Reuni 212, "Warning" kepada Kelompok Anti Pancasila

Reuni 212, "Warning" kepada Kelompok Anti Pancasila

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Seiring dengan perjalanan umur dunia yang semakin tua, jumlah agama dan aliran kepercayaan semakin terpecah berkeping menjadi sangat banyak. Jika agama telah terpecah menjadi banyak sekte, maka aliran-aliran kepercayaan di dunia saat ini dapat diperkirakan berjumlah ribuan atau puluhan ribu.

Di Indonesia saja kini memiliki enam agama resmi (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu) dan 245 aliran kepercayaan yang terdaftar di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 (Wikipedia). Diperkirakan Indonesia dengan banyak suku dan 700 bahasa maka aliran kepercayaan yang tidak terdaftar masih banyak lagi.

Dengan melihat banyaknya perbedaan keyakinan di atas, Indonesia bisa disebut sebagai lahan paling subur tumbuhnya bibit radikalisme. Dengan realitas perbedaan diametral antar agama dan aliran kepercayaan maka sangat potensial untuk terjadi sentiment, konflik hingga peperangan.

Sebagaimana dalam pandangan psikologi sosial, bahwa potensi konflik terjadi dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan.

Namun faktanya Indonesia tetap utuh berdiri di atas kemajemukan itu. Alasannya, karena masyarakat nusantara, sudah terbiasa dengan munculnya keberagaman agama, keaneragaman suku bangsa, budaya, dan bahasa.

Bagi bangsa Indonesia perbedaan agama, suku, dan bahasa sudah final dan tidak perlu diperdebatkan dan dipertentangkan lagi. Kalau Indonesia mau pecah akibat gerakan radikalisme yang bernuansa agama, sejak dari dulu pecah berantakan. Artinya gerakan radikalisme berlatar belakang agama untuk melawan pemerintahan yang sah secara konstitusional di Indonesia sudah berakhir pasca pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dibawa pimpinan Kartosuwiryo yang tahun 1962. Sesudahnya hampir tidak ada lagi gerakan radikalisme yang mengatasnammakan agama. Hal ini disebabkan, karena umat Islam sebagai agama mayoritas sudah mulai menerima keragaman itu sebagai bentuk kepatuhan kepada dasar negara dan ideologi bangsa Pancasila. Hanya orang yang menggunakan logical fallacy memandang gerakan 212 yang melibatkan sampai jutaan umat muslim sebagai ancaman Pancasila.

Bahkan menurut pemimpin tertinggi Al-Azhar Prof. Dr. Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb, agama Islam di Indonesia telah menjadi agama kemanusiaan secara universal. Bangsa Indonesia telah mampu menyingkap khazanah keislaman yang suci serta nilai-nilai hukum Islam dan akhlaknya dengan mewujudkan nilai keadilan, persamaan, dan sikap terbuka kepada orang lain.

Kondisi ini kemudian mendapatkan justivikasi dari gerakan aksi damai jutaan umat Islam tangal 4 November yang kemudian berlanjut pada tangal 2 Desember 2016 lalu, yang terkenal dengan gerakan 411 dan 212.

Setelah genap dua tahun, gerakan moral ini sama sekali tidak padam, bahkan nyala semangat kolektivitas sosialnya semakin membara membakar setiap kalbu. Tengoklah acara reuni 212 tanggal 2 Desember 2108 di Monumen Nasional yang diperkirakan dihadiri 11 juta umat muslim.

Kehadiran 11 juta umat muslim Indonesia yang datang dari segala penjuru nusantara ini pada dasarnya itu bukan unjuk kekuatan kepada pemerintahan Indonesia yang konstitusional, tetapi itu warning besar kepada kelompol yang anti Pancasila. Kelompok yang sok pancasilais dengan mencoba mengusik kelompok mayoritas Islam. Dalam konteks global, reuni 212 ini adalah warning kepada negara mana saja yang mempunyai niat atau pemikiran ingin memecah belah bangsa Indonesia.

Jangan permah coba-coba mengusik eksistensi bangsa Indonesia, karena pasti akan berhadapan dengan kelompok Islam yang siap mengorbankan jiwanya untuk bangsanya. Jadi kalau ingin hidup tenang di bumi Indonesia yang kaya raya ini, bersikap adillah kepada kelompok mayoritas, jangan mengganggunya apalagi mengusiknya. [swa]


*) Penulis adalah Direktur Sipil Institute

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA