Arus Massa Reuni Mengalir Sejak Malam, Bisa Lebih Besar Dari Aksi 212

Arus Massa Reuni Mengalir Sejak Malam, Bisa Lebih Besar Dari Aksi 212

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


Oleh Hersubeno Arief

GELORA.CO - Kalau melihat arus manusia menuju Monas pada Sabtu malam, Reuni 212 kali ini bisa lebih besar, atau setidaknya sama dengan Aksi 212 tahun 2016.

Jalanan di seputar Monas, Jalan Merdeka Utara, Selatan, Barat, dan Timur sudah mulai macet, pasca salat maghrib. Padahal pada malam minggu, kawasan Jakarta biasanya relatif lengang. Ratusan mobil pribadi, banyak di antaranya dengan nomor polisi luar Jakarta, berjejal di area parkir.

Arus kafilah dari arah Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang, Serpong, Serang, dan Rangkasbitung malam ini pada pukul 22.00 sudah menumpuk di Stasiun Tanahabang, Juanda, dan Gondangdia. Ketiga stasiun KRL itu merupakan stasiun terdekat menuju Monas.

Setiap kereta yang tiba dipenuhi massa kafilah. Sangat susah untuk keluar, maupun masuk pintu stasiun.

Pada Aksi 212 tahun 2016, masa baru menyemut di Stasiun Tanahabang, Juanda, dan Gondangdia setelah salat subuh dan pada pagi hari.

Malam ini, di Monas massa juga sudah banyak yang hadir, sejak sore. Banyak yang berasal dari luar kota. Pada pukul 22.00 petugas memerintahkan para peserta untuk keluar dan boleh kembali lagi pada pukul 02.00 dinihari.

Petugas dari kepolisian dan TNI memenuhi areal di depan Istana. Puluhan truk dan mobil dinas dan pribadi milik petugas memenuhi areal arah belakang panggung utama.

Di depan panggung utama pasukan pengawalan dari berbagai relawan sudah melakukan apel pengamanan dipimpin Panglima FPI Munarman.

Di depan panggung utama berdiri tenda-tenda besar yang disiapkan untuk tamu istimewa. Mereka adalah para penyandang disabilitas, dan tamu undangan non muslim.

"Tahun ini kami menyiapkan tempat khusus yang istimewa, untuk tamu istimewa," kata aktivis Neno Warisman dari seksi acara.

Di Monas tenda-tenda posko berwarna putih berderet-deret. Ada posko panitia dan keamanan relawan, posko kesehatan, logistik, komunikasi, sampai posko emak-emak yang akan bertugas membersihkan Monas pasca aksi.

Hotel-hotel dalam radius terdekat empat penjuru semua penuh di-booking peserta reuni. Mereka tidak hanya datang dari berbagai kota di Indonesia dan kota-kota dunia. Mereka mengaku sudah menunggu-nunggu hari reuni.

Tiyar seorang perempuan Indonesia yang tinggal di Tuscany, Italia mengaku sengaja pulang ke Indonesia untuk menghadiri reuni. Dia tidak kebagian hotel, padahal sudah memesan sejak sepekan lalu.

Untungnya dia masih punya apartemen di sudut kota Jakarta.

Penuhnya hotel pada akhir pekan di Jakarta merupakan anomali. Biasanya pada akhir pekan hotel di Jakarta relatif lebih kosong dan harganya turun. Warga lebih memilih ke luar kota seperti ke kawasan Puncak, Bogor, atau ke Kota Bandung.

Seperti berbagai Aksi Bela Islam (ABI) dan reuni pada 2017 suasananya mengingatkan kita pada jamaah haji yang berbondong-bondong menuju Arafah dan Mina pada musim haji. Warna putih mendominasi kawasan Monas dan sekitarnya.

Bedanya kafilah tidak melantunkan takbir, tahmid, dan tahlil. Mereka melantunkan salawat dan puja-pujian kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Kebetulan reuni kali ini bersamaan dengan bulan Maulud, bulan kelahiran Muhammad SAW.

Suasananya mulai terasa di sejumlah stasiun awal di Bekasi, Bogor dan Depok. Suasana serupa juga sudah terasa di stasiun Rangkasbitung, Banten. Penumpang dari Rangkas biasanya bisa duduk. Kali ini harus rela berdiri berdesakan. Wajah-wajah muda ceria, mendominasi kafilah Banten.

Para kafilah tak perlu khawatir soal logistik, karena makanan dan minuman melimpah. Mereka dengan suka cita berbagi. Benar-benar sebuah kebersamaan, keceriaan, kebahagian, sesuai namanya reuni.

Melihat antusiasme kafilah, menarik untuk dipertimbangkan kegiatan ini bisa menjadi agenda tahunan. Semacam festival tahunan terbesar umat Islam Indonesia, dan dunia.

Potensi ekonominya sangat besar. Penuhnya hotel-hotel, diborongnya restaurant oleh para dermawan dan melimpahnya makanan dan minuman, dipastikan menggerakkan ekonomi kota Jakarta.

Belum lagi berbagai pernak-pernik souvenir yang dijual pedagang kaki lima. Mulai dari topi,kaus, syal, sampai bendera tauhid yang dijual di sekitar arena.

Semua itu sangat membantu menggerakkan ekonomi dan menghidupkan industri perhotelan, makanan dan minuman, garment dan UMKM.

Tidak pada tempatnya polisi, apalagi TNI dikerahkan secara besar-besaran untuk memberi stigma tidak aman.

Kehadiran pasukan dalam jumlah besar akan menimbulkan persepsi Jakarta dan Indonesia tidak aman, dan membuat investor takut masuk ke Indonesia.

Padahal dunia sudah mencatat bahwa hanya di Indonesia umat Islam berkumpul dalam jumlah jutaan, dan tak satupun rumput yang rusak terinjak.

Sungguh itu merupakan potensi besar yang seharusnya bisa dikapitalisasi oleh pemerintah, sebagai daya tarik dan keistimewaan Indonesia.

Penulis adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik

[rmol]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA