Ikhlaskan Saja, Sebuah Renungan tentang Prabowo

Ikhlaskan Saja, Sebuah Renungan tentang Prabowo

Gelora News
facebook twitter whatsapp


OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN

PRABOWO sejak awal telah menunjukkan dirinya sebagai seorang patriot. Tidak ada yang salah dengan rencana besar Prabowo untuk berkoalisi dengan Jokowi. Mengapa?

Pertama. Kita harus mengetahui bahwa Prabowo sejak awal adalah calon pemimpin yang menerima sistem demokrasi yang berlangsung selama ini. 

Kedua. Selama demokrasi berlangsung, selama itu pula politik diwarnai dengan nir ideal. Dimana politik uang menjangkit struktur elit, baik di parpol maupun di legislatif dan eksekutif. Lingkungan ini diterima Prabowo sebagai suatu fakta alias kenyataan yang ada.

Ketiga. Prabowo sudah berusaha untuk merebut kekuasaan melalui jalan demokrasi dan berjanji akan melakukan revolusi struktural dan sosial jika menang menjadi Presiden.

Setting politik kita saat ini  dirancang oleh kekuatan yang lebih besar dari yang diperkirakan Prabowo. Desain hanya dua calon capres, politik uang, politik "gentong babi", pengerahan aparatur dan penggunaan kekerasan, cacat moral MK (istilah Prof Din) dll terorkestrasi secara dominan.

Jadi, antara Prabowo sebagai figur dan Prabowo sebagai pemimpin "perang", kita lihat konsistensinya. Persoalnnya lalu di mana? Persoalannya adalah kita tidak bisa membedakan antara Konfrontasi vs Kontestasi; antara Nelson Mandela vs Prabowo;  #2019GantiPresiden vs. #02, antara fundamental vs fenomenal, dlsb.

Dalam persepektif konfrontasi, pertarungan yang diperebutkan adalah nilai. Sebaliknya kontestasi atau perlombaan adalah pertarungan merebut kekuasaan.

“Rule of thumb" kedua perspektif ini berbeda. Konfrontasi adalah perjuangan berkelanjutan. Melawan Belanda, dulu misalnya, adalah konfrontasi. Belanda dulu minta kontestasi, apakah rakyat Indonesia memilih ikut Belanda vs. ikut republik?

(Saat itu wilayah republik hanya sedikit, Jawa Barat, termasuk Batavia dan Banten, bukan milik Indonesia. Ibukota republik ada di Yogyakarta).

Dalam perspektif konfrontasi tidak dikenal istilah rekonsiliasi. Karena konfrontasi mengikuti belahan nilai, yang tidak gampang diperdagangkan.
Konfrontasi melahirkan pejuang tangguh, sebaliknya kontestasi melahirkan penguasa.

Membandingkan tokoh-tokoh konfrontasi level dunia seperti Mandela, Bung Karno, Khomeni, Muhammad Mursi dengan Prabowo yang beraliran kontestasi, tidaklah tepat jika kita seolah-olah kontestasi itu sama sekali tanpa perjuangan nilai.

Prabowo, dalam perspektifnya, usaha dan perjuangan dilakukan secara sungguh-sungguh, tidak kenal menyerah, namun terikat aturan legal dan batas waktu. Perjuangan Prabowo dibatasi babakan pemilu.

Namun, Prabowo telah berbuat banyak untuk membesarkan gerakan #2019GantiPresiden melalui kontestasi. Dan gerakan besar umat Islam, 212, telah terkanalisasi dalam politik demokrasi.

Ini adalah sebuah kerjasama yang bagus. Ini adalah sebuah situasi win-win. Prabowo untung, ummat Islam dan kaum ulama #kelompok ijtihad ulama, untung.

Apa untungnya, buat Prabowo dia mendapatkan sambutan besar rakyat dan ummat Islam dalam setiap kampanyenya, sebaliknya ummat Islam mampu membuktikan dominasinya dalam narasi kedaulatan dan keadilan sosial, serta "vote by feet" alias crowded/berjejal jejal bak semut hitam dalam setiap unjuk kekuatan dilapangan.

Apa selanjutnya?

Prof Din Syamsudin beberapa hari lalu  menyarankan terimalah fakta hukum MK ini, namun camkan dihatimu soal perasaan curang itu, mungkin seumur hidup.

Jika model Prof Din ini diterima, maka kita sebagai pendukung #02 bak gadis desa dipingit paksa untuk menerima pinangan lelaki yang tidak dicintainya. Sering dikatakan, kau bisa  memiliki tubuhku, tetapi tidak cintaku. Orang2 seperti ini tidak perlu mencintai rezim yang  memaksakan kemenangan, dan tentu saja rejim itu tidak membutuhkan cinta kita itu.

Alternatifnya adalah menerima model Prabowo ke depan, yang kita belum tahu pastinya.

Kemungkinannya adalah:

Pertama, Prabowo rekonsiliasi dengan Jokowi, seperti disampaikan petinggi-petinggi BPN. Atau kedua, Prabowo beroposisi.

Pilihan pertama artinya Prabowo mungkin mengalah, baik dengan syarat ataupun tanpa syarat, dengan konsesi menteri maupun material, atau Prabowo melihat ada kemungkinan  rekonsiliasi sebagai promosi bagi keutuhan bangsa.

Jika Prabowo memilih beroposisi, maka politik Prabowo lebih  mengarah atau dekat pada perspektif konfrontasi, yakni menjaga perbedaan nilai-nilai perjuangan.

Apapun langkah yang diambil Prabowo tentu merupakan langkah yang mulia, sesuai dengan sosok Prabowo itu sendiri.

Lalu bagaimana kita sendiri?

Jika kita merasa menerima rekonsiliasi Prabowo dan Jokowi, maka kita pun sesungguhnya memiliki tipe kontestasi. Selesai semua berdasarkan legal dan waktu.

Namun, jika kita merasa mempunyai perspektif lain, yakni mempertahankan nilai-nilai yang berbeda dengan rejim ini, kita harus ikhlas berpisah dengan Prabowo.

Kenapa ikhlas? Karena Allah itu memang memilih pemimpin-pemimpin selalu sesuai dengan tipe umatnya. Membaca soal kepemimpinan itu adalah melihat sejarah kenabian. Setiap umat dan rakyat, sekali lagi, punya pemimpinnya.

Jangan pernah membenci Prabowo, namun tetaplah bergelora memperjuangkan perspektifmu. 

*) Penulis adalah Direktur Sabang Merauke Circle.

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA