Pak Jok…

Pak Jok…

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Penulis: Setiawan Budi

Pak Jok..

Seharusnya ini tugasmu. Bukan tugas pemimpin daerah kami. Kareka ketiadaan upaya dari mu, maka kami harus bergerak sendiri menyelamatkan saudara di sana.

Pak Jok….

Harusnya dirimu risau dan resah. Khawatir karena akan banyak korban yang kembali tercatat meninggal dunia. Sayangnya, kami gak melihat keresahanmu. Kami gak melihat wajah duka di muka mu atas kematian anak negeri di sebuah daerah yang menjadi lumbung pendapatan negara.

Rasa empatimu hilang kala masih menampilkan wajah tertawa kala bersepeda. Seolah indonesia adalah negara makmur, dimana kerja presidennya bisa santai dan menikmati hari dengan berwisata.

Pak Jok..

Ini masih indonesia namanya. Bukan swiss atau norwegia yang menduduki peringkat pertama sebagai negara tanpa konflik karena perekonomiannya terjaga. Di negara ini, setiap jengkalnya adalah sengketa. Di setiap nama daerahnya ada teriakan dan jerit kesakitan rakyatnya.

Mereka butuh penanganan segera. Tapi dimana dirimu saat mereka membutuhkan tangan penguasa?

Asyik bersepeda bersama ibu negara mengitari taman kota. Itulah yang kau lakukan jok..

Saat hutan dan lahan terbakar, saat anak kami teraniaya asap. Kau malah menampilkan kegembiraan bersama cucu tercinta yang lapang menghirup udara. Lepas tawamu, gembira lari kecilmu mengikuti langkah cucu.

Saat saudara kami berjuang dengan nyawanya di papua, kau menampilkan tawa yang lepas kala bersepeda dengan ibu negara.

Masihkah dirimu manusia jok? Masih adakah empati dalam hatimu?

Jika tidak bisa berpikir untuk membantu, setidaknya tidak kau perlihatkan muka ceria di kala rakyatmu meregang nyawa. Perlihatkan duka mu dengan diam di istana, aku pikir lebih baik dari pada menampilkan bahagia kala rakyatmu menghitung berapa yang mati hari ini

Kami seperti warga negara lain yang mencari presidennya untuk membantu. Kami merasa terasing di negara merah putih ini. Tanggung jawab yang harusnya kau emban, malah kau limpahkan pada pemimpin daerah kami untuk berusaha sendiri.

Harusnya kau yang di sana, bukan pemimpin daerah kami.

Sedikitpun tidak ada upaya darimu. Berbela sungkawa pun tidak. Masih kau akui kah kami sebagai warga negara ini?

Jika tidak, katakan dengan lantang jok..

Demi Allah kami tidak akan mengemis padamu. Biar kami memutuskan nasib sendiri. Karena selama kau memimpin, kami sudah terbiasa hidup mandiri.

Jika kau tidak mampu, bicarakan pada dunia kelemahanmu. Biar dunia yang membantu kami, biar pemimpin negara lain yang peduli pada kami. Biar manusia yang membantu kami…

Kami akan sisihkan uang untuk angkut saudara kami dari ancaman pembantaian di sana. Kami akan terbangkan saudara kami dengan cara yang kami cari sendiri. Kami tidak butuh uang negara yang harus menunggu prosesnya.

Ranah minang memanggil putranya, bugis, madura pun ikut menggalang dana. Ketidak sanggupan pemerintah membuat kami ber swadaya. Inilah kami, yang harus berjuang di negara yang selalu memperingati hari merdeka. Kami berjuang sendiri, kami bergerak sendiri, karena presiden kami..sedang asyik memoles diri.

Ya Allah…aku gemetar menuliskan ini.

Menahan sebak dan isak. Menitik air mata tanpa bisa ku seka. Aku berusaha tidak mengumpatmu dengan maki dan caci. Aku bertanya sebagai anak negeri, untuk meyakinkan diri.

Sekali lagi, masih kah kami kau akui sebagai anak negeri yang harus kau lindungi..?

Terima kasih jok..

Terima kasih karena sudah mencatatkan sejarah bahwa kau adalah presiden yang paling tega. Mungkin ini balasanmu, karena ranah minang tidak pernah memilihmu…

Kami terima dan akan kami catat dengan darah namamu.

Ranah Minang Mangisa Karih… (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita