<i>Prabowo Sandi are Cult Brand</i>

Prabowo Sandi are Cult Brand

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh: Eko Satiya Hushada*

Pemilihan Presiden tahun 2019 ini memang sangat berbeda dibanding Pilpres sebelumnya, khususnya dalam soal partisipasi rakyat. Para pemilik suara benar-benar sangat pro aktif, sejak sebelum masa kampanye hingga berakhirnya coblosan.

Saya mencoba melihat Pilpres kali ini dari kacamata komunikasi pemasaran (marketing communications), khususnya soal merek pasangan Prabowo-Sandi.

Sejak diputuskan Prabowo berpasangan dengan Sandiaga Salahuddin Uno sebagai calon presiden dan calon wakil presiden, strategi komunikasi pemasaran dijalankan. Prabowo membangun personal brand nya sebagai figur yang patriotik, nasionalis dan cerdas. Wajar, karena Prabowo adalah mantan tentara yang pernah memimpin pasukan elit TNI, Kopassus.

Personal brand harus dibangun berdasarkan kemampuan diri atau ketrampilan dan keahlian, minat, ketertarikan serta nilai (value) yang dibangun. Ini juga yang dilakukan Sandi. Sebagai pengusaha muda yang sukses serta religious, Sandi membangun brand personalnya sesuai dengan keahliannya, minat serta value. Sandi membangun positioning sebagai cawapres milineal, memberi solusi bagi kebutuhan lapangan pekerjaan hingga mengedepankan nilai-nilai Islam.

Di awal penetapan sebagai bakal cawapres, tak sedikit orang yang merasa Sandi belum tepat sebagai wapres bahkan sampai muncul pesimisme, akan kah Sandi mampu menguatkan pasangannya, Prabowo Subianto. Ternyata, Sandi menjawab keraguan itu. Di setiap kehadirannya di berbagai daerah, Sandi mendapat sambutan antusiasme rakyat. Sandi sukses membangun personal brand nya yang didukung strategi komunikasi pemasaran yang jitu.

Prabowo dan Sandi dielu-elukan dalam setiap kampanyenya. Ribuan masyarakat hadir, berkerumun, berebutan untuk bersalaman, bahkan mencubit pipi Sandi, foto bareng, hingga rela merogoh kantongnya untuk memberi sumbangan kepada pasangan ini.

Luar biasa! Belum pernah terjadi situasi seperti ini, mulai dari pemilihan kepala daerah, hingga pemilihan presiden. Prabowo-Sandi dalam waktu yang sangat singkat, mampu membangun personal brand nya, melewati tiga tahap membangun brand, dan menjelma menjadi sebuah kekuatan merek di tahap akhir, yakni cult brand. Pada posisi ini, brand sudah menjadi ‘agama’ bagi konsumen atau pemilihnya, sehingga brand menjadi sebuah kultus. Mereka tak sekedar menjadikan merek tersebut sebagai pilihannya dan merekomendasikan kepada orang lain, tetapi juga sebagai pembela, penjaga merek. Mereka akan mati-matian menjaga merek tersebut.

Ini bisa kita lihat bagaimana militannya pada pemilih Prabowo-Sandi. Masyarakat, datang berbondong-bondong tanpa harus dibayar di setiap event kampanye Prabowo-Sandi, memberikan uang untuk mengisi kantong-kantong sumbangan, menjadi relawan jaga TPS tanpa dibayar, hingga membela mati-matian pasangan Prabowo-Sandi ketika ada yang mencelanya.

Inilah cult brand, ketika sebuah merek menjadi kultus bagi konsumen atau pemilihnya. Tak sekedar loyal, mereka akan berbuat, bertindak mati-matian untuk membela mereknya. Kita lihat saja bagaimana penggemar Harley Davidson yang rela membeli produk apapun dari Harley Davidson, walau dengan harga yang relatif tinggi. Penggemar Harley Davidson rela tampil sebagaimana asosiasi merek yang dibangun; macho, simbol individualisme yang kasar, kebebasan dan pemberontakan.

Begitu juga dengan merek Apple. Produk terbaru Apple, selalu menciptakan atrean panjang di sejumlah store nya. “Mereka merasa ikonik, seperti lambang pribadi. Itu adalah kultus. Benar. Ini jelas kultus,” kata Erica Robles-Anderson, asisten profesor media, budaya dan komunikasi di New York University, dalam sebuah wawancara dengan Atlas Obscura, mengomentari Apple yang dibangun oleh Steve Jobs, Steve Wozniak, dan Ronald Wayne pada April 1976 itu.

Kembali ke Prabowo-Sandi, keberhasilan mereka sebagai cult brand, karena pasangan ini mampu menciptakan value (nilai) yang memang sedang dibutuhkan masyarakat. Merek tidak akan dipilih jika ia tidak menawarkan nilai manfaat pada target marketnya.

Sebagai penantang, Prabowo-Sandi tentu membangun positioning sebagai figur yang dapat mengatasi sejumlah persoalan yang didambakan masyarakat Indonesia, yang itu tidak diberikan oleh petaha, Joko Widodo.

Emily Chung, Michael Beverland, Francis Farrelly, dan Pascale Quester dalam bukunya “Menjelajahi Fanatisme Konsumen: Pengabdian Luar Biasa dalam Konteks Konsumsi (2008) menyebutkan, Loyalitas konsumen terhadap sebuah merek berbeda-beda. Terdapat salah satu jenis loyalitas, yakni consumer fanaticism atau loyalitas fanatik, yang ditandai oleh komitmen, kesetiaan, devosi atau pengabdian, passion, ikatan emosional, antusiasme, dan keterlibatan. Konsumen fanatik menunjukkan ‘extereme devotion to a brand’, dimana merek menjadi bagian penting yang berpengaruh dalam kehidupan konsumen atau pemilih dalam konteks pilpres.

Apapun akan dilakukan pemilih untuk tetap menggunakan dan menjaga merek tersebut. Makna cult brand secara luas menurut para ahli dari sejumlah universitas di Australia ini, yakni suatu merek yang membuat koneksi emosional yang sangat dalam dan unik dengan konsumennya, sehingga mereka menunjukkan pengabdian atau kesetiaan yang ekstrem atau dedikasi dan loyalitas terhadap merek. Dengan demikian, konsumen cult brand memiliki karakteristik yang sama seperti konsumen atau pemilih fanatik.

Inilah yang terjadi pada pasangan Prabowo-Sandi. Mereka dipilih, dicintai dengan sangat, dielu-elukan, dijaga, dibela mati-matian. Dalam hati pemilih,”Prabowo-Sandi harga mati. Titik.”

Pada posisi kekuatan merek seperti ini, tak perlu lagi biaya yang besar untuk merawat ‘pasarnya’. Tak perlu biaya yang besar untuk promosi atau kampanye, karena para pendukungnya sudah menjadi juru bicara, juru kampanye bagi Prabowo-Sandi. Mulai dari pemilih milineal hingga emak-emak, mereka siap apapun untuk Prabowo-Sandi.

Pemilih fanatik. Ya, mereka pemilih fanatik. Ke depan, Prabowo-Sandi harus mampu merawat terus pemilihnya. Penuhi janji selama kampanye, karena merek adalah janji. Tetaplah menjadi pribadi seperti yang telah dibangun selama ini. Jika tidak, emak-emak akan berkata,”Gue cerai loe!.”

*) Konsultan Komunikasi Pemasaran, CEO & Founder PT Esa Komunika Kreatif
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita