Gerakan Revolusi Damai

Gerakan Revolusi Damai

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

JUTAAN manusia berkulit hitam telah menyebarkan semangat perlawanan dari mulai Amerika,  Kanada,  Inggris,  Australia dan belahan negara lainnya menuntuk kesamaan hak hak orang kulit hitam di dunia.

Hal ini berlangsung massif di mulai dari kota kecil Ferguson, Missouri Amerika pada tahun 2014, ketika polisi kulit putih menembak mati pria kulit hitam Michael Brown.

Sebelumnya,  tahun 2013 sudah di mulai gerakan ini dalam hastag #BlackLivesMatter, karena ada kasus kekerasan yang mirip di Florida,  tahun sebelumnya. Gerakan ini membesar sejak gerakan turun kejalan di Ferguson tersebut.

Salah satu inspirasi gerakan jutaan manusia di atas, kabarnya, adalah Occupy Wall Street (OWS). OWS dengan slogan "We Are the 99%" adalah gerakan yang dimulai pada 17 September 2011, dengan menduduki pusat keuangan dunia,  Wall Street,  lalu menyebar keseluruh Amerika dan ke seluruh dunia.

Jutaan anak-anak muda dan mahasiswa meminta agar orang-orang kaya tidak rakus sendiri, di mana jumlahnya hanya 1% tapi menguasai 99% ekonomi Amerika.

Occupy Wall Street ini konon kabarnya terilhami gerakan Arab Spring. The Arab Spring di mulai dengan gerakan rakyat Tunisia menuntut pemilu yang adil dan jujur. Namun, gerakan ini membesar tak terhingga ketika seorang pedagang kaki lima sayur mayur,  Muhammad Bouazizi membakar dirinya (karena diperlakukan kasar oleh polisi) di depan balaikota Sidi Bouzid,  Tunisia.

Gerakan Rakyat Tunisia di Desember 2010 ini menjatuhkan Presiden diktator Ben Ali. Gerakan ini lalu menyebar ke seluruh penujuru Arab,  a.l. Mesir,  Libya,  Algeria, dan  Sudan, dlsb.

Cerita peristiwa di atas,  #BlackLivesMatter, Occupy Wall Street dan The Arab Spring adalah tiga contoh diantara apa yang dikenal sebagai Gerakan Revolusi Damai atau Nonviolent Revolution.

Beberapa contoh lainnya juga perlu ditambahkan adalah gerakan Umbrella Revolution di Hongkong 2014 dan Gerakan 212 di Jakarta.

Mengapa disebut Revolusi Damai?

Gerakan damai atau tanpa kekerasan ini ditandai dengan pembangkangan sipil (civil disobedience), protes damai dengan poster2 tuntutan atau "protest symbolic", "sit-in" atau duduk-duduk/berdiam diri ditempat/lokasi simbol-simbol tuntutan yang relevan.

Ciri khas kedua adalah penggunaan media sosial yang massif. Dalam #BlackLivesMatters, hampir 40 juta pembicaraan hal ini di media sosial.

Apakah Revolusi Damai itu efektif?

Revolusi di masa lalu seperti Revolusi Kemerdekaan Indonesia,  Revolusi Bolshevik di Russia,  Revolusi Amerika, Revolusi Iran dan Revolusi China 1949 dianggap contoh-contoh revolusi yang sukses. Sebab,  revolusi dianggap sebagai gerakan perubahan struktur sosial secara dalam.

Namun,  revolusi seperti ini mengorbankan terlalu banyak nyawa dan darah. Padahal setelah revolusi perubahan sosial yang terjadi juga belum pasti menjadikan situasi sosial lebih baik.

Sebaliknya, revolusi damai seringkali juga efektif dalam mencapai tujuan, seperti yang di lakukan Mahatma Gandhi di India maupun gerakan Martin Luther King. Bahkan, Nabi Muhammad sendiri dalam sejarah Fattul Makkah melakukan aksi damai menduduki Mekkah di masa lalu.

Keuntungan Revolusi Damai adalah tidak memancing tentara ikut campur dalam urusan politik yang dituntut. Setidaknya demikian yang dominan. Jika revolusi dengan kekerasan,  sudah pasti tentara akan turun ke gelanggang. Dan umumnya jika tentara di negara berkembang terlibat, akan berakibat fatal,  di mana umumnya tentara tergoda untuk mengambil alih kekuasaan.

Bagimana dengan paska pilpres 2019?

Paska pilpres 2019, setengah rakyat Indonesia at least (sedikitnya)  kecewa karena pilpres dianggap penuh kecurangan. Massa rakyat sudah mulai melakukan agenda agenda aksi ke Bawaslu dan KPU menuntut dinyatakannya pemilu curang.

Aksi ini akan menggelombang karena kemarahan rakyat bersifat merata dan pengaruh sosial media begitu besar mendistribusikan situasi pemilu.

Pemanggilan aktor-aktor yang dikaitkan dengan penggerak oposisi dalam isu ini kemungkinan besar "misleading" karena aktor-aktor tersebut tidak lagi pusat artikulasi kekecewaan. Dalam teori revolusi damai spontanitas dan partisipasi masyarakat lebih dominan terjadi.

Aksi oposisi menuntut dinyatakannya pemilu curang memang dari pihak yang berkepentingan lainnya,  seperti #01,  sudah benar dengan mengimbangi aksi dengan aksi yang sama namun pesannya berlawanan. Seperti ketika aksi alumni UI beberapa hari lalu di Bawaslu yang diimbangi oleh aksi pernyataan terimakasih Bawaslu/KPU.

Aksi vs reaksi apabila dikelola secara baik oleh aparatur negara,  khususnya polisi,  mungkin lebih sesuai dengan demokrasi dan hak hak asasi manusia. Ketimbang polisi,  seandainya benar, berupaya memikirkan membungkam aktor.

Pengelolaan emosi massa yang merasa tersakiti dalam sebuah sistem sosial, baik dalam kasus contoh-contoh di Amerika, dalam demokrasi membutuhkan kerelaan bersabar untuk tidak merasa paling benar.

Dengan kesabaran itu maka demokrasi dan pemerintahan sipil akan bertahan lama. Jika kita abai, maka jangan salahkan rakyat menuntut kembali tentara untuk berkuasa. []

Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle [rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita