GELORA.CO - Defisit yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyebabkan keterlambatan pembayaran klaim ke fasilitas kesehatan mitra. Jika hal tersebut berlarut-larut hingga akhir pertengahan tahun ini, layanan kesehatan untuk peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) dikhawatirkan terhenti seperti yang terjadi tahun lalu.
Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Persi Daniel Budi Wibowo mengungkapkan, sejauh ini BPJS Kesehatan mengalami ketaksesuaian pembayaran klaim layanan kesehatan dengan iuran yang terkumpul. Dengan demikian, jika tak segera ditalangi sebelum Agustus 2019, dia melanjutkan, BPJS Kesehatan akan mengalami kesulitan cash flow alias aliran dana.
Dampaknya, ia mengakui pihak RS tidak bisa menerima pembayaran klaim pada waktunya. Padahal, dana ini ditunggu untuk dipakai membayar kewajiban RS.
"Jika ini terjadi, terjadi efek berantai, yang dikhawatirkan adalah saat sumber daya menjadi terbatas, bisa berimbas ke pelayanan pasien. Dari pengalaman tahun lalu, saat terjadi kesulitan yang sama, kekhawatiran ini telah terjadi di beberapa RS yang terpaksa menghentikan layanan (untuk JKN-KIS) karena tidak bisa membeli sarana untuk pelayanan pasien," ujarnya saat dihubungi Republika, Senin (22/7).
Kendati demikian, ia menyebut RS mitra pasti berusaha keras agar kejadian itu tidak berulang. Kendati demikian, Persi berharap pemerintah bisa melakukan upaya-upaya penyelamatan JKN-KIS. Langkah tersebut di antaranya menyubsidi outstanding defisit, yaitu utang layanan sekitar Rp 6,5 triliun. "Kemudian, membayar defisit bulanan setelah semua upaya penghematan klaim dilakukan, berkisar Rp 2 triliun per bulan," kata dia.
Sebelumnya, Persi mencatat BPJS Kesehatan belum membayar klaim rumah sakit (RS) mitra sebesar Rp 6,5 triliun per tanggal 14 Juli 2019. Di lain pihak, BPJS Kesehatan mengaku terlambat membayar klaim pelayanan kesehatan ke rumah sakit (RS) mitra hingga obat-obatan karena tidak memiliki dana atau anggaran yang cukup.
"Kami terlambat bayar karena uangnya memang tidak cukup, apalagi iurannya juga belum sesuai hitungan aktuaria. Jadi, kami bukannya ingin mangkir atau melakukan wanprestasi," ujar Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Ma'ruf, saat dihubungi Republika, Ahad (21/7).
Ia menjelaskan, dalam kontrak BPJS Kesehatan menyatakan, jika terlambat membayar ke rumah sakit (RS), akan terkena denda ganti rugi 1 persen dari total klaim yang harus dibayarnya setiap bulan.
RSUD Kota Bogor Terdampak Keterlambatan Pembayaran
Salah satu fasilitas kesehatan yang saat ini terdampak keterlambatan pembayaran klaim adalah RSUD Kota Bogor. Rumah sakit milik pemerintah daerah itu saat ini menjadikan anjak piutang sebagai solusi sementara.
Kasubag Hukum dan Humas RSUD Kota Bogor, Taufik Rahmat, mengatakan, saat ini pihaknya telah bekerja sama dengan Bank Mandiri untuk melakukan anjak piutang terkait keterlambatan klaim BPJS tersebut. “Jadi, kalau ada klaim yang cair langsung masuk ke Mandiri, lalu nanti ditransfer ke kas RSUD, dan sampai saat ini anjak piutang masih berjalan,” ujar dia kepada Republika, Senin (22/7).
Dia mengatakan, kerja sama dengan Bank Mandiri tersebut memang memiliki batas kontrak. Oleh sebab itu, ia menambahkan, jika BPJS masih telat dalam pembayarannya, dikhawatirkan fasilitas dan pengadaan obat terancam terganggu.
“Yang jelas, saat ini yang paling krusial itu pengadaan obat. Selain itu, karena 90 persen pegawai kami non-ASN, jadi tidak bisa terlambat pembayaran (upah)-nya karena ditakutkan kinerja berkurang,” kata dia. Taufik menegaskan, jika hingga Agustus tidak ada pembayaran klaim BPJS, kekurangan obat di RSUD Kota Bogor tidak terhindarkan.
Sebab, dalam pelaksanaannya, pengadaan obat harus segera dibayarkan. Dia memaparkan, dampak secara langsung memang ada dalam pembelian obat, pemeliharaan alat dan gedung, dan gaji pegawai.
Menurut dia, upaya lain yang dilakukan pihaknya untuk mengurangi beban klaim BPJS tersebut adalah dengan membuka layanan medical check up (MCU) ke beberapa institusi. Hal tersebut juga masih dirasa kurang sebab nilainya tidak berdampak secara signifikan. “Karena pada dasarnya, RSUD Kota Bogor juga harus professional dalam pelayanannya,” ucap dia.
Taufik memaparkan, harus ada upaya dan evaluasi yang maksimal terkait persoalan keterlambatan klaim tersebut. Sebab, pihaknya juga dituntut untuk melayani masyarakat secara prima.
Sejauh ini, pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) masih enggan berkomentar banyak mengenai kabar memberikan suntikan dana Rp 6 triliun untuk membantu BPJS Kesehatan mengatasi defisit keuangan yang diprediksi mencapai Rp 28 triliun pada akhir 2019. “Terkait pembiayaan mungkin bisa ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu)," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemenkes Oscar Primadi saat dihubungi Republika, Senin (22/7). Ia juga enggan mengomentari soal teknis pencairan dana talangan dan kapan waktu pencairan.
BPJS Kesehatan sebelumnya memprediksi instansinya mengalami defisit sekira Rp 28 triliun hingga akhir 2019. Hitungan ini berdasarkan iuran yang diterima BPJS Kesehatan dikurangi dengan biaya pelayanan kesehatan.
Asisten deputi direksi Bidang Pengelolaan faskes Rujukan BPJS Kesehatan Beno Herman menyebut BPJS Kesehatan belum membayar Rp 9,1 triliun selama 2018 dan terbawa dalam laporan keuangan 2019. "Jadi, kalau kita hitung lagi defisit BPJS Kesehatan yang riil 2019 itu Rp 19 triliun. Tetapi, kumulatifnya (utang 2018 dan 2019) sekitar Rp 28 triliun," ujarnya.
Tak hanya itu, Beno menambahkan, klaim rumah sakit yang telah jatuh tempo per tanggal 8 Juli 2019 sebesar Rp 7,1 triliun juga harus dibayar BPJS Kesehatan. Beruntungnya, utang itu menurun menjadi 6,5 triliun per 14 Juli 2019.
Menurut Beno, jalan mengatasi defisit Rp 28 triliun dengan kebijakan proses bauran hingga akhir tahun. Menurut dia, Kemenkes juga bersedia memberikan sekira Rp 6 triliun untuk mengatasi defisit. Kendati demikian, ia menyebut Kemenkes menetapkan syarat-syarat, di antaranya peninjauan ulang kelas rumah sakit. [dl]