Halaqah Ulama Kedua, Ma’ruf Amin Jadi Cawapres Salahi Aturan Nahdliyin

Halaqah Ulama Kedua, Ma’ruf Amin Jadi Cawapres Salahi Aturan Nahdliyin

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Majunya Ma’ruf Amin sebagai Cawapres pada Pilpres 2019, ternyata menyalahi Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama (AD/ART NU). Karena itulah, sekitar 90 ulama dan anak cucu pendiri NU menggelar halaqah (pertemuan) kedua di rumah KH Hasib Wahab Chasbullah.

Pertemuan berlangsung di Ponpes Chasbullah Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Rabu (14/11/2018). Dalam pertemuan, para ulama sepakat menjadikan Komite Khittah Nahdlatul Oelama (NO), sebagai wadah berkumpulnya para ulama dan keturunan pendiri NU.

Kecuali itu peserta juga sepakat menyerukan agar PBNU menggelar Muktamar Luar Biasa (MLB) NU. Komite Khittah dipimpin Pengasuh Ponpes Tebuireng, Jombang, KH Salahuddin Wahid (Gus Solah).

Adik kandung almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu akan dibantu KH Hasib Wahab, DR. Nasikhin Hasan, Prof. Ahmad Zahroh, Gus Fahmi Hadzik, KH Hasyim Karim dan KH Agus Solahul Aam Wahib.

Pembentukan Komite Khittah NO ini, menurut KH Choirul Anam, akan dimintakan restu dan doa ke para ulama sepuh NU. Terutama ke Kiai Maimun Zubair dan Kiai Mustofa Bisri dari Rembang, serta Kiai Tholhah Hasan.

Komite ini, lanjut mantan Ketua DPW GP Ansor Jatim yang akrab dipanggil Cak Anam itu, targetnya melaksanakan khittah NU. Karena, selama ini, pelaksnaannya merasa tidak pernah diberi contoh oleh para petinggi di Pengurus Besar (PB) NU.

“Contohnya dalam anggaran dasar NU, Rais Aam PBNU tidak boleh mencalonkan diri dan dicalonkan dalam jabatan politik apapun. Tapi, ini tidak berlaku bagi Kiai Ma’ruf Amin,” ujar Cak Anam usai halaqah, seperti dilansir Surya.co.id, Rabu (14/11/2018).

Dijelaskan, dalam anggaran dasar NU, jabatan Rais Aam PBNU hanya boleh digantikan oleh wakilnya jika berhalangan tetap. Namun, aturan organisasi itu tidak berlaku pada kasus KH Ma’ruf Amin yang maju sebagai cawapres pasangan Joko Widodo.

Menurut dia, mekanisme penggantian Ma’ruf oleh KH Miftkhul Akhyar sebagai Rais Aam menabrak anggaran dasar NU. “Karena Ma’ruf Amin tak berhalangan tetap, tapi mencalonkan diri sebagai cawapres,” imbuh Cak Anam.

Ia lantas mencontohkan, saat KH Mustofa Bisri menggantikan kedudukan KH Sahal Mahfudz sebagai Rais Aam PBNU periode lalu. “Saat itu Kiai Sahal wafat yang berarti berhalangan tetap, sehingga digantikan KH Mustofa Bisri,” lanjut Cak Anam.

Karena itulah, kata Cak Anam, para ulama NU peserta halaqah akan mengimbau ke PBNU agar menggelar Muktamar Luar Biasa (MLB) NU. Muktamar tersebut untuk memilih Rais Aam yang baru.

“Kami mengimbau kepada PBNU untuk segera memanggil seluruh ulama dan pengasuh pesantren se Indonesia untuk mengangkat Rais Aam yang baru,” tegasnya. Tak hanya itu, pihaknya juga akan mempertanyakan langkah Jokowi yang memilih Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya pada Pilpres 2019.

“Jokowi dan 9 partai pengusungnya, lebih-lebih PKB, mereka pasti paham kalau ada larangan rais aam dicalonkan maupun mencalonkan diri dalam jabatan politik. Ini mau kami tanyakan, apa sesungguhnya maunya Presiden, kok nyomot begitu saja,” tandasnya.

Halaqah Ulama NU ke-2 ini adalah kelanjutan dari halaqah sebelumnya di Ponpes Pesantren Tebuireng, Jombang, 24 Oktober 2018 lalu. Dalam halaqah kedua ini, hadir pengasuh Ponpes Tebuireng KH Salahuddin Wahid serta KH Suyuti Toha dari Banyuwangi.

Kemudian, KH Nasihin Hasan dari Jakarta, KH Maimun dari Sumenep, Kiai Muzamil dari Jogjakarta, serta Tengku Bulkaini dari Aceh. Ada pula Musthofa Abdullah dari Bogor serta Endang Muttaqin dari Tangerang, beberapa kiai lainnya dari sejumlah daerah di Indonesia.

Peserta pertemuan juga menyepakati untuk digelar pertemuan lanjutan di tempat lain, bulan depan. Dengan digaetnya Ma’ruf Amin sebagai tokoh dan ulama NU sebagai cawapres, hal ini akan membuat sedikit sulit bagi paslon Prabowo Subianto – Sandiaga Uno.

Pengaruh Ma’ruf Amin di struktural pengurus NU tentunya masih sangat kuat. Terbukti, atas nama warga NU yang datang ke rumahnya menyatakan dukungannya kepada paslon Jokowi – Ma’ruf. Pada umumnya, ulama struktural NU condong ke paslon ini.

Berbeda dengan ulama kultural NU yang lebih memilih mendukung paslon Prabowo – Sandi  daripada Jokowi – Ma’ruf. Pasalnya, selama kepemimpinan Said Aqil Siradj dan Ma’ruf, NU lebih cenderung “bermain politik” ketimbang mengurusi umat Islam.   

Menurut para dzurriyah muassis (anak cucu pendiri) NU, politisasi organisasi NU semakin hari semakin masif. Apalagi ada yang secara terbuka mengkampanyekan paslon Jokowi – Ma’ruf.

Ketua NU Garis Lurus, KH Luthfi Bashori Alwi menilai, NU yang ada saat ini telah banyak menyimpang, terutama di tingkat struktural. Mereka secara terang-terangan berdakwah dan menyeru mendukung paslon KoRuf pada Pilpres 2019.

Jadi, “Ini sudah melanggar AD/ART NU, apalagi berdakwah menggunakan fasilitas PBNU. Mereka sudah keluar dari khitthah NU,” ujar Luthfi Bashori, seperti dilansir Nusantara.News, Rabu (24/10/2018).

Itulah yang melatarbelakangi digelarnya halaqah nahdliyah khitthahdi Ponpes Tebuireng asuhan KH Salahuddin Wahid, Jombang, Rabu (24/10/2018). Tujuannya, mengembalikan NU pada jalan yang benar.

“Jalan yang bersih dari kepentingan politik praktis. NU jangan sampai jadi alat untuk merebut kekuasaan seperti yang saat ini terang-terangan dilakukan elite NU di tingkat struktural,” kata Kiai Luthfi Bashori.

Hadir dalam halaqah nahdliyah khitthah KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) sebagai sohibul bait, KH Hasib A Wahab Chasbullah (Gus Hasib) dari Ponpes Tambakberas. Hadir juga KH Agus Solachul A’am Wahib Wahab (Gus A’am).

Ada juga Gus Rozaq, KH A Wachid Muin, KH Muhammad Najih Maimoen dari Sarang, KH Abdul Zaini dari Pasuruan dan KH Abdul Hamid dari Lasem. Ada pula KH Abdullah Muchid Pendiri IPIM (Ikatan Persaudaraan Imam Masjid Seluruh Indonesia).

Prof Dr KH Ahmad Zahro, MA al-Chafidh Ketua IPIM, Drs H Choirul Anam, cucu menantu dari KH Achmad Dahlan (Pendiri Taswirul Afkar Kebondalem, Surabaya), Prof Nasihin Hasan, Prof Aminuddin Kasdi, KH Muhammad Idrus Ramli (Jember);

KH Luthfi Bashori Alwi (Malang), Gus Ahmad Muzammil (Jogjakarta), Gus Mukhlas Syarkun, dan lain-lain. Sedikitnya ada sekitar 50 orang dari tokoh-tokoh NU baik kultural maupun struktural.

Menurut juru bicara halaqah Choirul Anam alias Cak Anam, ada 3 keputusan penting yang diambil dari halaqah nahdliyah khitthah untuk kemudian disampaikan kepada warga NU, termasuk bagaimana menghadapi Pilpres 2019.

Pertama, anak cucu pendiri NU perlu menegaskan dan mengingatkan kembali, bahwa NU harus berdiri tegak di atas khitthah 1926. Kedua, NU tidak ada urusan dengan parpol mana pun, dan tidak berpihak kepada siapa pun (Capres Cawapres), termasuk pada Pilpres 2019.

Ketiga, NU memberikan kebebasan kepada warganya untuk menyalurkan aspirasi politiknya (memilih Capres Cawapres) sesuai hati nurani yang tercantum dalam sembilan butir Pedoman Berpolitik Warga NU.

Menurutnya, perlunya kembali ke khitthah NU 1926 karena sudah banyak pelanggaran yang dilakukan secara terang-terangan terhadap khittah yang digulirkan pada Muktamar ke-27 NU 1984 di Situbondo.

Terkait dengan majunya KH Ma’ruf Amin yang merupakan mantan Rais Aam PBNU sebagai cawapres, lanjut Cak Anam, tidak ada keharusan bagi warga Nahdiyin untuk mendukungnya. Pasalnya, majunya Ma’ruf Amin tersebut merupakan keputusan pribadi bukan keputusan NU.

“Warga NU perlu tahu bahwa itu bukan keputusan NU, karena tak ada sejarahnya Rais Aam PBNU kemudian ‘putar haluan’ melepas baiat untuk menjadi Cawapres,” pungkasnya.

Khitthah NU 1926 selama ini memang menjadi landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap pengambilan keputusan.

KH Luthfi Bashori Alwi mendukung halaqah nahdliyah khitthah yang telah menyepakati tiga poin. Menurutnya, keputusan itu harus benar-benar ditegakkan oleh warga NU. “Kita harus kembali ke khitthah NU 1926, tidak bisa tidak,” tegasnya. [swa]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA