Jokowi <i>A New Hope</i>, Masihkah Relevan?

Jokowi A New Hope, Masihkah Relevan?

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Lima tahun lalu, Jokowi muncul sebagai sosok pembawa harapan baru bagi Indonesia setelah terpilih sebagai presiden dalam pemilu 2014.

Dia bahkan sempat mendapat julukan sebagai "Obama Indonesia". Majalah bergengsi Time juga mengangkat sosok Jokowi sebagai sampul depan dengan tiga kata yang menjadi headline "A New Hope".

Pada saat itu, popularitas Jokowi melesat dengan cepat dari pengusaha furnitur yang sukses menjadi walikota Solo, kemudian terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta dan kemudian menjadi orang nomor satu di Indonesia. Rekam jejaknya seakan terdengar seperti dongeng politik bagi demokrasi Indonesia.

Citra dan popularitas Jokowi seolah tampak kontras dengan rivalnya di pemilu 2014 lalu, Prabowo Subianto. Citra Prabowo lekat sebagai mantan jenderal militer yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia. 

Mantan menantu Suharto itu pun melambangkan penjaga lama otokratis, yang masih berlomba-lomba memperebutkan kekuasaan selama puluhan tahun. Namun kini, di pemilu 2019 yang tinggal menghitung hari, suasananya berbeda dengan 2014.

Lima tahun menjadi waktu yang cukup bagi Jokowi untuk membuktikan apakah dia benar-benar membawa harapan baru bagi Indonesia. 

Masalah minoritas agama serta hak-hak LGBT yang terganggu di era Jokowi serta serangkaian penangkapan yang terjadi menjadi semacam peringatan atas kebebasan berekspresi. Selain itu, pertanyaan tentang netralitas polisi dan rencana perambahan militer di ruang sipil memunculkan anggapan bahwa kemajuan demokrasi di Indonesia tengah dirusak.

The Guardian dalam artikel "Joko Widodo: how 'Indonesia's Obama' failed to live up to the hype" (Kamis, 4/4) menyoroti, dalam waktu dua bulan menjabat sebagai presiden pada tahun 2014 Jokowi, sang pembawa harapan baru, secara tidak terduga menandatangani aturan soal hukuman mati. Pada saat itu, Jokowi mengutip data yang dipertanyakan untuk membenarkan klaimnya bahwa Indonesia berada dalam pergolakan obat terlarang. 

Langkah itu mengejutkan, karena datang dari seorang pemimpin yang dipandang sebagai pembawa harapan baru dari dekade yang bermasalah dengan pelanggaran hak asasi manusia.

Meski muncul suara-suara protes baik dari dalam negeri maupun internasional, sebanyak delapan pelanggar narkoba, termasuk dua warga Australia dieksekusi oleh regu tembak pada April 2015.

Para analis mengatakan bahwa jika Jokowi menawarkan pengampunan, dia akan terlihat tunduk pada tekanan internasional.

Jokowi yang pada saat itu terpilih dengan dukungan rakyat tetapi minoritas di parlemen serta minim pengalaman dalam politik nasional, perlu memperkuat posisinya yang lemah sejak awal. Salah satu caranya adalah dengan menempatkan "pemain" lama dalam lingkarannya. Sebut saja salah satunya adalah Wiranto, Sosok yang juga lekat dengan era Suharto.

Meski begitu, sejumlah jajak pendapat beberapa waktu belakangan masih menempatkan Jokowi lebih unggul daripada Prabowo.

Dalam empat tahun terakhir Jokowi piawai memulai menggerakkan infrastruktur yang sangat dibutuhkan, membangun ribuan kilometer jalan, membangun bandara dan sejumlah pelabuhan, bendungan, dan jembatan.

Para pemilih juga tertarik dengan investasinya dalam skema asuransi kesehatan nasional dan pendidikan bagi kaum miskin. Tapi itu hanya sebagian dari citra yang dibangunnya. 

Tagline kampanye Jokowi tahun ini adalah "Indonesia maju". Tetapi banyak analis politik bertanya-tanya "maju ke mana?". Pasalnya, di bawah kepemimpinan Jokowi, politisasi penegakan hukum telah dibawa ke tingkat yang baru.

Kandidat PhD di Australian National University, Liam Gammon, menilai bahwa tren di era Jokowi sangat mengganggu dengan sejumlah besar tokoh oposisi ditangkap, didakwa dan dalam beberapa kasus dipenjarakan dalam dua tahun terakhir. Hal itu memunculkan kekhawatiran bahwa polisi Indonesia menjadi semakin partisan.

Menjelang pemilihan ini, polisi juga memblokir beberapa demonstrasi “ganti presiden”, dengan alasan keamanan atau peraturan. Langkah itu membantu menghalangi momentum oposisi.

"Saya pikir ada cukup pola perilaku sekarang untuk mengatakan bahwa politisasi penegakan hukum telah dibawa ke tingkat baru di bawah Jokowi," kata Liam Gammon. "Dan ada beberapa yang cukup tren yang mengkhawatirkan dalam cara penegakan hukum tampaknya sedang digunakan dan maksud saya beberapa investigasi yang sangat dipertanyakan dari tokoh oposisi terkemuka," tambahnya.

Liam Gammon menambahkan, jika Jokowi kembali menang, Indonesia tampaknya akan mendapat manfaat dari infrastruktur dan kesejahteraan sosial yang lebih baik. Tetapu pertanyaannya adalah berapa biayanya? "Apa artinya itu jika Jokowi telah memfasilitasi pembusukan lembaga-lembaga Indonesia," katanya.

"Atau jika dia telah menormalkan beberapa perilaku yang benar-benar anti-demokrasi?" sambungnya seperti dimuat The Guardian. [rm]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita