Sisi Lain Keterangan Dahnil, Kenapa Menpora dan Ansor Bungkam?

Sisi Lain Keterangan Dahnil, Kenapa Menpora dan Ansor Bungkam?

Gelora News
facebook twitter whatsapp

SISI LAIN KETERANGAN DAHNIL

Berbeda dengan peristiwa pengembalian uang bibit jagung, pengembalian uang 2 milyar rupiah dari Pemuda Muhamadiyah kepada Kemenpora mengungkap sisi lain soal cara pemerintah menangani potensi konfli horizontal di tengah keterbelahan masyarakat.

Sebelum bicara sisi lain, simak dulu sisi fakta yang keluar dari pernyataan Dahnil Anzar. September 2017, Dahnil ketum Pemuda Muhamadiyah dan Gus Yaqut Ketum GP Ansor diundang oleh Menpora Imam Nahrawi.

Tujuan pertemuan itu, untuk meminimalisir konflik horizontal dan menepis isu kriminalisasi ulama. Menpora ingin menyatukan secara simbolik dua basis pemuda yang mewakili NU dan Muhammadiyah. Menpora menawari GP Ansor dan Muhammadiyah bikin kegiatan bersama.

Karena berdasarkan UU kepemudaan usia Dahnil yang sudah 35 tahun itu tidak memenuhi syarat mewakili pemuda, ditunjuklah salah satu ketua Pemuda Muhammadiyah, Ahmad Fanani.

Berdasarkan permintaan Kemenpora, maka diajukanlah proposal untuk kegiatan tablgih akbar di beberapa kota dan tentu saja sekalian untuk biaya memobilisasi massa. Pemuda Muhammadiyah dikasih duit 2 milyar, GP Ansor yang massanya lebih banyak dapat 3,5 milyar rupiah.

Baca Juga:   Denny JA Resmi Menjadi Surveyor Pelacuran
Walaupun Kemenpora tahu duit 2 milyar dan 3,5 milyar itu untuk kegiatan tabligh akbar di beberapa kota, tapi rupanya Presiden Jokowi punya agenda berbeda. Maka tentu saja Kemenpora memilih agenda presiden, yakni apel bersama Pemuda Muhammadiyah dan GP Ansor di Prambanan yang akan dihadiri oleh Presiden Jokowi. Singkat cerita, acara itu berlangsung sukses dari segi penyelenggaraan. Soal apakah berdampak pada keterbelahan masyarakat, kayanya nggak ngefek tuh.

Bisa jadi bukan soal ngefek dan tidak ngefeknya i tujuan utama acara itu. Barangkali saja kedepannya sebagaimana GP Ansor yang berada di barisan pemerintah Jokowi, Pemuda Muhammadiyah juga akan ikutan.

Tapi rupanya sejarah berkata lain. Walaupun Pemuda Muhammdiyah tidak berpolitik, tapi nama Dahnil Anzar sudah lekat dengan Pemuda Muhammadiyah seperti tidak bisa dipisahkan. Dahnil atas nama pribadi memilih berada di barisan Prabowo.

Selanjutnya, Dahnil tidak lagi menyebut-nyebut kegiatan tabligh akbar yang dibanderol 2 milyar rupiah itu. Bisa diartikan, acara itu batal. Lha, kalau Pemuda Muhammadiyah mengembalikan uang 2 milyar, berarti mobilisasi massa Pemuda Muhammadiyah pada acara apel di Prambanan itu, Pemuda Muhammadiyah mengeluarkan dari kocek sendiri dong?

Tentu saja keterangan ini belum lengkap kalau GP Ansor dan Menpora belum kasih keterangan resmi. Agak aneh memang, dalam kasus ini kan mestinya polisi juga memanggil Menpora dan GP Ansor. Entahlah. Satu hal yang pasti, media mainstream sudah tabayun dengan Dahnil walaupun dalam pemberitaan ada yang sengaja disembunyikan. Dahnil sudah kasih keterangan. Media yang biasanya cari informasi dari berbagai sumber ,lari sana lari sini. Kali ini nampaknya seperti malas bertanya pada Menpora dan GP Ansor.

Maka satu-satunya jalan untuk melengkapi cerita Dahnil, kita tunggu keihklasan Menpora dan GP Ansor memberaikan sedekah keterangan agar cerita ini jadi lebih lengkap dipandang dari sudut camera yang pas, gitu.

Sekarang sisi lainnya. Cara pemerintah menangani potensi konflik di tengah keterbelahan masyarakat nampaknya masih bermain simbol. Dua kekuatan ormas Islam, NU dan Muhammadiyah masih dibutuhkan hanya sebatas simbol.

Dua kekuatan umat Islam ini memang bisa diandalkan untuk kepentingan kedamaian umat. Makanya tidak heran sewaktu ada perbedaan pandangan soal bendera yang dibakar oleh Banser, NU bilang yang dibakar bendera HTI, Muhammadiyah bilang bendera tauhid.

Wapres JK cepat ambil langkah, mengumpulkan dua kekuatan itu, bikin pernyataan yang menghilangkan kata lain sesudah kata bendera. Tidak ada lagi kata kalimat tauhid atau HTI. Cukup menyebut bendera saja.

Tidak cukup sampai disitu, NU menyambangi Muhammadiyah buat bikin pernyataan bersama, melawan radikalisme! Cuma soalnya, kelompok mana yang layak disebut memegang isme radikal, kedua ormas Islam besar itu nampaknya masih punya pandangan berbeda.

Sudah menjadi rahasia umum, di samping dua kekuatan secara struktural NU dan Muhammadiyah, ada satu kekuatan di akar rumput yang tidak bisa dipandang sebelah mata, yakni kekuatan ketiga, PA 212. Makanya tidak heran, dalam kasus pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid, walaupun NU dan Muhammdiyah sudah bikin pernyataan bareng di rumah Wapres JK, NU dan Muhammadiyah sudah bikin pernyataan bareng di kantor Muhammadiyah, tapi tetap saja umat yang “bandel” masih berdemo di lapangan.

PA 212 adalah perpaduan NU dan Muhammadiyah di akar rumput. Akar bawah yang tetap sami’na wa atho’na pada para ulama dari kedua ormas besar itu, tapi dari pandangan politik keumatan punya pandangan sendiri yang berbeda dari induknya.

Setelah dibikin kaget dengan tumpleknya jutaan umat di Monas saat aksi 212, SAS mengklaim bahwa yang hadir pada aksi 212 mayoritas warga NU. Makanya tidak heran waktu itu NU dan Muhammadiyah wanti-wanti agar yang ikut demo tidak membawa atribut NU dan Muhammadiyah.

Kekuatan ketiga ini yang kerap dicurigai sebagai “sarang” radikalisme. Dan nampaknya pemerintah sengaja menjauhi kelompok ini. Ditambah lagi kekuatan ketiga ini secara politik berada di barsian Prabowo. Lengkap sudah.

Pendekatan pemerintah hanya pada kelompok yang terang-terangan mendukungnya. Belum lama ini Presiden Jokowi menghadiri maulid Nabi yang diselenggarakan GP Ansor. Presiden menitipkan kepercayaan penuh pada GP Ansor yang dianggap sebagai satu-satunya kekuatan pemuda Islam yang bisa menjaga NKRI, dan membendung idelogi impor. Tentu saja yang dimaskud ideologi impor adalah khilafah.

Bagaimana dengan Pemuda Muhammadiyah? Apakah tidak dianggap bisa menjaga NKRI? Tentu saja sangat bisa. Cuma soalnya, Dahnil ada di barisan Prabowo. Maka bisa dipastikan, apel bersama di Prambanan itu sia-sia. Itu !


Penulis: Balya Nur
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita