Yusril: Jadi Kuasa Hukum Jokowi Bukan Putusan Ideologi, Tapi Masyarakat Terlalu Reaktif

Yusril: Jadi Kuasa Hukum Jokowi Bukan Putusan Ideologi, Tapi Masyarakat Terlalu Reaktif

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Manuver Ketua Umum Partai Bulan Bintang, Prof Yusril Ihza Mahendra belakangan ini menjadi sorotan umat Islam. Mantan Menteri Hukum dan HAM ini sebelumnya tercatat sebagai kuasa hukum organisasi kemasyarakatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi yang diubarkan pemerintahan Presiden Jokowi. Terbaru, Yusril justru memutuskan menjadi kua­sa hukum duet capres-cawapres Jokowi-Ma'ruf Amin.

Menurut Yusril, apa yang di­lakukannya adalah bagian dari perjuangannya menegakkan nilai-nilai demokrasi. Berikut pernyataan Yusril seputar beber­apa isu yang menerpa dirinya; 

Anda mengatakan, manu­ver yang Anda lakukan saat ini bagian dari menegakkan nilai-nilai demokrasi. Bisa dijelaskan? 

Ya sebenarnya demokrasi itu merupakan sistem yang tidak sempurna. Tapi dalam sejarah perkembangan intelektual ma­nusia, kita belum menemukan sebuah sistem yang lebih baik dibandingkan sistem demokrasi itu sendiri. Memang kenyataan­nya demokrasi sangat menyulit­kan. Mesti ada pemilu begini dan begitu mungkin diktator lebih cepat. Namun, di mana pun yang namanya diktator mesti buruk. Tapi demokrasi yang kita ang­gap sejalan dengan masyarakat kita, sekiranya dalam pelaksan­annya sangat dipengaruhi oleh pemikiran Arab, Islam, maupun Barat. 

Tapi saya berpendapat, demokrasi ini terus menerus se­bagai sebuah sistem. Jadi harus kita revisi dan perbaiki demi meningkatkan kualitas dalam kehidupan bernegara di Tanah Air kita ini. 

Tapi sebelumnya kenapa Anda mau membela HTI yang notabenenya kerap meng­gaungkan paham khilafah ketimbang demokrasi?

Saya membela HTI bukan berarti saya setuju dengan pa­ham tersebut. Saya banyak baca buku Syekh Taqiuddin dan begitu banyak saya men­dalaminya. Jadi tidak semua pikiran-pikiran khilafah saya setuju. Akan tetapi ketika HTI dizolimi, saya berkewajiban membela mereka. Bahkan saya terus bela sampai hari ini. 

Dengan dua pandangan (demokrasi dan khilafah), Anda tidak khawatir bakal terjadi konflik cara berpikir. Sekarang kan Anda jadi kua­sa hukum Jokowi-Ma'ruf Amin?

Meskipun saya jadi kuasa hukum Pak Jokowi-Ma'ruf, namun saya tetap jadi kuasa hukum HTI. Saya menilai tidak ada konflik of interest antara keduanya. Karena yang kami gugat, dalam hal ini HTI ada­lah Menteri Hukum dan HAM sebagai legal entity. Sedangkan pejabat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) itu bisa digugat kalau mengeluarkan keputusan TUN yang bersifat final dan tidak memerlukan persetujuan atasannya. 

Di satu sisi saya menjadi pihak pengacara Pak Jokowi-Ma'ruf sebagai paslon bukan sebagai presiden. Presiden juga bisa saja karena Menkumham sudah merupakan legal entity tersend­iri. Terkadang masyarakat tidak paham hal-hal seperti ini tapi langsung bereaksi keras sep­erti saat ini. Jadi saya maklum sajalah. 

Beberapa kalangan yang sebelumnya mendukung Anda saat ini justru kecewa lantaran Anda mau menjadi kuasa hukum Jokowi-Ma'ruf Amin. Bagaimana itu?

Ya karena tidak setuju saya jadi kuasa hukum (Jokowi-Ma'ruf) sehingga melihat saya seperti musuh saja. Bahkan, sudah ada yang mengeluarkan fatwa darah saya halal disem­belih dan segala macam. Ini kan jadi aneh. 

Jadi, menurut saya politik itu melihatnya harus dengan cerdas. Seseorang itu bisa saja mengam­bil keputusan dan keputusan itu dilihat sebagai keputusan strate­gis. Tentunya pertimbangan-per­timbangan politik dan ideologi berbeda, namun kita bisa saling menghormati. Apalagi tidak ada masalah ideologi. Ini hanya masalah praktis dan masalah pertimbangan. 

Terlebih seorang advokat harus bekerja dengan kode etik dan undang-undang advokat. Jadi ini bukan ideologi melainkan masalah profesional dan pertimbangan-pertimbangan praktis saja. 

Oh ya dalam waktu dekat PBB akan menggelar rapat kerja nasional (rakernas). Apa saja yang dibahas?

Banyak hal yang dibahas antara lain terkait dengan strate­gi menghadapi pemilu. Mungkin juga isu saya jadi pengacara Pak Jokowi dibahas dalam Mukernas. Beberapa waktu lalu, di Bandung dihadiri 1.000 orang terdiri dari para caleg PBB dan pengurus PBB se-Jawa Barat. Masalah ini saya jelaskan sejelas-jelasnya. Setelah itu bisa dikatakan ham­pir tidak ada lagi perdebatan yang substansial. [rmol]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA