Waspadai Potensi Mobilisasi ASN Di Tahapan Pemilu 2019

Waspadai Potensi Mobilisasi ASN Di Tahapan Pemilu 2019

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 sudah tinggal menghitung bulan. Tahapan pelaksanaan Pemilu yang tengah berlangsung diwarnai berbagai pelanggaran, baik yang bersifat administrasi, pidana, maupun kode etik. 

Peneliti Seven Strategic Studies, Girindra Sandino memaparkan, berdasarkan laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI yang dirilis Senin (10/12) lalu, bahwa selama proses tahapan Pemilu telah terjadi 1.247 pelanggaran. Jenis pelanggaran yang paling mendominasi adalah masalah administrasi, yang mencapai 648 kasus atau 53 persen.

Selanjutnya disusul pelanggaran pidana tercatat 90 kasus atau 7 persen dan pelanggaran kode etik sebanyak 84 kasus atau 7 persen. Kemudian, pelanggaran di luar UU 7/2017 tentang Pemilu sebanyak 125 kasus atau 10 persen. 

"Pelanggaran tersebut terkait dengan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN)," jelas Girindra melalui siaran pers yang diterima redaksi, Rabu (12/12). 

Di tahapan kampanye pelanggaran terkait netralitas ASN paling banyak terjadi di Sulawesi Utara mencapai 18 kasus. Kemudian Sulawesi Barat 16 kasus, Jawa Tengah 10 kasus, Sulawesi Tenggara 8 kasus, dan Kalimantan Selatan tujuh kasus. 

Girindra menyebutkan, ada beberapa poin catatan Seven Strategic Studies terkait potensi mobilisasi ASN yang tidak tertutup kemungkinan akan terus terjadi di tahapan Pemilu 2019.

Pertama, terungkapnya beberapa kasus pelanggaran netralitas ASN oleh jajaran Bawaslu menunjukkan adanya penggerakan mobilisasi ASN yang dapat berpotensi massif di pelaksanaan tahapan pemilu 2019.

Kedua, pernyataan Mendagri Tjahjo Kumolo pada pertengahan November lalu bahwa kepala daerah diperbolehkan tidak netral dalam Pemilu 2019. 

Girindra mengingatkan, walaupun secara hukum tidak melanggar, dampak politik yang diakibatkan dapat ditanggapi sebagai sinyal permisif oleh jenjang struktural dan fungsional ASN hingga ke tingkat bawah secara sengaja maupun tidak untuk mengikuti pimpinannya, yakni kepala daerah.

ASN bisa diarahkan sesuai kehendak eksekutif daerah dengan menggunakan tangan kepala dinas, BUMD atau paling tinggi jabatan Sekretaris Daerah (Sekda). Bahkan, ASN bisa menjadi kekuatan nyata secara politik sesuai dengan kemampuan mengakomodir dari pemimpin.

Ketiga, lanjut dia, pengalaman pada Pemilu 2014 di mana banyak terjadi penyalahangunaan fasilitas negara dan jabatan serta Pilkada serentak 2018 lalu tercatat 721 kasus terkait netralitas ASN, menunjukkan rawannya birokrasi sebagai instrumen pemenangan Pemilu.

Berikutnya, sanksi yang kurang tegas kepada ASN yang terbukti memihak dalam Pemilu. Pemberian sanksi terbatas pada ASN bersangkutan dan tidak kepada calon peserta Pemilu.

Dan terakhir menurut dia, pelanggaran Pemilu yang dilakukan ASN kerap diikuti pelanggaran Pemilu lainnya, seperti money politics karena dinilai sangat efektif dan tepat sasaran dalam mendulang suara di basis kantong-kantong suara. [rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita