Tidak Usah Buru-buru, Yang Penting RUU Pertanahan Selaras Dengan Reforma Agraria

Tidak Usah Buru-buru, Yang Penting RUU Pertanahan Selaras Dengan Reforma Agraria

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Rancangan Undang-Undangan (RUU) Pertanahan idealnya harus sejalan dengan agenda reforma agraria. Tidak harmonisnya hal-hal yang dibahas dalam RUU tersebut dengan agenda reforma agraria ditakutkan dapat menghambat progress yang selama ini sudah berjalan.

Untuk itu, pengesahan RUU Pertanahan tidak perlu terburu-buru karena masih membutuhkan kajian yang lebih dalam.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Muhammad Diheim Biru mengatakan, RUU Pertanahan perlu memperhatikan progress dari pembahasan agenda reforma agraria agar tidak tumpang tindih lagi, yaitu mulai dari penyelarasan data administrasi yang sedang berjalan seperti status kepemilikan lahan, redistribusi lahan (TORA), jangka waktu hak guna usaha, dan batas kawasan konservasi semua harus jelas.

Dia juga menjelaskan, perlunya ada prioritas kepentingan dalam penyusunan perundangan dari bottom-up approach dan progress yang sudah berjalan selama lima tahun ini. Hal ini lebih penting dibandingkan mengesahkan secara terburu-buru.

"Lebih baik mematangkan segala isu teknis dan non-teknis yang ada dengan persetujuan semua pihak berwenang baru RUU bisa dikesahkan. Persiapan yang lebih matang dapat meminimalisir dana yang terbuang hanya karena terburu-buru membuat UU karena masa kerja DPR yang sebentar lagi habis di tahun ini," ungkapnya, Sabtu (24/8).

Berkaca pada kegagalan implementasi UU 41/2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang dikeluarkan pada periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, produksi pangan seperti beras sekarang tidak meningkat dengan signifikan untuk menutupi kebutuhan dalam negeri karena pengelolaan data lahan pertanian yang tidak sinkron antar satu institusi dengan institusi lainnya.

Kegagalan implementasi UU ini berakibat jangka panjang seperti pada kenaikan harga beras dalam negeri yang terlampau jauh dari harga beras internasional (World Bank) yang hanya di kisaran Rp 6000/kg. Keuntungan yang didapatkan petani dalam negeri dari harga yang tinggi juga tidak maksimal dengan adanya biaya sewa lahan dan buruh yang relative tinggi, serta dipotong oleh tengkulak di rantai distribusi.

Pengelolaan lahan pertanian yang sudah ada dari lama dan bertujuan untuk dikelola dan dijaga keberadaannya, tidak direncanakan dan dipersiapkan dengan baik oleh badan-badan berwenang di beberapa daerah. UU LP2B tersebut terkesan tidak mengikat dan mewajibkan pemerintah daerah untuk melaksanakannya. Perlu dijelaskan juga konsekuensi hukum yang spesifik apabila UU tidak terlaksana dengan baik.

Perencanaan zonasi lahan seharusnya dimatangkan terlebih dahulu sebelum diimplementasikannya UU tersebut.  Ke depan, untuk implementasi UU LP2B ini sudah bisa mulai digarap kembali setelah agenda reforma agraria di tiap wilayah sudah mengintegrasikan semua data baru yang valid sesuai di lapangan. Data baru ini, lanjut Diheim, menjadi acuan zonasi yang bisa dituangkan di dalam RDTR secara menyeluruh di tiap kabupaten.

"Implementasi RDTR ini bisa dibantu dengan pembangunan infrastruktur di zona yang masih minim batas lahan seperti akses jalan dan fasilitas. Mulai kembali dari kertas baru, dan dengan adanya One Data Policy, implementasi UU ini ke depan semoga mudah dijalankan,"urai Diheim Biru.

Sudah seharusnya dipahami bahwa evaluasi dari hal tersebut sebagai pegangan wakil rakyat untuk merancang UU dengan baik. Kepastian hukum dan data adalah prioritas utama, bukan untuk peningkatan ekonomi semata.

"Kebutuhan lahan akan terus meningkat di kemudian hari, apabila konsolidasi peraturan lahan masih tidak terbenahi, negara ini tidak akan bisa mencapai target pembangunan yang berkelanjutan (SDGs) dan memenuhi komitmennya dalam perjanjian internasional," demikian Diheim Biru.(rmol)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita