Gerakan Nol-kan Jokowi!

Gerakan Nol-kan Jokowi!

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh: Tata Gibrig*

Judul di atas mungkin bagi sebagian orang terlalu hiperbolik. Bagaimana mungkin Jokowi bisa di-nol-kan? Tentu ini bukan pertanyaan retorik. Me-nol-kan Jokowi adalah sebuah kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Jangan membayangkan me-nol-kan Jokowi adalah benar-benar membuatnya sama sekali tidak mendapatkan suara. Sebagai petahana, modal suara pendukung Jokowi sebenarnya sudah di bawah 50%. Sejatinya ini warning. Bahkan ditengarai pasca konstelasi politik yang terjadi di pilgub DKI Jakarta, arus dukungan kepada Jokowi makin melemah. Ini akibat persepsi yang dibangun melalu frase “Ahok berbanding lurus Jokowi”. Adagium yang mengatakan Ahok dan Jokowi setali tiga uang, melahirkan satu kesimpulan, Ahok telah kalah maka Jokowi pun bisa menyusul setelahnya. Gelombang massa yang dibangun dengan rapi bernama 212 adalah ujian pertama Jokowi yang ternyata tidak mudah ditaklukkannya. Suara pendukung Jokowi pun berangsur turun di angka 45-an % yang angkanya mirip-mirip dengan perolehan suara Ahok di pilkada 2017 lalu.

Jauh-jauh hari Fahri Hamzah sudah menyampaikan, kegagalan Jokowi mempertahankan dukungan suara publik di atas 50% ada beberapa hal. Selain karena faktor yang tersebut di atas, menurut Fahri faktor lain yang menyebabkan dukungan suara Jokowi terjun bebas adalah karena di awal Jokowi memerintah, hanya sampai 12 bulan dia memikirkan rakyatnya sedangkan di bulan ke 13 sampai hari ini, yang ada di pikiran Jokowi adalah bagaimana memenangkan dirinya untuk periode kedua. Fahri Hamzah menambahkan, sejak tahun kedua di periode pertama berkuasa, Jokowi lebih sibuk berkampanye untuk dirinya, dibanding menyejahterakan rakyatnya atau melunasi janji-janjinya. Jokowi bagi-bagi sepeda, Jokowi bagi-bagi sembako, Jokowi bagi-bagi traktor, Jokowi bagi-bagi sertifikat. Semua terpusat pada Jokowi sebagai figur dan ini adalah cara-cara orang sedang berkampanye.

Kampanye Jokowi sebagai figur tidak sebatas itu saja, semua panggung dia coba kuasai. Jokowi naik motor gede di pembukaan Asian Games, Jokowi naik motor chopper berjaket Dilan, Jokowi naik motor trail di jalan trans Papua. Kenapa pilihan Jokowi selalu di atas motor? Sebab kalau di atas mobil nanti publik menanyakan apakabar esemka? Maka motor adalah pilihan aman untuk ditungganginya. Padahal Polri sudah menyatakan bahwa motor adalah kendaraan paling tidak aman dan beresiko besar mengakibatkan kematian saat terjadi insidental. Maklum, orang panik tidak pernah berpikir rasional.

Suara para pendukung Jokowi, khususnya yang terafiliasi ke Ahok, makin tergerus di saat pilihan pendampingmya untuk periode kedua adalah Kyai Maruf Amin yang tua renta. Banyak pengamat mengatakan ini sebenarnya adalah kepanikan Jokowi di titik bermula. Di saat yang lain panik di masa injury time, Jokowi sudah terlihat panik sejak kick off. Praktis jika dihitung, berdasarkan kronologis peristiwa di atas, Jokowi maju sebagai petahana hanya bermodal suara seadanya.

Ini jelas berbanding terbalik dengan yang dialami mantan presiden RI ke enam, Susilo Bambang Yudhoyono.

SBY dahulu bisa mudah memasuki periode kedua karena masih memiliki modal suara pendukung di atas 60%. Beruntung SBY tidak banyak melakukan blunder atau manuver-manuver yang menggerus suaranya untuk bertanding di periode kedua. Jika di periode pertama SBY melenggang dengan PD-nya, maksudnya dengan Partai Demokratnya, nah di periode ke dua SBY melenggang dengan PD juga, maksudnya dengan percaya diri, bukan mengandalkan PD alias Partai Demokrat lagi.

Malah di periode ke dua SBY menggandeng Budiono yang bukan tokoh partai, saking sudah PD-nya dan ternyata berhasil menang.

Mengapa SBY begitu pede memasuki pertarungan di periode ke dua? Jawabannya karena rakyat sudah percaya, semua yang dijanjikan di pemerintahan SBY berusaha dipenuhinya. Rakyat merasa aman, tidak ada persekusi di mana-mana. Bahkan beliau dihujat sana-sini pun tidak langsung main tangkap, beliau cukup bilang prihatin pada dirinya sendiri. Kegaduhan tidak banyak terjadi, rakyat sibuk berproduktivitas bukan terpolarisasi dengan jargon-jargon, semisal Saya Pancasila, berarti anda bukan, saya cebong anda pasti kampret, dan lain sebagainya. Tidak ada itu ditemui di masa SBY.

Anda mungkin bisa merasakan bagaimana iklim demokrasi di masa pemerintahan SBY benar-benar mendapat tempat semestinya. Sebagai demokrat tulen, SBY memberi ruang bagi kebebasan bersuara dan berekspresi kepada rakyatnya. Timbal balik dari rakyat karena SBY memberikan kebebasan bersuara dan berekspresi, rakyat pun memberikan kebebasan untuk SBY bersuara dan berekspresi hingga akhirnya SBY menelurkan 4 album suara emasnya. Tidak ada rakyat yang protes. Mengapa? Karena di masa itu rakyat masih bisa dijaga akal sehatnya, dirawat perasaannya, dipelihara halus budinya sebab memliki pemimpin berwibawa sekaligus pandai tarik suara.

Seandainya aturan undang-undang membolehkan SBY di periode ke tiga, mungkin rakyat masih akan memilihnya.

Berbeda dengan SBY yang pandai tarik suara, Jokowi ternyata hanya pandai di depan kamera. Biasanya orang yang pandai di depan kamera adalah aktor drama. Banyak yang percaya aktor drama itu semuanya pura-pura. Akting dan pura-pura itu serupa. Maka yang tiap hari ditampilkan Jokowi secara tidak sadar adalah kepura-puraan belaka. Pura-pura naik motor gede berjaket hitam, padahal ternyata stuntman negeri Siam. Pura-pura peduli di dalam tenda pengungsian, padahal sedang dishooting dengan settingan. Pura-pura ke lokasi gempa tapi setiba di sana malah ke laut menatap cakrawala. Pura-pura jadi imam sholat, makanya salah satu jamaah dicolek mundur dan disuruh pindah tempat. Pura-pura mengerti bahasa Al Qur’an, sampai doa untuk kemenangan penantangnya pun diaminkan.

Timbal balik kepura-puraan ini pun dibalas oleh pendukungnya dengan kepura-puraan pula. Misalnya, Didukung oleh alumni Universitas Indonesia yang pura-pura. Disangka pemikirannya Achtung tapi ketahuan wajah Cibitung. Belum lagi histeria emak-emak di depan pintu mobil yang jelas-jelas pura-pura dan mesti diulang karena belum hadap kamera. Bahkan terakhir yang goblog, pura-pura stroke cuma untuk memproduksi hoks.

Pemimpin yang berpura-pura dengan pendukung yang juga berpura-pura tentu melahirkan kebijakan pura-pura pula. Pura-pura dengan alasan kemanusiaan mau membebaskan Abu Bakar Ba’asyir, tapi digertak Australia langsung ngacir. Pura-pura ngoceh diserang propaganda Rusia, ternyata kubunya sendiri diampu konsultan manca. Pura-pura peduli petani tapi keran impor dibuka tanpa henti. Pura-pura gagah perkasa padahal membangun dari hutang bunga berbunga.

Kepura-puraan ini harus segera kita akhiri. Jika hari-hari kemarin banyak yang sebagian bersuara #UnInstallJokowi atau #ShutdownJokowi dan itu adalah upaya gerakan me-nol-kan Jokowi maka patutlah kita yang memimpikan perubahan menjadi bagian dari gelombang besar itu.

Gerakan ini bukan sekedar menurunkan pemimpin boneka yang pandai pura-pura tapi mengembalikan marwah sebuah bangsa yang dahulu dikenal otentik, orisinil, terdepan sebagai pembawa gerbong bangsa-bangsa menuju cita-cita besar dunia.

Gerakan me-nol-kan Jokowi bukan berarti menihilkan perannya dalam sejarah kepemimpinan bangsa. Nol adalah sebuah simbol selesai dan ucapan terima kasih serta kita memaafkan segala kekurangannya. Sementara kepada pemimpin baru kita menyambutnya dengan menyapa, “Mulai dari nol ya Pak!”

*) Penulis adalah Pelopor Gerakan Nol-kan Jokowi
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita