Terkait Dugaan Senjata Ilegal Mayjen Soenarko, Ini Kronologis Menurut Sri Radjasa Chandra

Terkait Dugaan Senjata Ilegal Mayjen Soenarko, Ini Kronologis Menurut Sri Radjasa Chandra

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Munculnya dugaan kepemilikan senjata ilegal yang dikaitkan dengan aksi 21 Mei 2019 di Jakarta dan nama Mayjen (Purn) Soenarko, telah menyita perhatian sejumlah petinggi negara ini. Lihat saja, mulai dari Menkopolhukam Wiranto, Kepala Staf Presiden Moelkodo hingga Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

Lantas, bagaimana pula kronolis dan riwayat senjata tersebut? Berikut penjelasan Kol. Inf. Sri Radjasa Chandra, salah satu mantan anak buah Pangdam Iskandar Muda ini.

Nah, melalui suratnya tanggal 24 Mei 2019 yang ditujukan kepada Menkopolhukam, Kepala Staf Presiden dan Kapolri, Sri Radjasa Chandra, seorang perwira menengah yang lama bertugas di BIN Aceh ini menjelaskan.

Sekitar tahun 2009, sintel Kodam Iskandar Muda (IM) Aceh, dia menerima penyerahan tiga pucuk senjata dari mantan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yaitu, dua pucuk AK 47 dan satu pucuk M16 A1 Short. Hasil temuan senjata tersebut, kemudian dilaporkan kepada Pangdam IM saat itu Mayjen TNI Soenarko. Saat penyerahan sebut Sri Radjasa, Pangdam IM Soenarko memberi arahan. Isinya, agar dua pucuk senjata AK 47 dimasukkan dalam gudang dan satu pucuk yaitu M16 A1 Short disimpan di Kantor Sinteldam IM, untuk keperluan kegiatan dan latihan.

Selanjutnya, atas perintah Pangdam IM Mayjen Soenarko, senjata M16 A1 Short dibawa untuk pengawalan dirinya di rumah maupun perjalanan. Senjata itu disimpan Heriansyah (seorang agen yang selama ini terlibat dalam operasi di Aceh pada masa konflik dan dimasa damai, diminta untuk membantu Mayjen Soenarko.

Namun kata Sri Radjasa, kondisi senjata M16 A1 Short yang sudah dimodifikasi ini, kurang mendapat perawatan serta mengalami kerusakan teropong bidiknya (reddot) dan harus diperbaiki. Sehingga senjata M16 A1 Short ini dimasukkan dalam peti dan ditinggal saat Mayjen Soenarko menjadi Dan Pussenif di Bandung.

Sekitar tahun 2018, Sri Radjasa mengaku pernah diingatkan Soenarko untuk membawa senjata tadi ke Jakarta untuk diperbaiki teropong bidiknya di Kopassus dan akan diserahkan ke Kopassus. Namun, perintah tersebut tak sempat dia laksanakan, karena dirinya sudah pindah dari Aceh ke Jakarta. Rencana untuk membawa senjata tersebut ke Jakarta juga diketahui Heriansyah.

Masih menurut Sri Radjasa, Soenarko juga memberi arahan kepada Heriansyah, jika mau mengirim senjata M16 A1 tersebut, melapor kepada Kasdam IM, Brigjen Daniel untuk mendapat surat pengantar. Begitupun, pengiriman senjata tadi dari Aceh ke Jakarta pada 19 Mei 2019, tanpa diketahui dan koordinasi sebelumnya dengan Soenarko. Ini membuktikan bahwa Soenarko tidak mengetahui akan ada kiriman senjata tersebut.

“Mencermati hal di atas, saya sampaikan kesimpulan sebagai berikut,” tulis Sri Radjasa dalam suratnya itu. Pertama, pernyataan Wiranto, Moeldoko dan Tito yang diberitakan luas di media massa, sama sekali tidak sesuai fakta sesungguhnya. Karenanya, pernyataan tadi dapat dikatagorikan sebagai hoax yang amat merugikan nama baik Soenarko.

Kedua, pernyataan Wiranto, Moeldoko dan Tito yang mengatakan bahwa senjata tersebut akan digunakan untuk melakukan penembakan saat aksi 22 Mei, merupakan pernyataan tendensius dan sama sekali tidak sesuai fakta sesungguhnya.

“Hal ini merujuk pada fakta bahwa rencana membawa senjata ke Jakarta untuk diperbaiki teropong bidiknya, sudah disampaikan Soenarko beberapa tahun lalu, bukan menjelang aksi 22 Mei 2019. Bahkan, Soenarko tidak pernah diberitahu tentang pengiriman senjata tersebut,” tulis dia.

Disis lain, fakta bahwa pengiriman senjata tersebut ke Jakarta untuk diperbaiki teropong bidiknya, menganulir tuduhan yang mengatakan bahwa senjata tersebut akan digunakan untuk melakukan penembakan dalam aksi 22 Mei 2019.

“Rusaknya teropong bidik pada senjata tersebut, menjawa tuduhan yang mengatakan senjata tersebut akan digunakan sebagai senjata sniper, untuk menembak pada aksi 22 Mei 2019,” ungkap Sri Radjasa pada point keempat.

Dia juga menulis. “Pernyataan yang menyebut bahwa senjata tersebut adalah senjata sniper atau senjata M4, mungkin disebabkan dangkalnya pengetahuan tentang senjata”.

Kelima, pernyataan Wiranto, Moeldoko dan Tito menurut Sri Radjasa, amat sangat tendensius dan telah menimbulkan keresahan yang meluas dan mendorong terjadinya tindakan represif oleh aparat keamanan Polri terhadap para pengunjuk rasa, sehingga pernyataan tersebut wajib diklarifikasi para pihak yang terlanjur membuat pernyataan di media massa.

Keenam, Soenarko tidak dapat diproses secara hukum jika hukum ditegakkan atas dasar keadilan, karena tidak memiliki bukti-bukti kuat yang mengarah kepada terjadinya pelanggaran hukum yang dilakukan Soenarko.

Ketujuh atau terakhir, Sri Radjasa Chandra juga menulis. “Kasus yang menimpa Soenarko, sesungguhnya dapat dijadikan pelajaran berharga bagi para penyelenggara negara dan aparatur penegak hukum, dalam rangka penyelanggaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak mengorbakan rakyat semata”.

Dikonfirmasi media ini, Minggu (26/5/2019), mantan perwira Badan Intelijen Negara (BIN) Aceh membenarkannya. “Benar surat saya. Karena itulah fakta dari senjata yang dikirim Sunarko sehingga pernyataan Wiranto, Moeldoko dan Tito sangat tendensius dan amat dipolitisasi,” ungkap Sri Radjasa.

Apakah surat ini bersifat rahasia dan bisa dipublikasi, tanya media ini. “Bisa koq, itu surat terbuka, karena  pada Selasa, 28 Mei 2019 akan digelar jumpa pers untuk klarifikasi tuduhan kepada Pak Narko,” jawab Sri Radjasa.

Menurut dia, Selasa mendatang, Letjen (Purn) Suryo Prabowo, 2  Mayjen (Purn) Jacky Makarim dan dirinya akan mengelar jumpa pers di Jakarta [source]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita