Pasien Disabilitas Mental Ini Pilih Barack Obama di Pemilu 2019

Pasien Disabilitas Mental Ini Pilih Barack Obama di Pemilu 2019

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - PASIEN disabilitas mental di Yayasan Galuh, Kecamatan Rawalumbu, Kota Bekasi, memilih mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, Rabu (17/4/2019).

Padahal, pasien bernama Mail Rojali ini sebetulnya tahu dua calon presiden dan wakil presiden RI.

“Saya mau pilih Obama nanti,” kata Mail dengan tatapan polos, di Yayasan Galuh, Jalan Bambu Kuning RT 02/03, Kelurahan Sepanjang Jaya, Kecamatan Rawalumbu.

Rojali merupakan satu di antara 15 pasien Yayasan Galuh yang akan ikut pemilu di sana.

Dia bersama teman-temannya di tempatkan di aula makan, sambil menunggu kedatangan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Saat ditanya wartawan, Mail hanya menyebutkan kalimat Obama ketika ditanya siapa calon presiden yang akan ia pilih.

Dengan wajah serius, Rojali yakin Obama akan unggul dalam pemilihan umum versinya.

Sedangkan Pardi, pasien lainnya, lebih memilih Prabowo Subianto untuk menjadi presiden. Alasannya, Prabowo Subianto meyakinkan hatinya.

“Pilih Prabowo karena meyakinkan,” ujarnya. 

Pengurus Yayasan Galuh Jajat Sudrajat mengatakan, para pasien akan didatangi petugas untuk menggunakan hak suaranya.

Hal itu berdasarkan keterangan dari petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) beberapa waktu lalu.

“Kemarin petugas KPU bilang mereka yang akan datang ke panti untuk jemput bola. Jadi pasien tidak nyoblos di tempat pemungutan suara (TPS) dekat panti,” ungkap Jajat, Rabu (17/4/2019).

Menurutnya, jumlah pasien di panti ada sekitar 400 orang. Namun, hanya 15 orang yang memiliki hak pilih, karena sudah merekam KTP elektronik.

Sedangkan sisanya merupakan warga luar Kota Bekasi, dan belum melakukan perekaman KTP elektronik.

“Sebelum pencoblosan, petugas Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sudah datang ke sini untuk melakukan perekaman. Cuma banyak pasien yang belum stabil kejiwaannya, sehingga hanya beberapa saja yang perekaman,” beber Jajat.

Kata dia, pasien panti mendapat layanan jemput bola karena jumlahnya di bawah 100 orang.

Dengan jumlah seperti itu, sangat tidak memungkinkan bila dibuat TPS sendiri ataupun gabung ke TPS lain.

"Sebetulnya bisa aja gabung ke TPS lain, tapi kami enggak bisa antar pasien sekaligus, melainkan bertahap masing-masing tiga orang," katanya.

"Tapi kalau di TPS lain juga masih nunggu ya sama aja bohong, khawatir mereka emosi malah ganggu kenyamanan. Intinya harus ada prioritas lah bagi mereka yang menyandang disabilitas mental," paparnya.

Sebelumnya diberitakan Wartakotalive.com, Laurentius Panggabean, Direktur Utama Rumah Sakit Jiwa Dr Soeharto Heerdjan mengatakan, pihaknya tetap memberikan hak pilih kepada pasien gangguan jiwa yang dirawat di RSJ Grogol.

Syaratnya, pasien tersebut harus dalam kondisi tenang dan stabil.

Jika pasien tidak dalam kondisi stabil, maka pihak rumah sakit tidak merekomendasikan pasien untuk mengikuti pemilihan umum atau datang ke TPS untuk memberikan hak pilihnya.

"Gangguan jiwa bertaraf tidak stabil itu tidak dianjurkan, kenapa? Karena jika diikutsertakan tidak bisa seperti yang lain mengikuti proses. Tapi jika dia dalam keadaan tenang, silakan, itu boleh," kata Laurentius Panggabean saat ditemui, Selasa (16/4/2019).

Meski begitu, pihaknya mengaku tidak membatasi atau melarang pasiennya yang akan mengikuti pencoblosan, asal sesuai kondisi fisik stabilitas pasien, yaitu kesadaran pasien untuk melakukan aktivitasnya.

Jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit saat hari pencoblosan kurang lebih sebanyak 70 persen, dari 300 kuota pasien yang sudah terisi. Artinya, sekitar 210 orang gangguan jiwa dirawat di RS Jiwa Soeharto Heerdjan.

Pasien yang dirawat terbagi menjadi tiga kategori, yakni tenang, tenang dan persiapan pulang, serta belum stabil.

Jika hingga 17 April pasien belum stabil, pihak rumah sakit tidak akan mengizinkannya untuk keluar karena berisiko. Pasien bisa saja tiba-tiba membahayakan diri sendiri atau orang lain.

"Ketika dia tidak dapat memutuskan menilai daya kemampuan untuk menilai realita. Contohnya halusinasi, itu tidak bisa walaupun dikasih hak, yang penting kita tidak boleh membatasi hak orang," tuturnya.

"Jadi kita berikan hak semua pasien di sini, tapi kalau dia mampu. Kalau tidak mampu ya tidak diberikan," sambungnya.

Kata Laurentius, kebanyakan pasien di RSJ Grogol tidak dalam keadaan stabil, sehingga mereka tidak diberikan atau direkomendasikan untuk memberikan hak pilihnya.

Pasien yang sudah tenang akan difasilitasi untuk memberikan hak suaranya. Pasien itu akan dihadirkan ke TPS yang tak jauh dari RSJ Grogol, atau bisa menggunakan haknya di domisili masing-masing. Tak ada TPS di RSJ Grogol.

"Tapi Kebanyakan pasien di sini belum stabil untuk dibawa keluar. Karena kan kondisi di sini mereka di rawat 21 hari. Kalau dia baru masuk ya belum bisa, jadi tergantung masa perawatan. Kalau udah stabil mereka bisa pulang. Tapi kalau yang masih di sini mereka belum stabil," paparnya. [trb]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita