'Kemesraan' Rusia – Indonesia di Era Jokowi Berakhir?

'Kemesraan' Rusia – Indonesia di Era Jokowi Berakhir?

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO -  Bagai fenomena bola salju, polemik penyebutan “propaganda Rusia” terus bergulir dan kian membesar mewarnai prosesi jelang pencoblosan Pilpres. Saling tuding masing-masing pihak bahwa pihak lawan menebar hoax pun makin mencuat. Lalu bagaimana dengan Rusia?

Penggunaan "propaganda Rusia" disampaikan petahana Joko Widodo saat menghadiri kegiatan deklarasi Forum Alumni Jawa Timur di  Kota Surabaya, akhir pekan kemarin. Jokowi mengatakan dunia perpolitikan Indonesia saat ini dipenuhi banyak fitnah dan kabar bohong alias hoax.

"Pernyataan Pak Jokowi sebagai calon presiden tentang propaganda Rusia hanyalah sebuah istilah dan tidak berhubungan dengan intervesi negara Rusia pada proses politik di Indonesia," kata Juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Ace Hasan Syadzily melalui keterangan tertulis, Senin (4/2/2019). 

Propaganda yang dimaksud Jokowi adalah teknik Firehouse of Falsehood yang juga digunakan Donald Trump guna menarik perhatian masyarakat dengan menyebarkan hoax, ketakutan, hingga pemberitaan-pemberitaan yang remeh.

Politisi Golkar yang akrab disapa Ace itu menjelaskan, pernyataan Jokowi soal adanya propaganda Rusia hanya sebuah istilah. Ace mengatakan istilah itu tidak ada kaitannya dengan intervensi Rusia. Istilah propaganda Rusia populer, sambung Ace, setelah RAND Corporation menerbitkan artikel "The Russian 'Firehose of Falsehood' Propaganda Model" pada 2016. 

Menurut Jubir TKN itu, propaganda Firehose of Falsehood atau semburan kebohongan ini disebut digunakan dalam pemilu di Brazil, Mexico, dan Venezuela. "Sehingga sudah menjadi bagian dari metode perpolitikan baru di era post-truth," tulis Ace. 

Propaganda Rusia Ace menjelaskan propaganda Firehose of Falsehood juga mempunyai beberapa ciri. Pelakunya berusaha mendapatkan perhatian media melalui pernyataan dan tindakan yang mengundang kontroversi. Kemudian, pelakunya juga melemparkan pernyataan yang miss leading atau bahkan bohong. Ace mengatakan tujuannya adalah menghilangkan kepercayaan pada data dan merusak kredibilitas.

Hari berikutnya, Minggu di Karanganyar, Jawa Tengah, Jokowi yang masih menjabat Presiden sekaligus Kepala Negara masih menggunakan istilah tersebut ditambah istilah konsultan asing. Jokowi tidak menjelaskan istilah itu ditujukan kepada siapa dan kelompok apa. 

Direktur Luar Negeri dan Koordinator Media Asing  Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Irawan Ronodipuro menyatakan,  Pernyataan Joko Widodo mengenai adanya konsultan asing yang berada di belakang salah satu capres adalah  kebohongan besar.

“Jadi, saya sebagai direktur luar negeri BPN tahu betul bahwa kita tidak ada sama sekali konsultan asing, Di BPN ini semua kumpulan anak-anak bangsa yang memang banyak mendapatkan pendidikan di luar negeri. Saya bisa memastikan kita tidak menggunakan konsultan politik asing. Maka pernyataan Presiden (Jokowi) itu salah," ujar Irawan. 

Pimpinan BPN itu menjelaskan, isu ini muncul pertama kali dari potongan video yang memperlihatkan seorang pejabat Kedutaan Besar Rusia menyalami Prabowo Subianto sebelum capres nomor urut 02 tersebut menyampaikan pidato "Indonesia Menang" di JCC Jakarta pada 14 Januari lalu. Saat itu, lanjut Irawan, pihaknya mengundang sejumlah beberapa pejabat tinggi dari kedutaan besar negara sehabat. Dan ada 13 perwakilan yang datang. 



"Jadi siapa yang memberikan masukan kepada Presiden, itu salah besar. Jadi, kita sesalkan tuduhan tersebut. Kita memiliki hubungan baik dengan negara itu. Hubungan diplomasi yang kita lakukan adalah hal biasa saja, yang juga dilakukan banyak partai politik, apalagi sekarang Pak Prabowo adalah calon presiden," jelasnya. 

Hal senada disampaikan politisi PAN Drajad Wibowo, tuduhan itu tidak tepat sama sekali. Kepada Kantor Berita Politik RMOL, Drajad menyampaikan bahwa input Prabowo hanya dari timnya.



"Tapi jika memang beliau menuduh mas Bowo seperti itu, tuduhan tersebut salah. Tidak pernah sekalipun saya lihat ada bule yang ikut, entah dari AS, Rusia dan lain-lain. Malah mas Bowo banyak meminta input dari kita-kita. Dan beliau banyak mengikuti saran serta nasihat dari tokoh nasional seperti Presiden SBY dan Prof. Amien Rais," ucap Drajad dalam pesan elektroniknya, Selasa (5/2).


Kedutaan Besar Federasi Rusia untuk Republik Indonesia merasa perlu menyampaikan klarifikasi terkait penggunaan istilah "propaganda Rusia" yang belakangan ramai dalam percaturan politik Indonesia Pilpres 2019.

Klarifikasi disampaikan lewat akun Twitter resmi Russian Embassy, IDN @RusEmbJakarta, Senin (4/2).



"Berkaitan dengan beberapa publikasi di media massa tentang seakan-akan penggunaan "propaganda Rusia" oleh kekuatan-kekuatan politik tertentu di Indonesia, kami ingin menyampaikan sebagai berikut," twit @RusEmbJakarta. 

Dijelaskan, istilah "propaganda Rusia" direkayasa pada tahun 2016 di Amerika Serikat dalam rangka kampanye pemilu presiden. Dimana istilah ini sama sekali tidak berdasarkan pada realitas. 

Terkait dengan elektoral atau urusan pemilihan yang saat ini sedang berlangsung di Indonesia, Kedutaan Rusia menegaskan tidak ikut campur.


"Kami menggarisbawahi bahwa posisi prinsipil Rusia adalah tidak campur tangan pada urusan dalam negeri dan proses-proses elektoral di negara-negara asing, termasuk Indonesia yang merupakan sahabat dekat dan mitra penting kami," tulis @RusEmbJakarta.

Indonesia di Mata Rusia

Jauh sebelum mencuat dan menjadi polemik, tak lama usai Joko Widodo dulu memenangkan pilpres, tepatnya pada 12 Desember 2014, laman resmi Kedutaan Besar Rusia untuk Republik Indonesia menampilkan sebuah tulisan berjudul “Seperti Apa Ekspektasi Rusia Terhadap Indonesia Tahun Depan?”

Dalam konferensi pers pada Kamis (11/12) di Jakarta, Duta Besar Rusia untuk Indonesia Mikhail Galuzin menceritakan ekspektasi Rusia terhadap Indonesia pada 2015 mendatang. Duta Besar Rusia untuk Indonesia Mikhail Galuzin menyatakan Rusia memiliki harapan besar terkait prospek hubungan bilateral Rusia-Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. 

"Jokowi dan Putin baru saja bertemu untuk pertama kalinya dalam pertemuan APEC di Beijing pada November lalu. Pertemuan itu berjalan dengan sangat baik dan kami berharap itu mengindikasikan prospek cerah hubungan antara negara kita," kata Galuzin.

Sang duta besar menjelaskan, hubungan bilateral Rusia-Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat positif sejak masa reformasi, terutama pada masa pemerintahan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. 

"Hubungan itu didasari oleh keakraban yang tercipta sejak masa pemerintahan presiden pertama Indonesia, Soekarno. Kini, memori tentang itu masih tetap hidup di masyarakat, masih sangat terasa," kata Galuzin.

Di bidang ekonomi, Rusia dan Indonesia telah memperkokoh ikatan dengan berbagai kontrak kerja sama yang prospektif. Galuzin mengingatkan bahwa Rusia sangat mendukung konsep Indonesia sebagai negara maritim yang diusung oleh presiden Jokowi. "Kami memiliki banyak kesempatan, ahli, teknologi, dan produk industri yang bisa berguna bagi Indonesia, yang hendak meningkatkan kekuatan maritimnya," kata Galuzin.

Terkait sikap terhadap situasi internasional, Galuzin melihat kecenderungan yang sama antara Rusia dan Indonesia. "Indonesia ingin mandiri di kancah internasional dan ingin kedaulatannya tidak diganggu gugat. Rusia pun memegang prinsip yang sama. Selama kita bisa menghargai negara lain, tentu negara kita pun akan mendapat perhormatan serupa dari negara lain," kata sang diplomat.

"Kehadiran" Indonesia di Rusia

Duta Besar Rusia tersebut juga menjelaskan bahwa ‘kehadiran' Indonesia di Rusia semakin jelas. Indonesia telah menjadi salah satu destinasi favorit warga Rusia untuk berlibur. "Di Bali, Anda bahkan bisa menemukan tak hanya turis Rusia dari Moskow dan Saint Petersburg, tapi juga dari kota-kota kecil Rusia lain," tutur Galuzin.

Selain itu, di Rusia sendiri pengetahuan tentang Indonesia pun meningkat. Galuzin bercerita, beberapa minggu setelah pelantikan, sosok Joko Widodo dibahas dalam sebuah program radio Rusia Echo Moscow. Radio tersebut menyajikan sebuah program berdurasi panjang yang menuturkan segala hal tentang presiden baru Indonesia tersebut, mulai dari biografi hingga pandangan politik Jokowi.

Tak ketinggalan, kerja sama di bidang ekonomi juga memperkuat kehadiran Indonesia di Negeri Beruang Merah tersebut. Seperti diketahui, Indonesia dan Rusia memiliki Komisi Bersama Indonesia-Rusia di Bidang Ekonomi, Perdagangan dan Kerjasama Teknis yang terus menciptakan proyek-proyek kerja sama antarnegara di bidang ekonomi.

Bagi analis politik Pangi Syarwi Chaniago tudingan Jokowi kepada Prabowo soal propaganda Rusia bukan hal yang biasa. Mantan gubernur DKI Jakarta yang kini menjadi calon presiden pentahana itu, dinilai sudah keluar dari sifat aslinya.

“Saya melihat beliau pidato seperti bukan aslinya Jokowi, entah karena marah besar karena elektabilitasnya stagnan dan tidak tumbuh,” kata Pangi kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (5/2).

Ketimbang, melancarkan serangan yang menyudutkan rivalnya pada Pilpres 2019, lebih baik fokus pada kinerja pemerintah dan menjelaskan capaiannya kepada masyarakat. Hanya dengan begitu rakyat bisa puas dan kembali memilih Jokowi. Cara itu juga mampu menghindarkan ruang perdebatan pilpres dari hal-hal yang tidak substansial dan tidak ada kaitan langsung dengan hajat hidup rakyat. 

“Menggapa Jokowi harus terus-terusan curhat soal dirinya diserang dan dituduhkan macam-macam ke masyarakat. Jokowi harus jadi dirinya seperti Jokowi 2014, nggak perlu marah-marah, saya haqqul yaqin itu bukan karakter asli Jokowi,” pungkas Pangi. [rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita