Sri Mulyani Vs James Riady

Sri Mulyani Vs James Riady

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Beda Sri Mulyani, beda James Riady. Sri Mulyani menyatakan bahwa pelemahan rupiah menguntungkan APBN. Namun bagi James Riyadi dan perusahaannya, pelemahan rupiah adalah bencana bagi perusahaan-perusahaannya.

Mengapa demikian? Bagi korporasi pelemahan rupiah terhadap dolar AS mengakibatkan tiga hal. Pertama, penguatan nilai mata uang dolar disebabkan oleh peningkatan terlebih dahulu suku bunga global khususnya Bank Centeral Amerika Serikat. Akibatnya, beban bunga utang korporasi meningkat.

Kedua, meningkatnya utang perusahaan dalam dolar AS berkali-kali lipat jauh dibandingkan nilai utang yang telah mereka investasikan sebelumnya. Sementara ketiga, pemelahan nilai tukar rupiah memicu peningkatan suku bunga di Indonesia, yang mengakibatkan utang perusahaan meningkat kepada bank nasional.

Sebagaimana diketahui Lippo banyak sekali membuat global bond dalam rangka menopang bisnisnya di semua lini. Bagi perusahaan itu hal biasa. Semakin mudah mendapatkan utang, maka itu berarti bisnisnya makin dipercaya. Semakin laris surat utangnya, berarti mencerminkan usahanya sedang jaya.

Namun sehat atau tidaknya posisi keuangan Lippo sangat ditentukan oleh kondisi stabilitas moneter. Jika kondisi moneter stabil, maka perusahaan bisa terus berjaya. Sementara jika stabilitas moneter terganggu, maka bisa menjadi neraka bagi perusahaan.

Itulah yang terjadi pada Lippo. Pada tahun 2015 perusahaan menderita akibat pelemahan rupiah yang saat itu mencapai kondisi terburuk sepanjang tahun pada posisi Rp 13.800 per dolar AS.

Seluruh keuntungan dari bisnis rumah sakit dan lain-lain disapu oleh utang sektor properti akibat buruknya kinerja keuangan Lippo Karawaci. Peringkat keuangan Lippo jatuh sejak saat itu.

Sekarang Lippo menghadapi masalah serius dengan keuangan Meikarta, di saat masalah keuangan properti di Lippo Karawaci belum selesai. Meikarta menghadapi masalah negatif bukan hanya karena munculnya tindakan hukum mitra mereka yang menagih utang, namun pembangunan di Meikarta sebenarnya telah berhenti karena beban keuangan.

Lippo Group telah menjual sebagian dari 50 persen kepemilikan sahamnya di Meikarta kepada investor, sementara investor China yang tidak mau disebutkan namanya telah menarik diri karena unit target penjualan tidak terpenuhi.

Masalah-masalah ini memicu spekulasi tentang kondisi keuangan Grup Lippo itu sendiri yang disimpulkan buruk. Apalagi kurs sudah 15 ribu lebih per dolar AS. Bagaimana caranya perusahaan ini bisa bertahan?

Sekarang Lippo harus menghadapi masalah hukum dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat masalah penyuapan dalam rangka memperoleh konsesi lahan, yang menambah masalahnya pada titik paling krusial dan menciptakan alasan yang benar benar kuat bagi penutupan total perusahaan, karena nama pimpinannya diseret-seret.

Walaupun sebetulnya perusahaan sudah tidak sanggup menjual properti karena daya beli masyarakat yang memang sedang jatuh dan tidak mampu menjangkau suku bunga.

Apa yang dialami Lippo adalah salah satu dari bola salju masalah sektor properti yang jatuh yang akan diikuti oleh bola salju yang lain dalam waktu yang tidak begitu lama.

Mengapa karena pemerintah sebagaimana dikatakan Sri Mulyani memandang bahwa pelemahan rupiah menguntungkan APBN. Pelemahan rupiah menimbulkan peningkatan penerimaan negara dari ekspor sumber daya alam migas dan lainnya. Pelemahan rupiah menimbulkan peningkatan penerimaan negara dari utang yang diterima dalam dolar Amerika Serikat.

Jadi apa yang dilakukan Presiden Jokowi dan Sri Mulyani dalam kebijakan makro ekonomi mereka adalah jurus yang efektif dalam mengakhiri dominasi para penembang dalam menguasai tanah dan properti Indonesia.

Apakah itu yang menjadi tujuan Pemerintah Jokowi? Sampai kapan pertarungan ini akan berakhir? Sangat bergantung pada kuatnya tinju Jokowi dan kemana tinju itu diarahkan sampai akhir 2018.


OLEH: SALAMUDDIN DAENG
Penulis adalah peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita