Waspada Potensi Gempa Tanah Jawa

Waspada Potensi Gempa Tanah Jawa

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Meresahkan dan menghambat investasi. 

Dengan alasan itu, BMKG, para peneliti gempa, dan panitia acara seminar bertajuk Sumber Gempa dan Potensi Tsunami di Jawa Bagian Barat dikirimi surat dan dimintai keterangan oleh polisi lima bulan lalu. 

“Pertama, muncul kekhawatiran berlebihan masyarakat di Pandeglang. Kedua, terkait investasi di Pandeglang. Investor jadi takut karena akan ada tsunami,” kata Kombes Abdul karim, Direktur Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Banten, Senin (9/4). 

Pada seminar itu, Kepala Seksi Program dan Jasa Teknologi Balai Teknologi Infrastruktur dan Dinamika Pantai, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Dr. Widjo Kongko, menyatakan wilayah Jawa bagian barat berpotensi diterjang tsunami hingga 57 meter. 

“Kalau (gempa) di atas 7 Magnitudo dan sumbernya terjadi di lautan dangkal, maka potensi tsunami besar akan terjadi,” ujar Widjo dalam paparannya itu.

Sialnya, informasi yang beredar di masyarakat, kata potensi yang berisi kemungkinan-kemungkinan itu, bersalin rupa menjadi prediksi yang terdengar lebih pasti. Sehingga ketakutan akan bencana tiba esok hari menjalar lebih cepat dari ilmu pengetahuan itu sendiri.

Seminar dan kajian para peneliti gempa tidak lahir tiba-tiba dan begitu saja. Gempa berkekuatan 6,1 M di siang bolong pada 23 Januari 2018 yang melanda Banten dan merusak ratusan rumah, menjadi salah satu latar belakang. Getaran gempa yang terasa hingga Sukabumi itu diikuti dua gempa susulan berkekuatan 5,1 M pada 24 dan 26 Januari.

Jawa, seperti Sumatera, berada di jalur utama pertemuan antara lempeng Indo-Australia dari Samudera Hindia yang menghunjam lempeng Eurosia. Jalur yang disebut subduksi utama itu membentang dari ujung Aceh menyusuri perairan Sumatera bagian barat, sepanjang selatan Jawa, hingga Nusa Tenggara. 

Di sepanjang bentangan jalur subduksi utama itu terdapat beberapa patahan naik yang menjadi episentrum gempa, mulai dari yang dangkal hingga kedalaman ratusan kilometer. Episentrum gempa yang dangkal--sekitar 30 km--di jalur subduksi itu membuat gempa amat terasa di permukaan dan berdampak besar, sehingga kemudian disebut megathrust. 

Salah satunya adalah gempa 9,1 M diikuti gelombang tsunami setinggi 10 meter yang menerjang tanah Aceh 40 menit kemudian pada 26 Desember 2004. Bencana alam yang menewaskan lebih dari 220 ribu orang ini tercatat sebagai salah satu gempa dan tsunami paling mematikan. 

Gempa yang bersumber dari megathrust memang memiliki kekuatan cukup dahsyat dan berpotensi tsunami. Sebab sumbernya berupa patahan naik antarlempeng dengan bidang yang luas dan berada di bawah laut.

Karakter megathrust di Jawa berbeda dengan Sumatera meski sama-sama berada di jalur subduksi utama. Irwan Meilano, pakar geodesi dan mitigasi bencana dari ITB, mengatakan bahwa Jawa sebenarnya cenderung lebih tenang dibandingkan Sumatera. 

“Usia subduksi di Jawa jauh lebih tua dibandingkan Sumatera. Berdasarkan beberapa literatur, usia subduksi yang lebih muda itu lebih aktif,” ujar Irwan ketika ditemui kumparan di kampusnya, Bandung, Kamis (4/10). 

Karena lebih tua, maka periode akumulasi energinya lebih panjang jika dibandingkan Sumatera. Berdasarkan Buku Peta Gempa 2017, usia kerak yang menunjam di bawah Sumatera tergolong muda, yakni 46 juta tahun. Berbeda dengan Jawa yang berusia lebih dari 100 juta tahun, sehingga aktivitas seismiknya lebih berat dan dingin. 

“Selain itu, ada yang berpendapat (zona subduksi) di Jawa lebih tegak lurus, sedangkan di Sumatera  lebih miring. Itu juga mempengaruhi tingkat aktivitas (seismik),” lanjut ketua kelompok kerja geodesi Tim Penyusun Buku Peta Gempa 2017 itu.

Namun bukan berarti Jawa--pulau dengan penduduk terpadat dan pembangunan infrastruktur terpesat di Indonesia--bebas dari ancaman gempa megathrust. Salah satu yang tengah menjadi perhatian adalah megathrust di selatan Selat Sunda. 

“Megathrust di selatan Selat Sunda sampai Jawa bagian selatan itu secara ilmiah, kita bisa bilang, terjadi seismic gap. Artinya potensi tinggi, cuma siklus gempanya kita masih belum tahu,” ujar Danny Hilman Natawidjaja, peneliti di Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 

Berdasar Buku Peta Gempa, megathrust Jawa di wilayah Selat Sunda diperkirakan memiliki potensi gempa berkekuatan hingga 8 M. Maka, contoh skenario terburuknya adalah kajian awal dari simulasi model komputer yang dipaparkan Widjo Kongko: gempa diikuti tingginya gelombang tsunami dalam jangka 30 menit hingga 3 jam, dan mampu menerjang seluruh kawasan pantai selatan Jawa termasuk Jakarta. 

“Artinya, seluruh pantai selatan itu kalau gempa buminya besar, bisa nyebar ke mana-mana tsunaminya. Bisa sampai ke Aceh, Bali. Cuma mungkin ada yang 0,5 meter, 2 meter, 4 meter, 5 meter. Semakin dekat ke (pusat gempa), bisa sampai 10 meter atau mungkin 15 meter,” ujar Widjo ketika berbincang dengan kumparan di Gedung BPPT, Jakarta Pusat.

Peneliti BPPT ini menyatakan modelling tsunami yang ia lakukan memang mengambil kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.

“Kami melakukan prediksi tsunami berdasarkan gempa yang sudah ada, dengan modelling. Tapi gempanya sendiri, kita tidak bisa memprediksi kapan datangnya,” kata Widjo.



Megathrust di daerah Selat Sunda hanyalah salah satu kemungkinan. Sumber gempa lain yang mesti diperhatikan yakni gerak sesar aktif tepat di bawah tanah yang kita pijak, tempat rumah-rumah kita berdiri.

“Kita banyak yang terlalu sibuk dengan megathrust dan melupakan sumber gempa di belakang rumah kita yang dekat dengan permukiman,” ucap Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempa dan Tsunami BMKG, kepada kumparan di kantornya, Rabu (3/10).

Pada 2010, jumlah sesar yang terdeteksi di bawah pulau berpenduduk lebih dari 140 juta ini ada empat buah. Selang tujuh tahun, kini diketahui ada 34 sesar yang melintang dan melintasi berbagai kota besar di Pulau Jawa. 

Penambahan sesar ini bukan berarti muncul sesar-sesar baru, hanya saja baru diketahui melalui penelitian dan pendataan kembali.

Ada Sesar Cimandiri yang melintas dari Padalarang hingga Pelabuhan Ratu sepanjang 100 km. Kemudian ada Sesar Lembang yang membentang di utara Kota Bandung, Sesar Baribis yang memanjang dari Majalengka ke Subang, Sesar Semarang yang terlihat menyambung dengan Sesar Kendeng. 

Sementara di Yogyakarta terdapat Sesar Opak yang menjadi sumber gempa pada 2006. Sesar lainnya yakni Sesar Pasuruan, Sesar Probolinggo, dan Sesar Lasem.


Menurut Mudrik Rahmawan Daryono, peneliti di Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, sesar aktif cenderung mengakibatkan gempa yang akan berulang di lokasi yang sama.

“Sesar aktif itu akan memiliki periode ulang atau ulang tahun gempa buminya di lokasi yang sama,” ujarnya kepada kumparan di Kompleks LIPI, Bandung.

Karakteristik lain dari sesar-sesar di Jawa adalah pergerakannya yang lebih lambat. “Kecepatan gesernya di Jawa itu paling lambat bergerak. Sumatera relatif sekitar 15 mm per tahun, di Jawa 3 mm per tahun, dan Sulawesi 40 mm per tahun,” jelas Mudrik. 

Meski begitu, potensi besar magnitudonya relatif sama. Hanya periode ulang tahunnya saja yang bisa lebih lama.



Dua sesar di Pulau Jawa yang kini menjadi perhatian adalah Sesar Kendeng dan Baribis.

Sesar Kendeng dinilai menyimpan potensi gempa berkekuatan 7 M di sekitar Kota Surabaya. Sementara Sesar Baribis, menurut penelitian Achraf Koulali, ahli geodesi Australian National University, berdasarkan data GPS tektoniknya diperkirakan melintang dari Cilacap, Subang, Purwakarta, Cibatu, Tangerang, hingga Rangkasbitung melewati Jakarta.

“Untuk Jakarta, masih indikasi. Kita masih perlu membuktikan keberadaannya. Kalaupun ada, di mana, kecepatannya berapa, kapan terakhir gempa bumi. Jadi itu harus kita teliti,” ucap Mudrik. 

Senada, Irwan mengatakan PR selanjutnya adalah mendetailkan apa yang telah dihasilkan oleh Koulali. “PR besar bagi kita, bersama dukungan pemerintah tentu saja, untuk mengonfirmasi dan menjelaskan lebih detail apa yang sudah dihasilkan Koulali tahun 2016.” 

Pengurangan risiko bencana menjadi tanggung jawab dari negara: menyiapkan infrastruktur dan teknologi.
 - Irwan Meilano, Ahli Geodesi ITB 

Maka berbagai penelitian dan kajian yang ada, bukan untuk diabaikan apalagi dipolisikan karena meresahkan. Kajian dan pemutakhiran peta gempa seharusnya menjadi bekal--bukan dibalut ketakutan, melainkan pengetahuan. Bekal yang kemudian dapat dimanfaatkan pemerintah setempat untuk mendetailkan kembali pemetaan per wilayah, membentuk zonasi bangunan tahan gempa, hingga menentukan rute dan lokasi shelter evakuasi. 

"Pemahaman terhadap mitigasi bencana seolah-olah cukup ketika terjadi bencana, ada awareness, ada bantuan, logistik datang. Padahal sebetulnya kalau kita bicara mitigasi bencana adalah bagaimana upaya pengurangan risiko supaya tidak berdampak besar terhadap masyarakat, tidak menimbulkan korban jiwa, mengurangi kerugian sosial, ekonomi, dan kerusakan infrartruktur kritis," ujar Direktur Pengurangan Risiko BNPB Raditya Jati, Jumat (5/10). 

Hidup di atas lempeng benua yang bergerak aktif bersama patahan-patahannya, sudah seharusnya kita menciptakan harmoni bersama gempa bumi. 


[kmp]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita