan argumen, tetapi tidak didukung dengan data yang akurat. Seringkali pejabat selevel menteri melakukan klarifikasi terhadap pernyataannya sendiri atau menteri/pejabat lainnya. Karena mereka cenderung memang tidak bisa membangun narasi yang pas bagi publik.

Beda sedikit sudah langsung bereaksi reaktif dan pemerintah ini seringkali bikin gaduh. Setelah didalami dan langsung ke sumber berita, kadang kegaduhan itu dibuat dengan pola yang sadar. Artinya pemerintah kadang atau sama sekali tidak mengindahkan aturan-aturan yang berlaku secara umum yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Miskin narasi ini seringkali membuat pemerintah melakukan pendekatan secara represif bukan persuasif. Apa yang tidak sejalan dengan pemikiran pemerintah, pejabat tertentu langsung menjustifikasi itu adalah bagian dari merongrong wibawa pemerintahan yang sah, tegas Safri

Rakyat yang sudah mulai muak hanya bisa menunggu pada periode kedua ini, apakah kabinet Jokowi masih miskin narasi dan hanya bisa kembali dengan mengumbar janji-janji. Rakyat ingin segera merasakan bahwa pemerintah atau negara hadir pada saat rakyat ingin keluh kesahnya segera direspon. Presiden Jokowi diharapkan akan lebih matang dan bijak dalam setiap mengambil keputusan. Sebab Jokowi akan lebih leluasa menggunakan jabatannya sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Setiap langkahnya adalah langkah-langkah untuk kongkret memperbaiki kehidupan rakyat dan menjalankan konstitusi negara dan itu jelas bukan langkah sang Pinokio, tutur Safri dengan nada tegas. []
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita