HRS dalam Pusaran Spionase di Arab Saudi

HRS dalam Pusaran Spionase di Arab Saudi

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh: Sugito Atmo Pawiro SH, 
Pengacara Habib Rizieq Shihab

Upaya pembunuhan karakter (character assassination) terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS) belum juga surut. Meski Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) itu kini bermukim di Arab Saudi bersama keluarga, berbagai usaha sengaja atau intensi jahat dari pihak tertentu untuk membenamkan HRS dari keleluasannya dalam mendelegitimasi lawan politiknya. Aksi yang bergelimang dalam kenistaan dengan beragam skenario keji baik secara acak maupun sistematis terus berkelanjutan.

Seolah tiada akhir dari drama miris yang didesain untuk menjatuhkan moral seorang HRS, kecuali para pelakunya mencapai tujuan nista itu.

Senin tanggal 5 November 2018 lalu, misalnya, kembali ada upaya menjebak seorang HRS di Arab Saudi. Diberitakan bahwa polisi dan intelijen Saudi (Mabahis Ammah) mendatangi rumah Habib Rizieq lalu membawanya ke kantor polisi wilayah Makkah untuk menjalani pemeriksaan. Kabar ini dikuatkan dengan pernyataan pers Dubes RI untuk Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel melalui siaran persnya tertulis bertajuk 'Berita Penangkapan Habib MRS'.

Drama keji yang kembali terjadi di Arab Saudi ini seakan melengkapi keanehan, kejanggalan dan kekonyolan proses hukum dalam kasus chat porno tahun lalu yang berbasiskan laporan absurd dan fitnah melalui situs abal-abal, www.baladacintarizieq.com.

Tidak diketahui dengan pasti apakah kedua kasus ini berkaitan dengan pelaku yang sama, dan apakah juga bertujuan yang sama untuk menjatuhkan pengaruh HRS terhadap umat Islam dari kiprahnya yang dianggap menggerus legitimasi politik kekuasaan di tanah air? Yang pasti HRS kembali dijebak dengan aksi banal kejahatan di negeri orang.


Jebakan Makan Tuan

Drama beralas fitnah ini bermula dari adanya laporan telepon dari seseorang ke Kepolisian Makkah bahwa di kediaman HRS didapati poster berbentuk bendera pergerakan ISIS (Islamic State of Iraq and Syriah). Simbol terlarang yang menempel di dinding rumah HRS itu kemudian dipotret seseorang sebelum dilaporkan ke polisi setempat.

Tidak sampai disitu saja, foto itu lalu dikirim ke Indonesia dan diunggah lewat media sosial sehingga menjadi viral dan mengundang heboh.

Gayung bersambut, para penghujat HRS di tanah air dan pendukung kelanggengan kekuasaan pun mengeksploitirnya sebagai bahan ejekan dan cemooh.

Di antara mereka ada yang menyimpulkan di ruang publik bahwa tokoh besar pendiri FPI itu adalah tokoh ISIS. Pelaku cemoohan ini layak dilabeli satu kata: biadab!

Untung saja, intensi kejahatan tidak selalu dapat disembunyikan. Lebih diuntungkan lagi bahwa Kepolisian Kerajaan Arab Saudi bukanlah aparatur tukang plintir; bukan pula perekayasa kasus hukum untuk tujuan politik.

Itulah sebabnya jika kemudian penyelidikan oleh kepolisian setempat menemukan kejanggalan dari pemasangan poster tersebut. Polisi Arab Saudi lantas berkesimpulan bahwa HRS adalah korban fitnah yang dilakukan seseorang, dan atau sekelompok orang, dengan menempelkan poster ISIS di kediamannya. Pengakuan HRS dalam pemeriksaan di kepolisian pun menguatkan kesimpulan tersebut.

Kepolisian Kerajaan Arab Saudi demi keadilan hukum mendorong HRS untuk menyampaikan laporan kejahatan yang menimpa dirinya sebagai dasar penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus ini. Polisi Saudi kini memburu pelaku penempel poster, pengambil gambar (foto) HRS sedang diperiksa polisi, lalu menyebarkannya ke Indonesia.

Bagi pemerintah Kerajaan Arab Saudi tindakan pelaku yang demikian itu adalah tindakan spionase yang menampar kewibawaan kerajaan dan merupakan pelanggaran hukum amat berat. Kini jelas sudah, pelaku penjebakan dan fitnah keji terhadap HRS terancam terperangkap dalam jebakan yang dibuatnya sendiri.

Pertanyaan sederhana adalah siapakah pelakunya? Adakah orang Arab Saudi yang berkepentingan menebar fitnah dan menjebak HRS agar dimatikan kiprahnya?

Pemerintah Indonesia seperti tampil sebagai superhero ketika kasus ini mencuat. Dubes RI untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel seolah mendapat panggung dengan mengatakan kabar yang kabur. Agus mengatakan bahwa HRS benar ditangkap polisi. Lantas dalam 1x24 jam pihak

Kedubes, katanya, berhasil membebaskan HRS tanpa jaminan melainkan dengan lobi. Dikesankan seolah HRS bersalah dan benar ditahan kepolisian. Agak aneh memang, lagak Dubes RI ini lebih antusias dalam merespons kasus HRS dari pada berusaha mendapatkan mandatory consular notification dari Pemerintah Arab Saudi terkait ancaman hukuman mati terhadap warga Indonesia, Muhammad Zaini Misrin Arsyad yang telah dihukum pancung di Arab, Maret lalu.

Celakanya cerita sang dubes bertolak belakang dengan realita atau kisah yang sejatinya. Bahwa sebenarnya HRS bukan ditangkap melainkan dimintai keterangan oleh kepolisian. Tidak heran jika kritik dialamatkan kepada sang dubes yang dianggap tidak professional dan tendensius.

Dubes RI untuk Saudi Arabia ini menampilkan kesan kuat sebagai seorang birokrat partisan, sama sekali bukan seorang diplomat profesional.

HRS yang disimbolkan sebagai penggerak umat Islam dalam melakukan aksi 212 dan juga tokoh oposisi rezim Jokowi ini, oleh sang dubes dipersepsikan sebagai tokoh bermasalah di Saudi Arabia.

Untung saja kebenaran terkuak berkat proses fair play kepolisian di Arab Saudi dan dari pernyataan resmi Dubes Arab Saudi untuk RI di Jakarta, bahwa HRS adalah korban skenario busuk penebar fitnah di Arab Saudi.  Dubes Agus pun akhirnya lebih condong mengemban tugas untuk memuluskan apiliasi politiknya ketimbangkan melindungi anak bangsa ini di luar negeri. Benar-benar kerja diplomatik yang mubazir.


Aksi Spionase oleh Siapa?

Lantas jika kembali ke pertanyaan di atas ihwal siapa pelakunya, maka jawabannya pun sebenarnya mudah diduga. Tentu saja tidak dengan menyebut aktor lapangan dari penebar fitnah ini. Tidak perlu juga menyebutkan institusi resmi yang memainkan praktik busuk ini. Akan tetapi praktik fitnah keji di Arab Saudi ini menyemburatkan kesan sebagai aksi spionase yang terencana dan bersasaran untuk membunuh karakter korbannya.

HRS jika di Indonesia adalah tokoh potensial dan aktual yang dapat mempengaruhi legitimasi kekuasaan. Di belahan negara lain, aksi spionase jamaknya dilakukan institusi resmi untuk memata-matai tokoh sekaliber HRS. Segala upaya ditempuh untuk mendapatkan informasi tanpa persetujuan pihak mana pun. Aksi mengambil gambar (foto) dari jarak jauh ketika HRS diperiksa Kepolisian Sektor Musyarah di Makkah menunjukkan karakteristik sepak terjang spionase.

Di banyak negara, aksi spionase serupa ini tidak hanya menargetkan tokoh yang berseberangan tetapi juga tokoh aliansi mereka.

Pemerintah Indonesia serta merta menyangkal kritikan dan spekulasi yang menyebutkan bahwa kasus HRS di Arab Saudi ini merupakan bentuk aksi intelijen. Bantahan ini sah-sah saja namun tidak menghapuskan kesan akan kemungkinan praktik spionase memuncak dengan sasaran diri HRS.

Kesan ini diperkuat dengan realitas bahwa HRS diperkirakan akan kembali ke tanah air untuk memimpin aksi Reuni 212 pada tanggal 2 Desember 2018 di Jakarta. Aksi ini jika berlangsung akan menjadi momentum untuk mendegradasi popularitas politik petahana dalam suasana hangat kampanye Pilpres 2019.

[rol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita