Tunggu Dulu ,<i>Game of Thrones</i> Itu Cerita Kekerasan dan Incest

Tunggu Dulu ,Game of Thrones Itu Cerita Kekerasan dan Incest

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh: Asyari Usman*

Ada benarnya pertanyaan banyak orang, Jokowi paham apa tidak konten “Game of Thrones”? Sudah pernah lihat atau belum?

Pertanyaan ini saya ulangi karena kalau Pak Jokowi sudah nonton serial itu, saya yakin sekali beliau tidak akan membawa-bawanya ke dalam pidato resmi. Tapi, nyatanya Pak Jokowi menggunakan Game of Thrones (Perebutan Tahta) sebagai ramuan utama pidatonya kerika membuka pertemuan tahunan IMF-WB (World Bank) di Nusa Dua, Bali, kemarin (12/10/2018).

Presiden Jokowi tampaknya memakai judul Perebutan Tahta untuk menyindir negara-negara besar yang hanya mau menang sendiri. Cukup bagus sindiran Jokowi. Khususnya prihal praktek ekonomi dan perdagangan. Mentang-mentang mereka kuat, negara-negara besar mau sesuka hati mereka saja. Setuju sekali dengan sindiran itu.

Tetapi, GoT itu tidak bisa dipahami dari judulnya saja. Tidak layak mengutip pengertian judulnya tok. Serial TV itu bukanlah sinetron biasa. Game of Thrones (GoT) penuh dengan plot kekerasan, “nudity” (busana minim), khususnya perempuan.

Bahkan ada kisah “incest”, yaitu hubungan seks kerabat kandung. Dalam hal ini, hubungan seks antara istri King Robert, Cercei Lannister, dan saudara kandungnya Jaime Lannister yang kemudian menghasilkan anak laki-laki, Joffrey. Robert tak tau bahwa Joffrey adalah buah hubungan seksual kakak-beradik.

Lalu ada adegan-adegan pesta pora yang tega menampilkan pria menyetubuhi wanita penggembira di tengah pesta itu. Si pria “mengerjai” wanita seperti layaknya binatang bersenggama. Kemudian ada pria lain yang menendang pria itu. Dia pun gantian ambil giliran.

Orang mungkin bisa memahami bahwa alur cerita GoT memang mengambil setting zaman primitif. Begitulah adanya pada waku itu. Barangkali, bagi produser dan penonton standar Barat, tidak apa-apa.

Tapi, menurut hemat saya, seri TV ini tidak layak untuk audiens Indonesia yang berpandu pada nilai-nilai reliji dan norma-norma adat. Dan sangat bermasalah jika film ini dijadikan rujukan dalam pidato seorang pemimpin negara seperti Presiden Jokowi. Konon pula pidato itu bisa juga ditonton oleh publik domestik.

Kita simak sedikit konten kekerasan GoT. Di salah satu adegan, Cercei Lannister mengucapkan dua kalimat yang memperingatkan bahwa dalam perebutan kekuasaan, yang akan terjadi adalah “kalau tak menang, berarti mati”.

Cercei mengtakan kepada Eddard, “When you play the game of thrones, you win or you die. There is no middle ground.” (Ketika kau mau merebut tahta, itu berarti kau menang atau mati. Tidak ada di antara itu).

Ucapan ini menjadi terkenal di kalangan penggemar GoT. Dan memang inilah karakteristik utama serial yang “bagus” itu. Themanya memang kekerasan dan hidup tanpa aturan moral.

Hampir pasti, pidato Jokowi di forum IMF-WB itu dituliskan oleh tim “ghost writers” (penulis anonim) beliau. Saya menjadi ingin tahu apakah konten pidato tsb sempat dibahas oleh Pak Jokowi sebelum beliau menyampaikannya. Semoga saja iya. Kalau tidak, saya kira penulis pidato dan para editornya sangat tak sensitif terhadap ke mana thema GoT itu akan diasosiakan khalayak ketika menyaksikan Jokowi mengutip cerita “perebutan kekuasaan” itu.

Ketika kebetulan menyaksikan Jokowi berpidato, saya langsung teringat dengan apa yang dikatakan oleh Cercei Lannister kepada Eddard. Bahwa dalam pertarungan untuk menjadi raja, hanya ada dua pilihan: menang atau mati. Saya menjadi merinding juga ketika mencari jawaban mengapa GoT dikutip panjang-lebar di dalam pidato Jokowi.

Para hadirin di Bali memang banyak yang senang dan “upbeat”. Mereka tepuk tangan karena Jokowi menyindir negara-negara besar yang ditunggangi oleh hasrat untuk menguasai dunia. Tetapi, saya yakin pidato GoT itu juga tertuju ke situasi politik domestik.

Artinya, orang yang paham cerita Game of Thrones dengan kutipan Cercei Lannister di atas, akan membayangkan pilpres ini adalah pertarungan “you win or you die”. Menang atau mati. Frasa ini sangat kental dengan tafsiran “pokoknya saya harus menang”. Tidakkah ini menyeramkan? Bagi saya, sangat! Apalagi thema GoT itu “diperkenalkan” oleh Pak Jokowi sebagai capres petahana.

Mengapa mereferensikan Game of Thrones sangat menyeramkan? Karena di film televisi ini, masalah-masalah kecil pun acapkali diselesaikan dengan pedang. Berkelahi fisik dan memenggal kepala lawan adalah proses peradilan. Kekuatan dan kebrutalan adalah hukum.

Jadi, di tengah suasana frontal antara kubu Jokowi dan Prabowo saat ini, sangatlah tidak arif mengutip cerita Game of Thrones. Sebab, pidato Jokowi di Bali itu juga bisa terarahkan ke kontestasi pilpres yang sekarang ini semakin “keras”. Orang bisa merasakan besitannya.

Seolah memberikan isyarat bahwa pilpres 2019 adalah pertarungan hidup-mati. Dalam makna yang mengerikan. Sesuatu yang sangat tidak kita inginkan.

Juga akan sangat memprihatinkan kalau anak-anak milenial Pak Jokowi ingin tahu dan ingin menonton serial yang direferensikan oleh panutan mereka. Saya berharap, agar para pengikut PSI tidak membuat inisiatif nobar Game of Thrones. Sebab, film ini tidak lebih baik dari film-film biru.

Sedikit untuk Pak Prabowo, menurut istilah Hasto Krityanto bahw pidato di depan IMF-WB itu membuat Jokowi menang 5-0. Kalau saya melihatnya malah sedih. Pidatonya mengiklankan film yang penuh kekerasan, amoralitas, dan kehidupan primitif.

Lebih dari itu, pidato yang membawa suasana Game of Thrones mencerminkan “besieged mentality”. Mentalitas terkepung. [swa]

*) Penulis adalah wartawan senior
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita