Prabowo Tak Mampu Menghina Orang

Prabowo Tak Mampu Menghina Orang

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Oleh Margarito Kamis 
(Doktor HTN, Staf Pengajar FH. Univ. Khairun Ternate)

Prabowo, sang capres yang berpasangan dengan Sandiaga Uno, anak muda santun, yang turur katanya selalu lembut ini, seperti didapati dalam kampanye ini, yang rakyat dari waktu ke waktu memberi dukungan otentik, sungguh-sungguh menghendaki keduanya menjadi presiden periode 2019-2024, terus diterpa tuduhan tak sedap. Tuduhannya, sebagian ya itu-itu saja, persis kaset rusak yang dipaksakan  mengeluarkan bunyi. 

Tuduhan bahkan serangan tak berkelas itu, cukup sering hanya berputar-putar pada Prabowo sebagai sosok pemarah, ganas, pelanggar hak asasi manusia, dan orang berduit yang jahat. Tidak itu saja, Prabowo juga sering dituduh sebagai tukang sebar ketakutan dan berita bohong. Serangan silih berganti itu, nyatanya terlihat laksana kerupuk. 

Tipikal Orang Besar 

Prabowo, dalam kenyataannya cukup jelas, terlihat tak sekalipun melayani tuduhan tipikal itu. Diamnya terhadap semua tuduhan itu, nampaknya menandai sikap dan penilaiannya tentang pemimpin. Pemimpin, katanya  mesti memiliki hati, sebuah diksi yang mewakili pakem pemimpin harus memiliki hati. Kata orang bijak kala hati terjaga, mulutmupun ikut terjaga. Kala hati dan mulut berpadu dalam ikhtiar, niscaya ketulusan mengikutimu. 

Prabowo, tak sekalipun, sebagaimana yang dapat dilacak dari rekam digital,  tak merespon tuduhan tak berkelas itu. Seolah tak pernah ada tuduhan pada dirinya, ia sejauh ini tak pernah, sekali lagi merespon, apalagi merespons dengan nuansa menyerang. Tidak. Ia seolah hendak memberi pesan betapa hatinya tak hitam. Ia seperti tahu beta hati yang hitam, tentu tak bening, pasti selalu tak dapat membuat isi kepalanya bening.  

Laksana orang besar, yang selalu begitu, sebagaimana sejarah menceritakan kebenarannya sendiri, selalu memiliki kemampuan berpikir dan menilai segala sesuatu dengan hati dan otak yang bening. Manusia tipikal ini tidak bakal, sekalipun diminta dengan segala iming-iming mengiurkan, mampu memilih kata-kata kotor, penuh hinaan, bahkan sekadar menggunjing orang. Orang besar tahu menyibukan diri dengan fitnah dan kata-kata kotor diruang terbuka, sama dengan melakukan pekerjaan rendahan. 

Memfitnah, menghina, menggunjing orang tidak pernah, sampai kapanpun dapat dinilai sebagai pekerjaan berkelas. Ini pekerjaan rendah, yang hanya bisa dikerjakan orang bermoral pas-pasan, untuk tak mengatakan tak bermoral. Menyibukan, setidaknya membicarakan, dalam nada menggunjingkan, membuka aib orang adalah pekerjaan yang melengahkan dan menempatkan dirinya dalam kubangan kotor moral. 

Orang besar tahu cara berkelas dalam meniti jalan terjal menuju, meraih kekuasaan. Kehebatan kekuasaan tidak bakal membuatakan mereka, membuat mereka melupakan dan mencampakan ahlak. Orang besar tahu ambisi mereka memiliki kekhasan. Mereka tidak mengambil ambisi, menaruh dan menjadikannya sebagai dorongan terbesar untuk mengghalalkan semua cara yang bisa. Ini lantaran mereka tahu menghalalkan semua cara,  sama dan sebangun dengan mengerdilkan diri mereka dipanggung sejarah.Mereka tahu batas kemewahan dunia dengan kekuasaannya. 

Al-Ghazali, Ulama hebat ini, suatu saat pernah memberi nasihat pada Sultan Sanjar Saljuqi. Dalam nasihat kepada Sang Sultan, Al-Ghazali mengatakan kerajaan langit itu sedemikian luasnya sehingga seluruh dunia ini tampak sebagai suatu butir debu saja bila dibandingkan dengannya. Moga-moga Yang Mulia berkenaan, nasihat beliau selanjutnya, Saya menyadari bahwa seorang ambisius sulit sekali untuk menjalani suatu kehidupan yang saleh. 

Karena saya, begitu Ulama hebat ini melanjutkan nasihatnya, dapati anda sebagai seorang yang amat jujur dan hati-hati, maka saya berharap anda bisa memperlakukan hal ini dengan kebijakan dan kebaikan untuk diri Anda sendiri. Al Ghazali lalu melengkapi nasihatnya dengan satu sabda Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam. Sabda itu berisi “Sehari yang dihabiskan oleh seorang raja yang taqwa untuk menyelenggarakan keadilan,  setara dengan enam puluh tahun yang dihabiskan oleh seorang suci untuk ibadah dan shalat. 

Berkelas

Pria kerdil, bila diletakan dalam perspektif Abraham Lincoln, pria hebat dalam dunia hukum dan politik sebelum jadi presiden ini,  adalah pria yang tidak tenggelam, menjunkirbalikan kekuasaan yang ada dalam genggaman mereka. Pria ini, seperti diketahui tahu bahwa cara mengenal pria kerdil adalah melihat bagaimana kekuasaan yang  padanya digunakan. 

Abraham Lincoln, pria yang mengakhiri perang saudara, Utara – Selatan – Amerika 1865, perang yang gejalanya telah terlihat sejak tahun 1828 itu adalah pria hebat. Dalam kehebatanya yang dikagumi hingga sekarang, Lincoln pernah menemukan dirinya suatu hari dalam periode awal pemerintahannya, dan dalam usaha mengakhiri perang itu dituduh sebagai pria “idiot.” Tidak itu saja, Lincoln, pria hebat ini juga pernah dituduh, setidaknya dinilai, tentu secara salah oleh seorang yang reputasi kemiliterannya dihormati Lincoln, tetapi memiliki ambisi besar menjadi Kepala Staf Gabungan dalam Kabinetnya, menuduh Lincoln sebagai pria yang tidak lebih dari babon.

Khas pria berkelas, Lincoln tidak menggunakan tuduhan itu sebagai alasan menolak promosi sang penghina. Lincoln justru menemukan hal tepat pada diri seorang perwira muda, yang reputasi kemiliteran dan kecemerlangan perencanaannya diyakini akan membuka jalan pencapaian berkelas atas usahanya mengakhiri perang itu. Lincoln, seperti dicatat sejarah memang mencurahkan seluruh pikirannya untuk menciptakan perdamaian dalam segala ukuran dan sekuat tenaga pula menghindari perang.  

Orang besar, selalu begitu, berhati besar. Mereka, selalu begitu, tak terbakar amarah atas hinaan-hinaan terhadap diri mereka. Dendam tidak bakal mereka gunakan sebagai kemudi dalam  bersikap dan bertindak. Kebijaksanaanlah yang menjadi kemudi, tuntunan atas tindak-tanduk mereka. Kebijaksanaanlah yang mereka gunakan dalam memberi bentuk atas keadilan politik dan ekonomi. Harkat dan martabat orang rendahan, siapapun mereka, apapun agama dan sukunya, yang selalu menjadi bahan mereka mengasah rindu terbesar dan merancang sikap dan  tindakan. 

Tetaplah begitu, dan selalulah begitu; rendah hati Pak Prabowo. Ribuan orang yang selalu bergairah, rela berpanas-panasan, dengan biaya sendiri mendatangi dan menjemputmu sebagaimana di Yogya, Taksikmalaya, Garut, Cianjur, Batam, Pekanbaru, dan lainnya yang tidak mungkin disebut satu demi satu pada kesempatan ini, jelas merupakan refleksi kerinduan mereka atas pemimpin tipikal rendah hati. Tak usahlah usahlah mengeksploitasi tindakan seorang di Lampung yang bersimpuh membicarajkan ganti rugi, bukan ganti untung kala Pak Jokowi melakukan satu kegiatan kenegaraan beberapa waktu lalu. Kebenaran tak pernah dapat ditandingi. Kebenaran selalu memiliki cara kodrati muncul, menghampiri dan menyapa semua orang pada waktunya.

Maafkanlah semua orang yang menghinamu, karena memaafkan adalah cara terbaik menampilkan cahaya kebesaran hati. Beritahukan kepada orang-orang yang rajin menggunjing dan menghinamu bahwa pesan-pesan konstitusi, pada level tertentu adalah pesan yang berasal dari hati yang bening. Sebening apapun pesan konstitusi, pesan itu meminta orang-orang berhati bening membuatnya bermakna secara praktis. 

Itulah makna lain dari pesan Woodrow Wilson, presiden Amerika yang suatu waktu pernah menyatakan sehebat apapun konstitusi sebuah bangsa, tetap saja memerlukan orang hebat untuk merealisasikannya. Pesan yang mirip juga dikemukakan Dwight H. Eisenhower, jenderal hebat ini, kala menjadi presiden, yang dalam pemerintahannya muncul Marshal plan. 

Jangan bicara governance, jangan bicara rule of law, jangan bicara akuntabilitas, jangan bicara habes corpus bila hatimu kotor, lidahmu bercabang-cabang. Mengapa? Dalam sejarahnya soal-soal ini muncul mewakili kerinduan tak berujung atas kemilaunya harkat dan martabat manusia, yang kala itu tenggelam, tergilas oleh kecongkakan pemimpin. Beruntunglah Pak Prabowo anda tak mampu menghina orang. Sikap dan moralmu berkelas. (*)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA